jpnn.com - Cita-cita merupakan salah satu elemen penting pembentukan karakter dan masa depan seorang anak.
Namun demikian, pertanyaan kapan seorang anak mulai memiliki cita-cita menjadi relevan di tengah pergerakan zaman yang makin dinamis.
BACA JUGA: Pilgub Sumut: AMS XII Sebut Bobby-Surya Akan Raih Cita-Cita yang Lama Telantar
Banyak anak, khususnya generasi Z dan Alpha, belum memiliki kejelasan tentang apa yang mereka inginkan dalam hidup hingga usia remaja, bahkan saat mereka sudah berada di tingkat SMP.
Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana lingkungan, keluarga serta guru dapat membantu anak menemukan cita-cita?
BACA JUGA: Cara Dimas Supartono Lanjutkan Cita-cita Almarhum Tono Supartono
Lingkungan, Inspirasi Awal Cita-Cita
Dalam pola tradisional, lingkungan tempat anak tumbuh memiliki peran sentral dalam membentuk pandangan mereka tentang dunia, termasuk cita-cita.
BACA JUGA: Sampaikan Amanat, Megawati Ungkap Ada Upaya Membelokkan Cita-cita KemerdekaanÂ
Seorang anak yang tinggal di suatu kampung di mana jabatan “camat” dianggap bergengsi, misalnya, cenderung bercita-cita menjadi seorang “camat”.
Hal serupa terjadi jika seorang anak melihat dokter yang dihormati karena kiprah sosialnya; anak tersebut mungkin akan terinspirasi menjadi dokter.
Demikian pula, anak yang sering melihat tentara, insinyur, atau guru yang memberikan teladan akan menumbuhkan ketertarikan terhadap profesi-profesi tersebut.
Akan tetapi di era digital, pola ini berubah. Keteladanan dari profesi tradisional mulai tergerus oleh daya tarik profesi baru yang sering ditampilkan di media sosial, seperti menjadi model, artis, atau YouTuber.
Sebagai contoh, laporan dari Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda di Amerika Serikat lebih tertarik pada profesi berbasis media digital dibandingkan dengan profesi konvensional seperti dokter atau insinyur.
Fenomena demikian juga terjadi di Indonesia, di mana survei Nielsen tahun 2023 mengungkapkan bahwa YouTuber menjadi salah satu profesi yang paling diidamkan oleh anak-anak dan remaja.
Sebuah studi oleh National Center for Education Statistics menunjukkan bahwa banyak anak tidak memiliki kejelasan cita-cita hingga usia 13-15 tahun.
Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya paparan terhadap berbagai profesi yang mungkin tidak mereka lihat di sekitar mereka.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan homogen atau terpaku pada satu jenis profesi akan sulit membayangkan diri mereka dalam profesi lain.
Sebaliknya, anak-anak yang terlalu sibuk dengan hiburan digital sering kali lebih fokus pada hobi mereka tanpa memikirkan masa depan secara serius.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Banyak siswa SMP yang ketika ditanya tentang cita-cita masih menjawab dengan ketidakpastian.
Mereka mungkin sibuk dengan permainan online, media sosial, atau kegiatan lain yang hanya memberikan kepuasan sementara.
Hal ini mengindikasikan bahwa peran guru, orang tua, dan lingkungan sekitar sangat penting dalam membimbing anak mengenal berbagai pilihan cita-cita.
Bimbingan Menemukan Cita-Cita
Menurut John Maxwell (2007), seorang pakar kepemimpinan, cita-cita adalah hasil dari paduan antara inspirasi, paparan terhadap teladan, dan pengembangan potensi diri sejak dini.
Maxwell berpendapat orang tua dan guru diharapkan dapat menjadi fasilitator yang memperkenalkan aneka profesi kepada anak-anak, sehingga mereka dapat mulai membayangkan masa depan mereka.
Sebagai contoh, di Jepang, program pendidikan di sekolah dasar kerap kali memasukkan sesi khusus di mana para profesional dari berbagai bidang diundang untuk berbagi pengalaman mereka.
Hal ini bertujuan memberikan gambaran luas tentang dunia kerja kepada siswa. Pendekatan serupa bisa diterapkan di Indonesia.
Guru dapat mulai memperkenalkan profesi-profesi ini dalam bentuk cerita, permainan peran, atau kunjungan lapangan.
Dengan cara ini, anak-anak secara perlahan akan mulai menemukan minat mereka.
Cita-Cita di Era Digital
Generasi Z dan Alpha adalah generasi digital-native. Mereka tumbuh di tengah arus teknologi yang deras, sehingga cita-cita mereka sering kali dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsi di internet.
Menurut psikolog anak Dr. Laura Markham (2014), terlalu banyak paparan terhadap media sosial dapat menyebabkan anak memiliki pandangan bias tentang profesi yang dianggap "keren" atau "menguntungkan."
Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan guru agar membantu anak memfilter informasi yang diterima.
Misalnya, seorang anak yang bercita-cita menjadi YouTuber dapat diarahkan agar dapat memahami bahwa menjadi YouTuber yang sukses memerlukan kerja keras, konsistensi, dan nilai-nilai edukatif.
Dengan demikian, mereka tidak hanya tergiur oleh kesuksesan instan, tetapi juga memahami proses di baliknya.
Menghidupkan Keteladanan
Cita-cita anak akan menjadi lebih jelas ketika mereka memiliki figur teladan di sekitarnya. Oleh karena itu, orang dewasa yang berada di lingkungan anak—baik itu orang tua, guru maupun tokoh masyarakat—perlu memberikan contoh positif.
Anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat. Jika mereka melihat orang-orang di sekitar memiliki pekerjaan bermakna dan memberikan dampak positif, mereka akan lebih termotivasi mengejar cita-cita serupa.
Sebuah studi oleh Harvard Graduate School of Education (2017) menemukan anak-anak yang memiliki mentor atau panutan cenderung lebih percaya diri dalam menentukan tujuan hidup mereka dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki figur teladan.
Oleh karena itu, membangun hubungan yang erat dengan anak, serta memberikan teladan melalui aksi nyata, merupakan langkah krusial dalam membentuk cita-cita mereka.
Catatan Akhir
Cita-cita merupakan bagian penting dari pembentukan identitas seorang anak. Meskipun waktu tepat kapan seorang anak mulai memiliki cita-cita bervariasi, lingkungan, teladan, dan bimbingan memainkan peran penting dalam proses ini.
Orang tua dan guru perlu memperkenalkan berbagai pilihan profesi secara lembut dan bertahap, sambil membangun hubungan yang mendukung dengan anak-anak.
Di era digital ini, penting pula untuk membantu anak menyaring informasi dari media sosial dan memahami nilai di balik setiap profesi yang mereka kagumi.
Dengan cara demikian, generasi mendatang tidak hanya memiliki kejelasan cita-cita, tetapi juga memahami proses bagaimana cara mencapainya.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari