Kami Arsitek Jengki, Komunitas Peduli Desain Rumah Jengki

Aplikasi Android untuk Perluas Jaringan

Kamis, 20 November 2014 – 07:17 WIB
CINTA KLASIK: Anggota komunitas Kami Arsitek Jengki menemui pemilik rumah bergaya jengki di Jl Dr Soetomo. Foto: Dokumentasi Kami Arsitek Jengki

jpnn.com - Surabaya mempunyai banyak kenangan. Bukan hanya segi sejarah, tetapi juga bangunan. Di antara banyaknya jenis bangunan, ada salah satu jenis desain yang tidak terurus. Yakni, arsitektur jengki.

Laporan Ira Kurniasari, Surabaya

BACA JUGA: Suud, Pembuat Alat Bantu Gerak untuk ABK di YPAC

JENGKI. Gaya arsitektur ini tersebar di Indonesia pada 1950 hingga 1960-an. Bentuknya tidak terbaca. Bisa melengkung-lengkung maupun miring. Tak jelas. Gaya itu tidak diterapkan pada seluruh ruangan, melainkan pada satu bidang saja. Misalnya, jendela, rumah, atau atap.

Pencetus awal gaya jengki tidak diketahui. Namun, guru besar arsitektur Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Prof Josef Prijotomo mengatakan, jengki dilahirkan lulusan sekolah Belanda yang pernah menjadi aannemer (ahli bangunan) di perusahaan Belanda.

BACA JUGA: Tahu Harga BBM Sangat Murah, Ingin Pindah ke Indonesia

Pada masa itu, pemberontakan dimulai. Apalagi ketika pengajar arsitektur Belanda pulang kampung. Semangat untuk berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung pada bangsa asing berkobar. Para arsitek tersebut mendobrak keteraturan pada zaman kolonial yang identik dengan fungsi. Mereka membuat gaya yang sengaja tidak beraturan. Gaya itu tidak ’’indah’’.

Masa kejayaan gaya jengki hanya berselang dekade. Kelahiran insinyur baru membuat gaya arsitek jengki dilupakan. Ia hanyut oleh ajaran ilmu rancang bangun yang terus berkembang.

BACA JUGA: Indra Sjafri Kembangkan Sepak Bola setelah Lepas dari Timnas U-19

Nah, itulah yang melatarbelakangi munculnya Kami Arsitek Jengki (KAJ). Mereka adalah kumpulan mahasiswa Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Jumat, 24 Oktober, malam itu mereka berbincang-bincang. Jumlahnya tidak banyak. Sekitar 14 orang. Yang sedang mereka bahas adalah pasar. Tema tersebut jauh berbeda dengan bidang arsitek. Ketua KAJ Rifandi Septiawan Nugroho mengatakan, diskusi semacam itu bisa membahas apa saja. Mereka berkumpul di sana untuk mengkritik sesuatu. Malam itu ’’giliran’’ pasar.

Diskusi malam itu ’’dihiasi’’ proyektor LCD yang memampangkan gambar masa lalu dan kini. Aneka bangunan dari Surabaya, Jakarta, Maluku, Flores, dan Lampung disajikan satu per satu. ’’Dengan begini, kita akan tahu cirri khas lokasi yang berbeda selain Surabaya,’’ papar Rifandi. Aktivitas itulah yang menjadi ’’bidan’’ kelahiran Kami Arsitek Jengki.

Soal jengki tersebut, para anggota komunitas tersebut mengaku tidak paham pada awalnya. Namun, semakin digali, rupanya gaya itu menarik. Dan itu merupakan salah satu kekayaan heritage Indonesia. ’’Jengki itu hanya ada di Indonesia. Kita perlu bangga dan melestarikannya,’’ ungkapnya.

Kegiatan lain KAJ adalah mencari gaya jengki yang tersisa di Surabaya dan sekitarnya. Memang, gaya itu masih banyak tersebar. Salah satunya adalah wujud gerbang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa, Jalan Kusuma Bangsa.

Menurut Rifandi, gaya jengki pada bangunan itu terlihat lebih rapi. Permainan lempengnya berupa beton yang dilipat berulang. Tiap lipatan membentuk kurva yang diulang hingga berhenti di bagian tengah kurva, sebuah penyelesaian yang terlihat tanggung. Kolom penyangganya juga dibuat tidak simetris. Karakteristik seperti itu adalah ciri khas bangunan jengki. Misalnya, Wisma Djendral Ahmad Yani di Gresik.

Gresik, kota santri itu, menyimpan kenangan tak terlupakan bagi anggota KAJ pada 2013. Ketika itu, salah seorang anggota KAJ menemukan rumah jengki. Seperti biasa, misi dimulai. Ketika mendapati gaya jengki pada sebuah rumah, yang dilakukan adalah memberi tahu pemiliknya. Mereka harus memberikan pengetahuan tentang gaya jengki dan cara harus merawatnya sebagai kekayaan bangsa.

Sayangnya, selang enam bulan kemudian, rumah itu telah hilang. Si jengki menjadi bangunan baru berupa supermarket yang kini menjamur. ’’Kami kecewa saat itu,’’ paparnya.

Setelah kejadian tersebut, KAJ semakin getol membuat perubahan. Bukan sekadar diskusi, mereka berani tampil ke publik. Tentunya sambil memamerkan hasil telusuran yang dipotret dan ditempel pada katalog.

Menurut Rifandi, menelusuri gaya jengki itu susah-susah mudah. Setelah observasi, mereka kudu meneliti dan mewawancarai pemilik. Dan kebanyakan, para pemilik tak tahu soal style jengki tersebut.

Langkah berikutnya adalah melihat surat tanah. Petunjuk awal, biasanya rumah itu pernah dimiliki orang Belanda. ’’Ketika kami beri tahu bahwa rumah mereka begitu berharga, mereka baru paham,’’ tuturnya.

Karena itu, KAJ belum pernah ditolak pemilik rumah. Mereka selalu diterima dengan hangat. Misalnya, ketika KAJ bertandang ke rumah di Jl dr Soetomo beberapa bulan lalu. Salah satu suguhan yang paling berharga adalah kisah sejarah rumah milik Ny Jenderal Soebandi itu.

Rifandi bercerita, rumah tersebut awalnya adalah peninggalan kolonial. Lalu, pada 1960, para perajin bangunan dari Madiun yang dikepalai Sudrajat merenovasi bagian ruang tamu hingga teras rumah itu dengan gaya jengki. Renovasi tersebut dilakukan atas keinginan almarhum Kolonel Soebandi.

Keahlian, kecermatan, ketekunan, dan kecemerlangan para perajin bangunan dapat ditemui di setiap sisi bangunan. Itu tampak dari bagian jendela depan yang dihiasi sirip miring-miring. Lalu, ada sosoran, tempat mengalirkan cucuran air hujan, yang asimetris. Seperti khas rumah jengki pada umumnya, gewel (gable) atau dinding yang menahan atap diberi roster udara dengan komposisi tertentu sesuai dengan kreasi perajinnya.

Sebagai penghargaan, komunitas itu membuat sertifikat bahwa rumah tersebut mempunyai gaya jengki. ’’Itu adalah salah satu bentuk penghargaan kami kepada orang-orang yang peduli pada gaya arsitektur di Indonesia,’’ papar Rifandi.

Sejauh ini, jangkauan KAJ memang hanya sampai Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Namun, tidak tertutup kemungkinan gaya jengki menyebar ke luar Pulau Jawa. Rifandi menyatakan, beberapa teman yang pulang kampung ketika Idul Fitri kembali ke Surabaya dengan membawa kisah penyebaran gaya jengki. ’’Gaya ada di Malang, Manado, Jogja, dan Semarang,’’ ungkapnya.

Untuk memudahkan orang lain yang ingin tahu soal gaya jengki, mereka membikin aplikasi Android yang dapat memunculkan tempat-tempat yang punya gaya jengki. ’’Aplikasi itu terintegrasi pada Google Maps. Namun, saat ini sedang direvisi,’’ ujarnya.

Dari mana pun asalnya, jengki di Indonesia dan beragam cerita di baliknya tidak pernah membosankan untuk ditelusuri sehingga pada akhirnya bangunan itu tidak hanya menempatkan diri pada catatan sejarah, tapi juga menjadi catatan bangunan yang dapat dilestarikan. Pencarian itu belum berakhir dan tidak pernah tahu kapan harus diakhiri.(*/c14/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Angger Dimas, Disc Jockey Indonesia Nomor Wahid Asia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler