jpnn.com - JAKARTA -- Penerapan mekanisme justice collaborator dinilai belum maksimal. Akibatnya, pelaku kejahatan saat ini semakin berhitung untung rugi bekerja sama dengan penegak hukum.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan, kondisi JC saat ini memang belum seperti yang diharapkan. Sebab, masih terdapat perbedaan penafsiran dan aturan yang dipedomani para aparat penegak hukum dalam menetapkan status JC.
BACA JUGA: KPK Garap Tersangka Kasus Suap Vonis Bang Ipul
Ia menjelaskan, pengaturan mengenai JC merupakan salah satu amanat Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa melawan korupsi. Peran JC dianggap penting untuk membongkar kejahatan-kejahatan terorganisir, termasuk salah satunya korupsi.
"Hanya saja menjadi JC memang tidak mudah, karena risikonya juga tinggi termasuk ancaman terhadap keselamatan,” kata Semendawai saat diskusi bertajuk "Lemahnya Pemanfaatan dan Penghargaan JC dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di kantor LPSK, Rabu (29/6).
BACA JUGA: Saut: Suap Transfer Modus Klasik
Karena itulah, lanjut dia, Undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur dengan jelas kriteria JC. Termasuk di dalamnya hak-hak dan penghargaan yang layak diperoleh JC karena mengungkap peran pelaku utama kejahatan.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu. Dia mengajak para aparat penegak hukum untuk sama-sama merujuk kepada UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam menetapkan status JC dan memberikan penghargaan kepada mereka.
BACA JUGA: Kirim Surat Sakti, Fadli Zon dan Rachel Maryam Dilaporkan ke MKD
Dia pun menjelaskan, kriteria JC adalah bukan pelaku utama dan harus mengembalikan hasil kejahatannya. Sementara untuk penghargaan yang diberikan, mulai dari hak agar berkas perkaranya dipisah dengan terdakwa lain hingga pengurangan masa hukuman.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mengatakan, ekspektasi pelaku kejahatan menjadi JC, salah satunya untuk mendapatkan perlindungan maksimal. Termasuk mendapatkan hak-hak dan penghargaan lainnya yang dimungkinkan sesuai peraturan perundang-undangan. Meskipun, kata dia, pada praktiknya tidak selalu begitu.
“JC juga tetap harus mengikuti proses persidangan. Di sinilah terbuka kesempatan perbedaan cara pandang antara penyidik, jaksa dan hakim terhadap status JC,” ujar Emerson.
Menurut Emerson, selama belum ada kesepakatan mengenai JC antaraparat penegak hukum, pelaku kejahatan akan berhitung untung dan rugi menjadi JC. Hal ini tentu menyulitkan aparat penegak hukum membongkar kejahatan terorganisir, seperti kasus korupsi. “Kalau tetap dihukum berat, apa untungnya menjadi JC? JC ini nantinya bukan lagi justice collaborator tapi justice calculator,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah terdakwa korupsi yang disematkan status JC oleh KPK tidak diakui oleh majelis hakim dalam persidangan. Hakim menganggap mereka yang berstatus JC itu merupakan pelaku utama. Mereka kemudian dijatuhkan vonis berat.
Seperti yang menimpa asisten anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo, Rinelda Bandaso dan penyuap anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti yakni Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... WARNING! Kapolri Terapkan Body System
Redaktur : Tim Redaksi