jpnn.com - HUTAN ulayat milik suku Sakai kian menciut. Dari ribuan tinggal ratusan hektare saja. Hukum adat untuk melindunginya berlaku berbeda antara warga Sakai dan orang luar.
M. Hilmi Setiawan, Bengkalis
BACA JUGA: Sang Gubernur Ikut Kepincut Karya ââ¬ËManusia Robotââ¬â¢
ENTAKAN kendang dari kulit kambing terdengar bertalu-talu. Iramanya mengiringi sebelas pemuda suku Sakai yang dipimpin Giman yang sedang membawakan Tarian Poang.
Kamis pekan lalu (18/1) itu, tarian tersebut disajikan untuk merayakan puncak acara peresmian rumah adat yang dibangun dari bantuan Sinarmas Forestry dan APP (Asia Pulp and Paper). Peresmian dipimpin Muhamad Yatim Batin Iyo Bangso, ketua umum atau Batin Pucuk Suku Sakai Kelompok Bathin Sobanga.
BACA JUGA: Tokoh Agama Serukan Tahun 2016 Menjadi Tahun Pertobatan
’’Rumah adat ini penting untuk menjadi simbol pelestarian kebudayaan dan tradisi suku Sakai,’’ kata Yatim tentang rumah adat yang terletak di Jalan Bathin Sobanga, RT 01, RW 03, Desa Kesumbo Ampai, Keamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, tersebut.
Sampai saat ini, tercatat masih ada 21 kelompok atau keluarga suku Sakai yang tersebar di seantero Provinsi Riau. Khusus di Bathin Sobanga yang jumlah populasi suku Sakai-nya tertinggi, saat ini tercatat ada 300 kepala keluarga dengan jumlah jiwa mencapai 2 ribu orang.
BACA JUGA: Brigadir Mustakim Puasa, Putra Malut yang Menjadi Anggota Pasukan Perdamaian PBB
Dalam sejarahnya, suku Sakai hidup dengan berladang di tengah hutan. Mereka umumnya mendiami daratan sekitar anak sungai yang bermuara di Sungai Mandau. Selain berladang, anggota suku Sakai beraktivitas menangkap ikan di sungai.
Suku Sakai disebut-sebut keturunan dari garis Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, Sumatera Barat. Yakni, sekitar abad ke-14 sebagian warga Kerajaan Pagaruyung melakukan migrasi ke wilayah yang kini secara administratif masuk Provinsi Riau tersebut.
Kedekatan antara suku Sakai dan Kerajaan Pagaruyung tecermin dalam peresmian rumah adat itu. Dalam momen spesial tersebut, Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung Sutan Muhammad Taufik Tuanku Mudo Mangkuto Alam ikut hadir.
Saat ini suku Sakai tersebar di Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kota Pekanbaru. Tapi, mayoritas berada di Bengkalis, tepatnya di Kecamatan Mandau.
Rumah adat yang berdiri di atas lahan sekitar 1 hektare itu sekaligus mencerminkan perubahan yang harus dihadapi suku Sakai kini. Balok penyangga rumah adat berjenis panggung tersebut sudah tidak terbuat dari kayu ulin, tapi menggunakan besi.
Sebab, kayu ulin mulai langka. Di sekitar kompleks rumah adat itu pun, warga suku Sakai telah membangun rumah-rumah permanen berbahan kayu. Bukan lagi rumah panggung seperti dulu.
’’Sekarang bagaimana mau membuat rumah panggung, hutan milik suku Sakai saja terus berkurang,’’ kata Yatim.
Menciutnya luas hutan di sekitar domisili mereka memang menjadi tantangan perubahan terbesar yang dihadapi seluruh warga Sakai. Tak cuma yang tinggal di Bengkalis.
Menurut Yatim, diperkirakan warga Sakai yang masih tinggal di pedalaman hutan di Riau tersisa 30 persen. ’’Sisanya sudah tinggal di perkotaan,’’ jelas pria kelahiran 2 Februari 1943 tersebut.
Lokasi pendirian rumah adat suku Sakai tidak terlalu masuk ke dalam belantara hutan. Jarak titik rumah adat itu ke jalan raya penghubung Bengkalis dan Dumai hanya 10–15 km. Meskipun memang tetap harus melalui hutan di bagian kanan dan kiri jalan. Sesekali terlihat monyet yang bergelantungan santai di pucuk pohon.
Yatim mencontohkan, hutan ulayat yang diwarisi suku Sakai di Keluarga Bathin Sobanga yang dia pimpin sekarang tinggal 300 hektare. Padahal, sebelumnya luasnya mencapai ribuan hektare.
Agar tidak semakin berkurang untuk perkebunan sawit atau kegiatan industri lain, mereka menerapkan hukum adat tegas. Yatim menuturkan, hukum adat itu berbeda untuk pelaku perusakan atau penebangnya dari internal suku Sakai dan orang luar.
Dia menjelaskan, jika ada warga suku Sakai yang kedapatan menebang pohon di tanah ulayat, mereka akan diganjar hukuman menanam pohon kembali.
’’Pelaku penebangan pohon juga didenda uang setara dengan perhiasan emas dengan berat tertentu,’’ ujarnya.
Terkadang mereka menggunakan kotak sirih dari kayu seukuran boks tisu makan untuk menakar emas yang harus dibayar. Semakin tua usia pohon yang ditebang, yang otomatis ukuran kayunya kian besar, denda emas yang harus dibayar pun semakin banyak.
Penentu akhir besaran denda itu adalah rapat adat. Nah, emas tersebut lantas dituang, ditimbang, dan diuangkan. Jika dirupiahkan, sanksi menebang kayu yang sudah berumur tua bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Lalu, bagaimana jika yang menebang pohon adalah orang di luar warga suku Sakai? ’’Kami usir dan jika perlu kami bunuh,’’ tegasnya.
Beratnya sanksi yang harus ditanggung itu terbukti mujarab. Sampai sekarang, tidak ada orang yang berani menebang pohon di hutan. Bahkan, untuk sekadar mengambil kayu untuk renovasi rumah adat pun, warga suku Sakai agak berkeberatan.
Karena itu, rumah adat dengan aula yang berukuran 11 x 9 meter tersebut sempat lama mangkrak. Padahal, fungsi rumah adat itu cukup strategis. Antara lain, hajatan pernikahan, upacara adat, persidangan terkait hukum adat, dan musyawarah-musyawarah umum lain.
Sampai akhirnya, tiga tahun lalu muncul inisiatif dari Sinarmas Forestry dan APP untuk melakukan renovasi. Proses renovasi yang berjalan sekitar tiga tahun itu menelan biaya hingga Rp 1,8 miliar.
Selain hutan, yang juga dicemaskan Yatim adalah kian terkikisnya kebudayaan serta tradisi suku Sakai. Maklum, perkampungan Sakai yang dipimpinnya hanya berjarak tempuh sekitar satu jam perjalanan darat dari Duri, kota paling ramai di Bengkalis.
’’Anak-anak Sakai sekarang sudah sekolah semua. Tapi, semoga itu tidak membuat mereka justru melupakan tradisi,’’ kata Yatim.
Seiring akan berakhirnya Tarian Poang yang sudah 15 menit disajikan, Giman pun bergerak seperti menghitung anggota ’’pasukannya’’. Setelah dipastikan lengkap, tak lama kemudian, kendangan terakhir terdengar dan berakhirlah tarian tersebut.
Poang dulu memang merupakan tarian perang. Yang dilakukan Giman menjelang berakhirnya tarian merupakan simbol tanggung jawabnya sebagai pemimpin untuk mengetahui apakah ada anak buahnya yang gugur atau tidak.
’’Poang itu aslinya tarian perang. Tapi, kini tarian ini dibawakan ketika ada hajatan penyambutan tamu spesial, pernikahan, hingga kegiatan pengobatan tradisional,’’ terang Giman.
Perang antarsuku memang tak ada lagi. Tapi, kini warga Sakai menghadapi pertempuran lain yang tak kalah berat: melawan zaman yang terus berubah. Zaman dengan generasinya yang terus menggugat nilai-nilai lama. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Pak Sudirman, Satu-satunya Guru di Sebuah SD
Redaktur : Tim Redaksi