jpnn.com - JAKARTA - Rencana penerapan Kartu Indonesia Sehat (KIS) oleh presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak akan bertentangan dengan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah berjalan saat ini. KIS bahkan disebut dapat menyempurnakan sistem JKN, kerena prinsipnya sejalan dengan Undang-undang (UU) Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS).
Hal itu dikemukanan oleh Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, Hasbullah Thabrany pada diskusi publik “Kartu Indonesia Sehat dan Jaminan Kesehatan Nasional : Sejalan?” di Jakarta, Selasa (26/8). "KIS itu kan sebenarnya hanya istilah saja. saat dikaji lebih dalam sistem dan isi, KIS sejalan dengan JKN," ungkap Hasbulloh.
BACA JUGA: Pemohon Suntik Mati Tarik Gugatan ke MK
Menurutnya, penamaan KIS ini pun akan lebih baik ketimbang JKN yang bisa multitafsir. Kata Nasional dalam JKN dapat diartikan bahwa jaminan sosial ini bisa ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini yang akhirnya menyebabkan program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang dibiayai APBD masih ada hingga kini. Padahal, seharusnya seluruh biaya itu adalah tanggung jawab APBN.
"Dana APBD untuk kesehatan sebaiknya difokuskan pada kegiatan bersifat promotif atau pencegahan. Untuk yang bersifat kuratif (pengobatan) diserahkan ke APBN," tandasnya.
BACA JUGA: Perkuat Pemerintahan Jokowi-JK, Partai Pengusung Harus Berbagi Peran
Ditemui dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi IX DPR RI RIeke Diah Pitaloka juga menegaskan hal senada. Rieke mengatakan, KIS hanya perubahan nama dari sistem kesehatan sebelumnya. Sementara pelaksananya tetap akan dilakukan oleh BPJS kesehatan.
Selain itu, menurutnya, KIS justru akan menjadi pelengkap atau penyempurna JKN. Sebab dalam KIS, akan dilakukan yang iur preminya ditanggung dalam pemerintah dengan dikelompokan dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI).
BACA JUGA: Pansel Ingin Pengganti Busyro di KPK Bukan Sekadar Stempel
Rieke menuturkan, saat ini, jumlah peserta PBI berjumlah 86,4 juta orang. Padahal menurut hitungannya, jumlah orang miskin penerima PBI seharusnya lebih dari 108 juta orang. "86,4 juta itu kan dari data BPS 2006, dikalikan dengan empat. Asumsi dari satu keluarga itu empat orang, kalau lebih tidak dihitung. Okelah kalau seperti itu, berarti saat tahun 2011 BPS menyatakan sebanyak 25,2 juta jiwa maka seharusnya kan 108 juta yang harus terima PBI," jelasnya.
Selain itu, penambahan PBI dari kelompok miskin, KIS direncanakan juga akan menarik kelompok miskin lain yang tidak memiliki administrasi kependudukan, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan orang yang tinggal di panti dengan perkiraan jumlah sebanyak 2 juta orang akan ditanggung.
"Bahkan bayi yang baru dilahirkan PBI dan lansia juga masuk dalam PBI. Itu seharusnya kan memang otomatis, tidak mungkin anak PBI lahir jadi peserta mandiri," urainya. (mia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jonan Harapkan Jokowi Berani Ambil Risiko Tidak Populer
Redaktur : Tim Redaksi