Karena Pengawasan MK Diserahkan ke Tuhan

Jumat, 04 Oktober 2013 – 07:57 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar setelah menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jln Rasuna Sahid, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/10). Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - KPK dapat tangkapan hiu besar. Begitu bunyi pesan singkat berantai di kalangan wartawan, Rabu (2/10) malam. Ya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap tim dari lembaga antirasuah itu.

Mantan politisi Partai Golkar itu dibekuk lantaran diduga menerima suap terkait sengketa Pemilukada Gunung Mas (Kalteng) dan Lebak (Banten) yang ditangani MK. KPK mengantongi bukti uang dollar Singapura, yang jika dirupiahkan jumlahnya hingga Rp3 miliar.

BACA JUGA: Nyatanya tak Ada yang Tembus

Mengapa hal ini bisa terjadi di lembaga yang selama ini cukup berwibawa itu? Berikut wawancara wartawan koran ini, Soetomo Samsu, dengan Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof I Gede Panca Astawa, kemarin (3/10).

Apa yang salah dengan MK? Apakah sistem rekrutmennya sehingga menghasilkan hakim MK yang tidak berintegritas seperti Akil?

BACA JUGA: Pengawasan Tes CPNS di Daerah Memang Sulit

Menurut saya tidak ada yang salah dengan sistem rekrutmennya. Sudah bagus, dengan melibatkan DPR, Presiden, dan MA. Mereka ini masing-masing menyodorkan tiga nama, sehingga hakim MK jumlahnya sembilan orang.

Jadi apanya yang salah Prof?

BACA JUGA: Kasihan Ruhut, Kasihan Rakyat

Persoalannya terletak pada keberadaan MK yang steril dari kontrol. Tidak ada institusi yang mengawasi hakim MK. Semula, KY yang mengawasi seluruh hakim, termasuk hakim agung MA dan hakim MK. Tapi kewenangan KY itu dipangkas sendiri oleh MK. KY hanya mengawasi hakim-hakim, di luar hakim MK dan hakim agung MA. Padahal, hakim MK dan hakim MA, juga hakim. Ketika sebuah institusi tidak ada yang mengawasi, ya tinggal menunggu waktu manusia-manusianya menyelewengkan kewenangan.

Lantas siapa yang mesti mengawasi MK? Apakah kewenangan itu harus diserahkan lagi ke KY?

Ya, bukan hanya diserahkan lagi ke KY, tapi kewenangan KY juga harus ditambah lagi dengan kewenangan polisional, menindak. Jangan seperti sekarang ini, KY hanya bisa memberikan rekomendasi. Rekomendasi bisa saja diabaikan. Prinsipnya, seluruh hakim harus dikontrol, termasuk hakim MA dan hakim MK. Selama ini, sembilan hakim MK itu kan seperti wakil Tuhan di dunia. Padahal mereka juga manusia, bukan malaikat, yang tak luput dari godaan-godaan.

Jadi yakin kata kuncinya pengawasan?

Ya, saya sudah sering bicara di forum-forum, dalam sistem ketatanegaraan, harus dibangun mekanisme kontrol yang baik. Jangan ada institusi yang pengawasannya diserahkan ke Tuhan.  Sangat lucu. Ini negara demokrasi tapi masih ada lembaga yang steril dari pengawasan.

MK pun sudah tercemar, tinggal KPK harapan publik. Tanggapan Prof?

KPK itu lembaga super kuat, yang melakukan pencegahan dan penindakan. Tapi juga tidak ada kontrol. Siapa yang mengawasi KPK? Jadi tinggal tunggu waktu. Buktikan omongan saya. Karena KPK isinya juga manusia-manusia, yang diberi kewenangan besar tanpa ada yang mengawasi. Tinggal menunggu waktu bertindak sewenang-wenang. Sekarang saja, dalam beberapa kasus, KPK sudah melanggar prinsip-prinsip hukum, karena tidak ada yang mengontrol. Saya jauh-jauh hari mengingatkan, kalau institusi tak ada yang mengawasi, maka tinggal tunggu waktunya.

Setelah kasus Akil ini, apakah putusan-putusan MK masih bisa dipercaya publik?

Kita tak usah terlalu panik seperti mau kiamat. Masih ada delapan hakim MK. Saya percaya mereka masih punya integritas. Semua anggota MK itu saya kenal baik. Pak Akil, Pak Hamdan Zoelva, dan Pak Patrialis Akbar, itu S3-nya bimbingan saya (Program S3 di Unpad, red). Jangan beranggapan jika ketuanya saja seperti itu, apalagi anggotanya. Jangan dipukul rata.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fatin Belum Mikir Pacaran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler