Suud, Pembuat Alat Bantu Gerak untuk ABK di YPAC

Selama 42 Tahun Mengabdi, Kini Bergaji Rp 800 Ribu

Kamis, 20 November 2014 – 00:17 WIB
Suud, tukang pembuat alat bantu untuk anak berkebutuhan khusus (ABK)

jpnn.com, SURABAYA - Su’ud bukan tukang biasa. Dia adalah tukang pembuat alat bantu untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Bagaimana suka-dukanya 42 tahun mengabdi di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC)?

Laporan Muniroh , Surabaya

BACA JUGA: Tahu Harga BBM Sangat Murah, Ingin Pindah ke Indonesia

HALAMAN sekolah YPAC terlihat ramai Senin (17/11). Belasan anak berkursi roda asyik bercengkerama. Di sebuah bengkel dalam area sekolah, seorang pria terbenam dalam pekerjaan.

Pria itu sibuk membuat sepatu. Bentuknya berbeda dengan sepatu biasa. Warnanya hitam dan tampak kuat. Ya, dia sedang membuat sepatu khusus. Di dalam rongganya ada pelat besi. Tali sepatu juga dibuat begitu erat.

BACA JUGA: Indra Sjafri Kembangkan Sepak Bola setelah Lepas dari Timnas U-19

Pria 61 tahun itu adalah Su’ud. Namanya memang pendek. Namun, jejak kontribusinya untuk anak difabel sangat panjang. Separo lebih hidupnya diabdikan untuk anak-anak yang kurang beruntung tersebut.

Saat itu Su’ud tidak hanya membuat sepatu. Dia juga tengah memperbaiki lemari untuk alat peraga ABK.

BACA JUGA: Angger Dimas, Disc Jockey Indonesia Nomor Wahid Asia

Di usia yang tidak lagi muda, Su’ud masih kuat memaku, memalu, dan mengangkat kayu. ”Saya bikin semua alat bantu untuk anak cerebral palsy dan polio. Alatnya harus khusus,” ujarnya.

Menurut dia, cerebral palsy adalah penyakit gangguan gerakan dan otot. Sementara itu, polio merupakan penyakit yang menyerang sumsum tulang belakang. Penderita dua penyakit tersebut tidak bisa bergerak normal. Mereka tidak memiliki keseimbangan.

Su’ud lah yang selama ini membuat beragam alat bantu untuk ABK. Di antaranya, brace, kruk, kursi roda, prosthese, korset, back splint, dan neck splint.

Su’ud mengatakan, yang paling sering dibuat adalah brace. Yakni, alat bantu untuk menyangga tubuh anak penderita polio.

Pembuatan brace dan beragam alat itu tidak mudah. Apalagi dia harus membuatnya dengan tangan alias manual. Tidak ada alat modern. Bahkan, mesin jahit yang digunakan sudah berusia belasan tahun.

Misalnya, pembuatan brace. Bahan yang digunakan adalah lempengan pelat aluminium atau stainless. ”Pelatnya digergaji sendiri pakai tangan,” ujar Su’ud.

Menurut dia, penderita polio biasanya berkaki bengkok. Lekukan kaki harus diukur dengan benar. Jika tidak, sang anak akan kesakitan.

Biasanya, jika anak mengaku sakit, Su’ud tetap meminta anak itu untuk terus memakai brace tersebut. Sebab, sebenarnya saat itu sedang terjadi proses koreksi tubuh. ’’Rasa sakit itu akan hilang dalam sepekan,’’ katanya.

Kemudian, dia juga membuat sepatu ABK. Untuk membuat satu sepatu, dibutuhkan waktu dua hingga tiga minggu. Sebab, rangkaian pembuatannya cukup panjang.

Awalnya mendesain mal sepatu. Yakni, sepatu didesain sesuai kaki pemakai. Maklum, kaki setiap ABK berbeda. Karena itu, setiap anak dibuatkan sepatu khusus.

Gemuk-kurus, besar-kecil ukuran kaki juga harus diperhatikan. ”Ada resep dokter ortopedinya juga buat bikin sepatu,” ujar Su’ud.

Sepatu itu juga diisi pelat aluminium di sekelilingnya. Sebab, gerakan ABK begitu aktif. Mereka mudah terjatuh. Akibatnya, bentuk kaki bisa bengkok. Jika tidak menggunakan sepatu khusus, kondisi bengkok tersebut akan terus terjadi.

Karena tantangan pekerjaan yang rumit, Su’ud harus kreatif. Misalnya, dia membuat alat bantu ABK dengan bahan bekas yang dijual kiloan. Meski bekas, bahan tersebut tetap memenuhi standar. Maklum, ketebalan dan kekenyalan logam harus diperhatikan.

Su’ud juga akan merenovasi sepeda khusus ABK sumbangan UNICEF pada 1972. Meski sudah berusia puluhan tahun, Su’ud mengaku akan mengubahnya menjadi baru lagi.

Menurut pria yang tinggal di Jalan Kedondong, Surabaya, itu, pembuatan berbagai alat bantu tersebut tidak bisa cepat. Sebab, dia hanya mengerjakan sendirian. Normalnya, minimal dibutuhkan tiga orang untuk membuat sepatu ABK dengan lengkap.

Su’ud menceritakan awal mula menjadi ahli pembuat alat bantu ABK. Dia lulus dari STM 1 Surabaya pada 1972. Dari sekolah yang kini menjelma jadi SMK 2 Surabaya yang terletak di Jalan Patua itu, selain ijazah, dia mengantongi sertifikat ahli pembuatan alat ortopedi.

Setelah lulus, dia langsung bekerja di YPAC. Namun, pikirannya belum bisa fokus. Setelah tiga tahun, dia sempat keluar. Dia kemudian merantau ke Jakarta.

Namun, hatinya tetap terpaut dengan YPAC. Su’ud merasa bekerja di YPAC menjadi panggilan jiwa. Buktinya, dia hanya bertahan tiga bulan di Jakarta.

Dia kembali ke Kota Pahlawan. Su’ud pun bertekad untuk tidak meninggalkan anak-anak berkebutuhan khusus lagi. Beragam suka dan duka mewarnai pengabdiannya di YPAC.

Setiap hari dia bekerja mulai pukul 08.00 hingga 13.00. Namun, dia tidak jarang harus bekerja di atas jam itu. Selama bekerja, beragam kejadian unik ditemuinya.

Sebab, ABK sering melakukan tindakan ekstrem. Mulai menendang, berteriak-teriak, memukul, hingga lari. ”Mereka juga sering ngiler,” ujar Su’ud, lantas tertawa.

Bahkan, dia mengaku masih teringat kepada salah seorang murid YPAC bernama Rompis. Anak itu, kata Su’ud, sangat usil. Bengkelnya sering menjadi sasaran. Isi bengkel diobrak-abrik. Su’ud pun harus berusaha menenangkan anak tersebut.

Belum lagi ada anak lain yang selalu berteriak jika mendengar suara bising dari bengkelnya. ”Kalau dengar suara bor, ada anak yang takut. Mau enggak mau, harus menunggu dia pulang,” ucapnya.

Seiring perjalanan waktu, hidupnya mulai memasuki masa senja. Dia mulai berpikir tentang regenerasi. Namun, dia mengaku belum tahu siapa yang akan terpanggil mengabdi.

Maklum, generasi muda sekarang mungkin ogah. Sebab, gajinya jauh dari UMK. Yakni, hanya Rp 800 ribu per bulan. Meski kecil, dia mengaku tetap bersyukur. Sebab, kepuasan tidak bisa diukur dengan materi.

Namun, Su’ud mengaku pernah bersedih lantaran tidak bisa menyekolahkan kedua anaknya ke perguruan tinggi. Padahal, anaknya termasuk berprestasi. Sayang, saat itu mendapatkan beasiswa tidak semudah sekarang. ”Tapi, alhamdulillah, anak-anak sadar,” katanya.

Karena itu, saat ada alumni Jurusan Ortopedi Universitas Airlangga mendaftar ke sana, dia menolak. Sebab, Su’ud mengkhawatirkan nasibnya.

Pendahulunya yang pernah bekerja sebagai pembuat alat bantu ABK, yakni Atim, meninggal dengan timbunan utang. Rumahnya pun harus dijual. ”Saya bekerja di sini diniati untuk amal. Semoga ada yang terpanggil untuk mengabdi di sini,” katanya. (c6/ib)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisnis Boleh Kecil, tapi Fondasi ala Perusahaan Raksasa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler