jpnn.com, JAKARTA - Panggung politik 2021 diprediksi bakal diwarnai persaingan antara Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Hal itu merupakan salah satu proyeksi politik 2021 versi Direkur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin.
BACA JUGA: Iwan Fals Komentari Blusukan Bu Risma, Ada Kata-kata Tobat
Selain persaingan Risma dan Anies, Ujang melihat persoalan bandul kekuatan pemerintah versus rakyat, pilkada serentak 2022 atau 2024, juga menjadi bagian peristiwa politik yang akan mewarnai 2021 ini.
Ujang memprediksi, di pentas politik nasional, tidak akan terjadi banyak perubahan pada 2021 ini.
Artinya, ujar Ujang, hanya akan ada dua bandul kekuatan, yakni pemerintah dan rakyat.
"Jadi, pemerintah versus rakyat," tegas Ujang dikutip dari akun Ujang Komaruddin Channel di YouTube, Sabtu (9/1).
BACA JUGA: Catat, Ini Tanggal Sidang Putusan Praperadilan Habib Rizieq
Pria kelahiran Subang 9 Agustus 1981 itu menjelaskan, publik tahu bahwa saat ini di parlemen tidak ada oposisi yang kuat.
Hampir 85 persen kekuatan parlemen dikuasai koalisi pemerintah. Hanya menyisakan PKS dan Partai Demokrat.
"Itu pun tidak cukup melawan kekuatan partai koalisi pemerintah," kata pengajar di Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Karena itu, ia melihat kekuatan oposisi di parlemen tidak akan berjalan, sehingga bandul rakyatlah yang akan bergerak. "Rakyatlah yang menjadi oposisi," tegasnya.
Pada saat yang sama, kata dia, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yang dulu seharusnya menjadi ikon dan simbol kekuatan oposisi rakyat di parlemen, sekarang sudah menjadi menteri atau pembantu presiden, dan jadi bagian elite pemerintahan.
Namun, Ujang optimistis masih ada harapan karena saat ini muncul kekuatan civil society.
Nah, katanya, civil society inilah yang menjadi oposan terhadap pemerintah. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat, dan salah jalan atau arah.
"Kekuatan civil society inilah sebenarnya yang akan terus mengkritik pemerintahan hari demi hari selama 2021 ini," jelasnya.
Ia melihat harapan publik ada pada kekuatan civil society itu. Sebetulnya, kata Ujang, dibutuhkan pemerintahan yang kuat.
Pada saat sama juga dibutuhkan parlemen kuat dan tangguh.
Namun persoalannya, ketika oposisi ada tetapi tidak kuat dan minimalis, maka kekuatan rakyat yang dipelopori civil society inilah yang akan bergerak.
"Mudah-mudahan kekuatan rakyat yang dipelopori civil society ini, menjadi kekuatan yang mengkritik pemerintah secara objektif, konstruktif, dan sama-sama ingin membangun bangsa," ujarnya.
Isu kedua, lanjut Ujang, digelar atau tidaknya pilkada serentak pada 2022.
Merujuk UU Pilkada, maka pilkada akan digelar 2024. Bersamaan dengan Pileg dan Pilpres 2024.
Ketika digelar 2024 atau tak dilaksanakan 2022, maka akan ada kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan wali kota. Pemerintah akan mengisinya dengan menunjuk pelaksana tugas (plt).
"Akan banyak kepala daerah yang di-plt-kan, atau menganggur selama 2022 sampai 2024," ujarnya.
Nah, kata Ujang, publik akan melihat apakah UU Pilkada itu nantinya akan direvisi DPR bersama pemerintah, atau rakyat mengambil jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Yang pasti, kata Ujang, bila tidak dilaksanakan 2022, maka akan banyak kepala daerah yang di-plt-kan.
Ia mencontohkan, seperti gubernur DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat. Jabatannya akan diisi oleh plt yang ditunjuk pemerintah pusat.
"Artinya, akan ada berapa banyak eselon I Kemendagri yang akan mengisi pos-pos yang kosong itu selama dua tahun," ujarnya.
Ujang menambahkan berapa banyak pula eselon I tingkat provinsi yang akan menjadi plt bupati, wali kota di Indonesia, karena jabatan-jabatan tersebut kosong dari 2022-2024.
Bahkan, Ujang menambahkan, bisa saja nanti presiden mengeluarkan keppres ketika pengin mengangkat plt gubernur, bupati, wali kota dari non-PNS.
"Bisa saja, tetapi ini nanti akan mengalami perdebatan panjang," katanya.
Menurut dia, pilkada serentak nanti akan jadi cerminan, sehingga terlihat proyeksi politik 2024 bila seandainya pilkada 2022 dilaksanakan.
Karena itu, Ujang berharap pemerintah bijaksana, partai politik-partai politik pun melakukan hal terbaik, termasuk pula DPR tidak seenaknya sendiri.
"MK juga ketika ada judicial review, melaksanakan keputusan terbaik untuk rakyat, bukan untuk parsial dan kelompok tertentu," paparnya.
Nah, ia menambahkan, nantinya elite politik terutama gubernur dan partai politik yang menginginkan pilkada digelar pada 2022 akan bertarung untuk mengegolkannya.
"Karena apa? mereka sebagai incumbent tentu ingin terpilih dua periode," kata doktor ilmu politik jebolan Universitas Indonesia itu.
Ketika plt gubernur dilakukan eselon I dari Kemendagri, dan pemprov untuk kabupaten/kota, maka sulit bagi sang kepala daerah itu untuk bisa terpilih kembali.
"Karena ada waktu kosong, ada waktu menanti dua tahun kembali memulihkan kepercayaan publik," jelasnya.
Karena itu, Ujang berujar, 2022 penting bagi sosok gubernur, terutama mereka yang ingin jadi capres atau cawapres.
"Ini titik poin langkah jadi capres dan cawapres," ungkapnya.
Ujang mengatakan, yang tak kalah menarik perhatian di 2021 ini ialah persaingan Anies Baswedan dan Tri Rismaharini alias Risma.
Menurut Ujang, sejak dilantik sebagai mensos beberapa hari lalu, Risma langsung tancap gas.
Risma blusukan ke kolong jembatan, pinggir kali, dan tempat-tempat kumuh.
"Itu menandakan ada proses persaingan," ujarnya.
Selain itu, Ujang menambahkan, turunnya Risma ke kolong jembatan, pinggir kali, dan tempat kumuh, ini sesungguhnya memberikan pesan politik kepada Anies Baswedan.
"Jadi, itu juga kritikan terhadap Anies bahwa banyak persoalan di Jakarta yang harus diselesaikan oleh Anies. Banyak persoalan kemiskinan, kekumuhan, yang terjadi dan itu luput dari perhatian Anies," ujar Ujang.
Dengan kondisi seperti itu, Anies Baswedan pada saat yang sama juga tentu akan berupaya menunjukkan kinerja terbaiknya.
Bahkan, Anies saat ini sering posting keberhasilan dan prestasi yang diraihnya di media sosial.
"Dia memublikasikan penghargaan dalam konteks nasional dan internasional," jelasnya.
Dia meyakini Risma di kemudian hari akan didorong PDI Perjuangan menjadi gubernur DKI Jakarta.
Baik itu bila Pilkada Serentak dilaksanakan pada 2022 atau tetap di 2024 nanti.
Ujang menjelaskan kenapa PDIP akan mendorong Risma jadi gubernur DKI Jakarta.
Sebab, ia berujar, pada 2017 lalu DKI yang menang pileg adalah PDI Perjuangan, tetapi gubernurnya bukan dari partai berlambang banteng moncong putih itu.
Ahok, kala itu yang didukung PDIP, kalah oleh Anies.
Nah, kata Ujang, Risma inilah yang menjadi simbol perlawanan dari kelompok yang tidak suka terhadap Anies Baswedan.
Pasca-gagalnya Ahok menjadi gubernur, kelompok yang tak suka kepada Anies tidak punya tokoh atau figur yang bisa disandingkan atau mengkritik Anies.
"Hari ini Risma ini menjadi bagian dari kekosongan figur itu yang bisa dihadap-hadapkan atau disandingkan dengan Anies," katanya.
Ujang memprediksi persaingan akan terus berjalan, dan menarik untuk diikuti publik.
Jadi, ia menambahkan, persaingan ini akan menarik untuk diikuti karena akan menjadi diskursus 2021.
Menurutnya, rakyat ingin melihat mereka-mereka bekerja yang terbaik untuk Jakarta, Indonesia, dan masyarakat.
"Bukan hanya sekadar persaingan politik, yang misalnya demi kepentingan partai atau ambisi pribadi," katanya.
Dia berharap mudah-mudahan persaingan itu memberikan dampak positif untuk meningkatkan kinerja masing-masing.
"Bukan hanya sekadar bagian dari pencitraan," ujarnya.
Lebih lanjut dia berharap 2021, politik lebih stabil, dinamis, dan terkontrol, tak menjadi kerusuhan atau keributan yang tidak perlu.
"Kita ingin Indonesia yang aman damai dan sejahtera," katanya. (boy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Boy