Kamrussamad Sebut Utang Pemerintah Berpotensi Bahayakan Negara

Selasa, 19 Mei 2020 – 22:07 WIB
Kamrussamad bersama sejumlah tokoh nasional dan ekonom. Foto: dok pribadi for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad menyoroti utang pemerintah yang bertambah menjadi Rp 635 triliun, hanya dalam periode 48 hari, sejak 1 April sampai 18 Mei 2020.

Diperkirakan masih akan terus bertambah, mengingat krisis kesehatan masih belum sepenuhnya terkendali, ia berharap penggunaan dana pinjaman tersebut tidak dikorupsi.

BACA JUGA: Kamrussamad Sebut Roadmap Ekonomi 2021 Sri Mulyani tak Sinkron

"Kita juga mempertanyakan penyerapan anggaran kesehatan senilai Rp 70 triliun dan insentif untuk UMKM dan pemulihan ekonomi senilai Rp 270 triliun, apakah sepenuhnya sudah terserap dan bagaimana mekanisme pelaksanaannya?" kata Kamrusamad, dalan keterangan tertulis.

"Apakah sudah efektif, tepat sasaran serta mampu menggerakkan sektoril?"

BACA JUGA: Utang Luar Negeri Indonesia Terus Menumpuk

Politisi Gerindra itu menilai, perubahan postur APBN yang dilakukan dua kali dalam satu bulan menunjukkan Menteri Keuangan diragukan dalam memotret kondisi ekonomi, dan menentukan indikator ekonomi Dalam merumuskan kebijakan fiskal.

Padahal, DPR sudah mengigatkan agar pemerintah memiliki data yang terintegrasi sebagai basis pengambilan keputusan supaya tidak premature dalam menyusun postur APBN.

BACA JUGA: Kamrussamad Nilai Usulan KADIN Paket Stimulus Rp 1.600 T Mengada-ada

"Ini kenyataan yang harus diterima pelebaran defisit tanpa batas maksimal dalam Perppu 1/20, pada akhirnya berpotensi membahayakan kedaulatan negara," sambungnya.

"Itu karena beban utang pemerintah sangat besar bahkan melampaui ratio utang standar internasional yang di tetapkan sejumlah lembaga keuangan dunia seperti IMF."

Legislator Dapil Jakarta itu menambahkan indikator kerentanan utang pemerintah, telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411.

Rasio-rasio yang melampaui batas aman antara lain rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan.

Selain mengindikasikan nominal utang yang terus bertumbuh, rasio ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penerimaan pemerintah tidak bertumbuh, seiring dengan bertambahnya utang pemerintah.

"Meski PDB Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun, akan tetapi hal ini tidak diiringi oleh pertumbuhan tax ratio atau rasio pajak. Namun, kondisi yang terjadi adalah tax ratio terus konsisten turun," katanya lagi.

Tax ratio yang pada 2015 mencapai 10,76 persen pada 2019 lalu justru turun ke angka 9,76 persen, padahal RPJMN 2015-2019 menargetkan tax ratio pada tahun lalu bisa naik hingga 16 persen.

Artinya ada angka PDB tertentu yang tidak diperoleh pajaknya oleh negara.

"Kita mendorong perubahan struktural atas pengelolaan fiskal pemerintah, terutama pentingnya fiscal sustainability analysis (FSA) untuk segera disusun," pungkasnya. (mg8/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler