jpnn.com - Kalau Anda melihat antrean panjang beberapa waktu belakangan ini maka hampir dipastikan itu adalah antrean orang beli minyak goreng murah.
Beberapa bulan terakhir ini masyarakat harus rela antre untuk mendapatkan harga minyak goreng murah, karena mendadak minyak harga murah raib dan menjadi barang langka.
BACA JUGA: Ada Promo Minyak Goreng Gratis di Lotte Mart Mall, Simak Syaratnya Bun!
Ibarat ayam yang mati di lumbung padi. Itulah pepatah yang sekarang dirasakan masyarakat Indonesia. Negara yang menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, malah mengalami kelangkaan minyak goreng yang memakai bahan baku kelapa sawit.
Industri kelapa sawit melahirkan jajaran orang-orang kaya yang mengisi daftar sepuluh manusia paling tajir di Indonesia. Mereka dapat tanah pinjaman dari negara ratusan ribu hektare, lalu menjadi kaya raya karena konsesi itu, tetapi kemudian tidak peduli dengan kondisi rakyat yang tercekik karena harga minyak yang tak terkendali.
BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, YLKI Layangkan Petisi Usut Tuntas Kartel
Tanah gratis yang dipakai para pengusaha sawit itu milik rakyat yang diwakili oleh negara. Kalau kita masih percaya kepada konstitusi UUD 45, maka tanah rakyat itu harus dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Begitulah amanat konstitusi.
Namun, dalam praktiknya tanah yang terbentang luas dan subur itu hanya memperkaya segelintir orang saja.
BACA JUGA: Konon Minyak Goreng Langka, Mendag Beri Penjelasan, Tegas
Ada salah urus dalam tata kelola negara. Ini bukan kasus pertama yang terjadi. Sebulan yang lalu urusan pasokan batu bara untuk listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN), juga mengalami nasib yang sama. PLN tidak bisa melayani ratusan ribu rakyat karena pasokan batu bara mampet.
Indonesia kaya raya dengan batu bara. Ibarat hanya bermodal cangkul saja sudah bisa mendapat batu bara. Namun, buktinya, memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri saja kelabakan.
Para pengusaha raksasa batu bara itu lebih suka menjual produknya ke luar negeri karena lebih menguntungkan. Mereka punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan aturan domestic market obligation (DMO). Namun, dalam praktiknya aturan itu tidak berjalan.
Sama dengan sawit, pengusaha batu bara itu dapat tanah pinjaman gratis dari rakyat melalui negara dengan mekanisme hak guna usaha. Seharusnya rakyat dapat prioritas untuk menikmati layanan listrik yang lancar.
Seharusnya rakyat dapat prioritas untuk menikmati minyak goreng dengan harga murah dan kualitas tinggi.
Dalam urusan batu bara, rakyat tidak usah bermimpi mendapat layanan listrik gratis. Mendapat layanan listrik yang murah dan lancar saja sudah menjadi satu kemewahan.
Industri batu bara juga melahirkan orang-orang crazy super-rich kelas sultan papan atas. Mereka adalah para pengusaha yang mempunyai koneksi dengan kekuasan, dan kemudian mendapatkan konsesi berapa pun yang mereka inginkan.
Para pengusaha itu kemudian melakukan kolusi dengan pejabat-pejabat tinggi yang melahirkan oligopoli yang menguasai industri.
Batu bara melahirkan kartel, sekumpulan pengusaha yang sangat kuat yang bisa memengaruhi kebijakan negara dan mengatur pasar. Industri kelapa sawit juga sama saja, melahirkan pengusaha-pengusaha kuat yang membentuk kartel yang bisa mengatur pasar dan harga.
Pemerintah bisa berdalih bahwa kartel-kartel itu tidak ada. Namun, fakta bahwa pemerintah tidak bisa mengendalikan harga adalah bukti bahwa kartel itu ada.
Pemerintah tidak bisa menjamin ketersediaan minyak goreng yang menjadi kebutuhan utama rakyat sehari-hari. Pemerintah juga tidak bisa menjamin stabilitas harga supaya bisa dijangkau oleh rakyat.
Para produsen kelapa sawit menjual dengan harga mahal dengan alasan menyesuaikan diri dengan harga pasar dunia.
Karena harga sawit di pasar dunia naik, maka produsen Indonesia ikut menaikkan harga. Dampaknya kemudian harga minyak goreng di dalam negeri ikut naik karena kenaikan harga sawit dunia.
Rakyat kecil pasti bingung dengan logika dagang yang aneh ini. Ketika harga sawit dunia naik seharusnya kenaikan itu bisa mensubsidi biaya produksi minyak goreng dalam negeri, sehingga harganya bisa terjangkau. Para pengusaha sawit itu bukannya memberi subsidi, tetapi malah menaikkan harga di dalam negeri. Di luar negeri untung, di dalam negeri untung. Rakyat yang buntung.
Negara mendapat untung besar dari ekspor batu bara dan kelapa sawit ke pasar dunia, tetapi rakyat tidak merasakan dampak keuntungannya.
Dua industri itu adalah industri yang merusak lingkungan, dan rakyat merasakan dampak buruk dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Sudah sangat banyak gerakan organisasi internasional yang mengecam dua jenis industri itu. Batu bara yang mengeksploitasi fosil tidak akan menjadi sumber kekayaan yang bisa dipertahankan terus-menerus. Sumber itu tidak bisa diperbarui dan suatu saat akan habis.
Kelapa sawit juga sama saja. Industri ini membawa kerusakan lingkungan, terutama karena perluasan lahan dilakukan dengan deforestasi, penggundulan hutan.
Ancaman bencana lingkungan terbesar dunia sekarang adalah pemanasan suhu global yang salah satunya dipicu oleh penggundulan hutan.
Penggundulan ini menghilangkan keragaman hayati yang memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunkan kualitas lahan disertai erosi, hama, dan berbagai macam penyakit.
Para aktivis lingkungan internasional menemukan bahwa kenaikan suhu global satu derajat akan menjadi sumber bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Rakyat yang akan menjadi penderita utama dari eksploitasi ugal-ugalan itu. Seharusnya rakyat berhak mendapatkan pelayanan yang lebih baik dari sekarang.
Pemerintah punya semua kewenangan untuk melakukannya. Namun, yang dilakukan adalah pembiaran dengan alasan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
Dua kasus ini membuktikan bahwa mekanisme pasar telah gagal. Kegagalan pasar atau market failure adalah suatu kondisi ketika pasar gagal dalam menyediakan kebutuhan publik secara efisien. Gagal pasar menimbulkan ketimpangan antara produsen dan konsumen.
Dalam hal ini, mekanisme pasar yang tidak efisien akan menyebabkan kebutuhan pasar yang dihasilkan menjadi terlalu banyak atau terlalu sedikit. Implikasi ekstremnya pasar bisa kolaps sehingga tidak bisa menyediakan komoditas yang dibutuhkan publik.
Kegagalan pasar terjadi ketika mekanisme harga gagal memperhitungkan keseluruhan harga dan keuntungan, yang berkaitan dengan penyediaan maupun konsumsi dari barang dan jasa. Hal ini berdampak pada alokasi dan penggunaan yang tidak efisien.
Kegagalan pasar dapat terjadi karena beberapa faktor seperti praktik monopoli dan juga oligopoli. Selain faktor-faktor tersebut, aktivitas pasar juga dipengaruhi regulasi atau peraturan, yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti pajak, subsidi, upah minimum, dan pengaturan harga.
Karena itu, kebijakan yang tidak terkontrol oleh pemerintah dapat menyebabkan pasar tidak efisien sehingga berujung pada kegagalan.
Mekanisme pasar tidak boleh dibiarkan bergerak bebas melalui mekanisme tangan gaib atau ‘’invisible hand’’. Cara ini diyakini oleh para ekonom klasik yang sekarang diteruskan oleh para ekonom neo-liberal.
Kebijakan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini kental dengan nuansa neo-liberalisme.
Mekanisme pasar yang diagung-agungkan terbukti tidak berhasil memberi solusi terhadap problem yang dirasakan rakyat. Stabilisasi harga dengan menetapkan harga minyak Rp 14 ribu ternyata tidak berjalan.
Alih-alih memenuhi kebutuhan rakyat, kebijakan harga murah malah membuat minyak goreng raib dari pasaran. Kebijakan ini melahirkan praktik kucing-kucingan di pasar. Suplai minyak murah menghilang dan rakyat harus rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkannya.
Negara harus hadir secara konkret untuk mengatasi masalah ini. Yang dilakukan pemerintah hanya membenahi bagian hilir, tetapi pangkal persoalan di hulu tidak tersentuh. Kartel pasar yang terlalu kuat itu akan tetap menjadi persoalan yang akan terus-menerus muncul. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror