jpnn.com - JAKARTA – Kasus-kasus ironi hukum mengantarkan Kapolda Jatim Irjen Pol Anas Yusuf menjadi seorang doktor di bidang hukum pidana. Disertasinya tentang restorative justice diapresiasi tim penguji dari Universitas Trisakti Jakarta Sabtu (13/9). Anas dinyatakan lulus tepat waktu plus mendapat predikat cum laude.
Selama satu jam, Anas mempertahankan disertasi berjudul Potensi Implementasi Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana oleh Polri guna Mewujudkan Keadilan Substansial. Dia disidang enam penguji yang diketuai Rektor Universitas Trisakti Prof Dr Thoby Mutis.
BACA JUGA: Ombudsman Usul Bentuk Kementerian Pengawasan dan Reformasi Birokrasi
Dalam disertasinya, Anas menjelaskan bahwa hampir seluruh tindak kejahatan di Indonesia berakhir dengan memenjarakan pelaku. Padahal, penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan seluruh tindak kejahatan. Terutama kejahatan yang dampaknya masih bisa direstorasi hingga kembali ke keadaan semula.
’’Misalnya, kasus (pencurian) kakao, pisang setandan, lalu pencurian sandal. Secara norma, memang ada perbuatan melawan hukum. Tapi, kalau bisa diselesaikan dengan pendekatan budaya dan sosial, saya rasa itu akan lebih bagus,’’ jelasnya. Penyidik sebenarnya tidak ingin kasus-kasus ironi tersebut berakhir di penjara. Karena terikat aturan, penyidik tetap melanjutkan kasus.
BACA JUGA: Pansel KPK Pangkas Tim Rekam Jejak
Menurut alumnus Akpol 1984 itu, restorative justice bisa menghasilkanwin-win solution bagi dua belah pihak yang berperkara. Pelaku tidak perlu dipenjara, namun tetap bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Di sisi lain, korban tetap bisa mendapatkan keadilan.
Ada dua manfaat restorative justice menurut Anas. Pertama, masyarakat diberi ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasa lebih adil. Kedua, beban negara bisa berkurang sehingga aparat penegak hukum bisa berfokus pada tindak pidana yang kualifikasinya lebih berbahaya.
BACA JUGA: Dua TKI asal Lombok Dibunuh di Malaysia
Polisi sebenarnya sangat bisa menerapkan restorative justice dalam penyidikan. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia disebutkan, untuk kepentingan umum, pejabat Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenang bisa bertindak melalui penilaiannya sendiri.
Namun, pasal tersebut sampai saat ini belum bisa diterapkan dengan baik karena tidak ada legitimasi khusus. Di internal Polri, belum ada norma atau kaidah yang bisa melegitimasi penyidik untuk menerapkan restorative justice agar tidak dikategorikan ilegal. Karena khawatir menyimpang dari hukum acara, penyidik akhirnya tetap menggunakan hukum positif yang ada.
Karena itu, pihaknya juga mendorong agar dalam RUU Polri yang baru terdapat klausul yang mengatur khusus tentang restorative justice. ’’Termasuk juga nanti dalam hukum acara (pidana),’’ lanjut mantan Kapolda Kaltim itu.
Dengan demikian, penyidik akan mendapat legitimasi untuk menerapkanrestorative justice dalam penyidikan.
Promotor Anas, Prof Eriyantouw Wahid, mengatakan, Anas mampu membuktikan secara ilmiah tentang kendala-kendala penyidik dalam mengimplementasikan restorative justice. Yakni, kekhawatiran tidak adanya payung hukum dan kentalnya paradigma masyarakat bahwa persoalan pidana harus diakhiri dengan hukuman.
’’Disertasi Anas Yusuf sejalan dengan pemikiran teori dan konsep-konsep yang dituangkan pemikir-pemikir pemidanaan modern saat ini,’’ ujarnya. Indonesia memiliki kearifan lokal yang bisa digunakan untuk menyelesaikan setiap persoalan secara kekeluargaan. (byu/c7/ai)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mabes Percayakan AKBP Idha Digarap Polda Kalbar
Redaktur : Tim Redaksi