"Kalau Saya Terus-terusan Nangis, gimana Nasib Anak Saya"

Selasa, 13 Desember 2016 – 00:09 WIB
Primaningrum menemani Balqis, anaknya, bersepeda. Foto: SEKARING RATRI/JAWA POS

jpnn.com - SETIAP orang tua, tentu tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa bayi yang baru terlahir ternyata tunanetra.

Dibutuhkan proses tertentu hingga mereka bisa menerima kondisi tersebut.

BACA JUGA: Duetkan Titiek Puspa Dengan Anak Tunanetra

Itulah yang pernah dialami Primaningrum dan kini dia tularkan kepada para orang tua yang bernasib sama.

SEKARING RATRI A., Bekasi

BACA JUGA: Keren, Honda Kembangkan Sistem Navigasi untuk Bantu Penyandang Tunanetra

Balqis keluar dari ruang tamu. Dia menuju teras untuk mengambil sepeda yang terparkir persis di sebelah sepeda listrik milik sang ibu.

Tanpa kesulitan berarti, dia memundurkan sepeda itu dan menuntunnya keluar melalui pintu pagar.

BACA JUGA: NU CARE dan Tokopedia Salurkan Sembako untuk Santri Tunanetra

Begitu sampai di depan pagar, gadis 11 tahun tersebut langsung mengayuhnya dengan riang.

Bagi orang normal, sangat mudah melakoni apa yang dilakukan Balqis.

Namun, akan jadi beda ceritanya jika hal tersebut dilakukan seorang anak dengan gangguan penglihatan atau tunanetra seperti Balqis.

Balqis adalah anak kedua di antara tiga kembar, putri pasangan Primaningrum dan Muhammad Rustam. Di usianya sekarang, Balqis tidak hanya mampu bersepeda sendiri. Dia juga cukup mandiri.

Gadis berambut sebahu itu hampir bisa melakukan segalanya sendiri. Mulai mandi, makan, bersepeda, mencuci piring, membereskan mainan, hingga menjemur pakaian.

Bahkan membikinkan minuman untuk tamu. ”Tapi, dia belum bisa pakai baki saat menyuguhkan minuman,” ujar Primaningrum saat ditemui di rumahnya di kawasan Pondok Gede, Bekasi.

Melihat tumbuh kembang putri keduanya tersebut, Prima pun masih bisa tersenyum. Sebagai gadis tunanetra, Balqis bisa melakukan banyak hal.

Namun, hal itu tidak datang tiba-tiba. Tidak mudah bagi Primaningrum menerima kenyataan bahwa putrinya tunanetra.

Perempuan 48 tahun itu mengisahkan, pada 17 September 2005, dirinya melahirkan tiga putri kembar. Ketiganya lahir prematur.

Malangnya, hanya dua yang bertahan hidup. Balqis dan kakaknya, Alifah.

Namun, dari screening wajib bayi prematur, ditemukan kelainan pertumbuhan retina pada Balqis.

”Jadi, retinanya itu menggulung. Pada usia 32 hari, dengan kondisi itu, dicoba dokter mata untuk memperbaiki penglihatan Balqis,” kenang dia.

Prima pun disarankan untuk melakukan operasi di Singapura. Selama dua bulan, Balqis harus menjalani beberapa operasi hingga akhirnya dinyatakan failed alias gagal.

Putri keduanya dipastikan buta. Bukan perkara mudah menerima vonis dokter tersebut. Prima bingung, sedih, menyangkal, hingga meratap, kenapa hal tersebut harus terjadi kepada putrinya.

”Tapi, saya lalu berpikir, kalau saya terus-terusan nangis, nyeselin nasib, gimana nasib anak saya. Saya punya PR (pekerjaan rumah, Red) bahwa Balqis setiap hari akan terus tumbuh,” katanya.

Akhirnya, Prima mengambil hikmah dari semua itu. Perempuan berjilbab tersebut masih merasa beruntung karena Balqis terlahir kembar bersama Alifah.

Setidaknya keberadaan Alifah bisa menjadi pembanding bagi Balqis dalam hal tumbuh kembang.

Sebab, saat itu informasi tentang cara membesarkan anak tunanetra masih sangat minim.

Dia lantas berusaha dengan metode trial and error. Patokannya adalah Alifah.

”Misalnya Alifah sudah bisa berguling, berarti Balqis juga harus begitu. Alifah bisa duduk, saya harus bimbing Balqis juga harus bisa duduk. Alhamdulillah, saya terbantu karena ada pembanding. Eh, ternyata waktu baca-baca beberapa literatur, ternyata metode yang saya lakukan itu benar. Walaupun ada yang ngawur, masih bisa ditoleransi,” ungkapnya.

Prima pun tidak membesarkan Balqis secara muluk-muluk. Yang terpenting, putrinya itu bisa melakukan apa pun sesuai kemampuan anak seusia.

Dia mencontohkan, di usia lima tahun, setidaknya Balqis harus sudah dikenalkan dengan toilet training.

Balqis juga harus bisa memasukkan dan membereskan mainannya sendiri.
Untuk mendukung pembelajaran Balqis, perabot di rumah Prima sangat minim dan tidak pernah ada perabot yang bergeser atau berubah tempat.

Hal itu memudahkan Balqis menghafal letak perabot dan membuatnya mudah bergerak di rumah tanpa harus menabrak.

”Karena itu, dia sudah bisa bikin minuman sendiri. Karena semua letak perabot dia hafal. Dia tahu di mana posisi gelas, gula, teh. Kalaupun ada yang berubah, saya minta Balqis membantu memindahkan agar dia tahu. Misalnya ada satu kursi yang sudah lapuk, saya jelaskan ke dia bahwa kursi itu sudah lapuk, jadi harus dibuang. Karena akan berbahaya kalau diduduki,” papar Prima.

Meski begitu, pembelajaran pada Balqis bukannya tak menemui masalah.

Prima mengungkapkan, mengajar Balqis akan sesuatu yang baru memakan waktu, tenaga, dan pikiran. Tidak jarang pula menguras emosi.

Dia menjelaskan, untuk melatih Balqis membikin minum sendiri, sudah tidak terhitung berapa gelas yang pecah. Bahkan, ada proses yang memakan waktu lebih lama dari biasanya.

”Ini simpel buat kita. Tapi, saya itu pernah melatih dia menjemur handuk, itu sulitnya bukan main. Saya stres, dia juga kesulitan. Sampai seminggu akhirnya dia bisa menjemur handuk sendiri,” ceritanya.

Namun, bagi Prima, tingkat stres saat melatih Balqis di rumah tidak seberapa jika dibandingkan dengan ketika putrinya itu harus berhadapan dengan dunia luar.

Kali pertama Prima mengajak Balqis berjalan-jalan di mal, putrinya tersebut justru tantrum. Dia kerap menangis tak keruan.

Hingga suatu saat perempuan kelahiran Surabaya itu sempat terpikir untuk berhenti mengajak Balqis mengunjungi pusat perbelanjaan.

”Tapi, kemudian saya sadar. Saya coba terapkan ke diri saya sendiri. Saya bayangkan kalau saya tidak bisa melihat apa pun, lantas mendengar suara keramaian orang yang cukup banyak, saya pasti juga kebingungan. Akhirnya saya kayak diingetin. Dia kan tidak melihat yang ada di sekitarnya,” papar Prima.

Sejak saat itu, sebelum memasuki mal, Prima akan menjelaskan bagaimana kondisi di dalamnya. Dia juga tidak berhenti menggambarkan apa pun suara yang didengar dan ditanyakan Balqis.

Alhasil, makin besar Balqis, kebiasaan tantrum tersebut mulai menghilang. Putrinya pun mulai terbiasa berjalan-jalan di mal.

Begitu pula halnya saat mengajari Balqis bersepeda. Ketika Balqis berusia 8 tahun, Prima mengajarinya bersepeda. Tidak jauh-jauh.

Hanya di sekitar rumah. Tahap awal mengajar tentu sangat susah. Sebab, Balqis tidak bisa melihat jalan yang akan dilalui.

Pelan-pelan Prima membimbingnya. Beberapa tanda disampaikan untuk diingat.

Misalnya, kalau sudah merasakan melewati gundukan, itu berarti tanda bahwa dia sudah akan keluar gang perumahan.

Sehingga dia harus putar balik untuk kembali ke rumah. Kini tanda-tanda tersebut diingat betul oleh Balqis. Termasuk tanda bahwa di tepi jalan perumahan itu terdapat selokan.

Balqis pun bisa bermain sepeda meski hanya di sekitar rumah dan di dalam gang perumahan.

Namun, tekanan di lingkungan luar masih sering menjadi cobaan berat baginya. Ketika di mal, tidak sedikit orang yang penasaran dengan kondisi fisik Balqis.

Bagi Prima, hal tersebut bukan masalah jika yang bersangkutan hanya melihat sekali atau dua kali.

”Yang kadang menjengkelkan saya adalah orang yang ngeliatin terus. Kalau lagi ’normal’, saya kenalin aja Balqis ke orang itu. Tapi, kadang kalau sebel, saya minggir aja daripada terpancing emosi,” kisahnya.

”Bahkan,” lanjut Prima, ”ada salah seorang teman saya yang pernah bertanya apa kamu tidak malu punya anak seperti Balqis. Saya shocked. Tapi, lagi-lagi itu uji nyali buat orang tua dengan anak tunanetra. Belajar legowo lah,” ungkapnya.

Prima sadar yang dialaminya pasti juga dialami para orang tua yang memiliki anak tunanetra. Karena itu, dia bersama seorang ekspatriat asal Selandia Baru bernama Amy Headeven –yang juga punya anak tunanetra– mendirikan Yayasan Balita Tunanetra (Banet) pada 23 Juli 2011.

Setelah yayasan dibentuk, ternyata respons masyarakat cukup bagus. Banyak orang tua dengan balita tunanetra yang bergabung.

Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 300 orang tua yang bergabung dalam yayasan itu.

Dalam yayasan tersebut, Prima membantu para orang tua untuk menerima kondisi anaknya sekaligus melakukan pembelajaran terkait tumbuh kembang si anak.

Sebab, menurut dia, tidak sedikit orang tua yang tak bisa menerima kondisi putra-putrinya yang tunanetra.

Tidak jarang Prima melakukan home visit untuk membantu para orang tua mengajari anak balitanya. Selain itu, dia berhubungan dengan para anggota Banet melalui SMS, Facebook, hingga WA.

”Biasanya kami lebih sebagai pendengar. Mereka cuma pengin didengar ceritanya. Karena mereka sebenarnya sudah tahu apa yang harus dilakukan,” terangnya. (*/c10/c11/c9/nw/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirta Darma Andini si Gadis Tunanetra Juara Mendongeng Tingkat Nasional


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler