Karya Kepuasan Intelektual Doktor Gerabah Timbul Raharjo, Harganya Rp 100 Juta

Minggu, 29 November 2015 – 07:56 WIB
Timbul Raharjo. Foto: Maruti Asmaul Husna Subagio/Jawa Pos

jpnn.com - DESA Kasongan tak ubahnya sebuah etalase tanpa ujung. Di tiap halaman rumah warga di kanan-kiri jalan, berbagai produk gerabah dengan beragam ukuran berebut menarik perhatian.

MARUTI ASMAUL HUSNA SUBAGIO, Bantul

BACA JUGA: Kisah Reno, Usai Digigit Anjing Kini jadi Paranormal Kondang

Tapi, yang terbesar dan terlengkap berada di dekat gerbang selamat datang. Semua ada di Inspira, demikian nama galeri di desa di Bantul, Jogjakarta, tersebut. Mulai patung, vas, guci, sampai hiasan dinding. Dari produk untuk suvenir pernikahan hingga karya setinggi 3 meter.  

Menonjolnya Inspira bila dibandingkan dengan semua etalase lain di Kasongan sekaligus menggambarkan buah pergulatan panjang sang pemilik, Timbul Raharjo. Di dunia seni kriya, dia sosok yang lengkap.

BACA JUGA: Kegigihan Pejuang Sanitasi di Biak Numfor agar Warga Tak Buang Apuy Sembarangan

Tak hanya dikenal sebagai pebisnis sukses, Timbul juga seorang doktor gerabah yang mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia), Jogjakarta. Sekaligus penulis buku dan seniman yang tak gampang puas. 

”Buyer datang selalu ingin lihat yang baru. Kekuatan kami ada pada etnisitas produk (ciri khas Indonesia, Red), juga material produk yang tidak ditemukan di negara lain,” ujar Timbul saat ditemui Jawa Pos di Kafe PT Timbul, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA: Di Rutan Guntur seperti di Tanah Suci, SDA sebagai Guru Mengaji

Lahir dan besar di Kasongan yang sejak dulu dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah, Timbul sudah akrab dengan lempung mulai kecil. Lempung atau tanah liat adalah bahan utama pembuatan gerabah.

Pertautan Kasongan dengan gerabah bermula dari seorang perwira Pangeran Diponegoro bernama Kiai Ngabdul Roupi. Ketika Diponegoro ditangkap Belanda, lantas dibuang ke luar Jawa, Kiai Ngabdul Roupi memilih lari ke wilayah yang kini dikenal sebagai Kasongan.

Karena memiliki ilmu gerabah, dia lantas mengajari penduduk setempat. ”Bentuk awalnya masih biasa, seperti alat makan dan kendi,” ungkap Timbul.

Ayah Timbul memang bukan penjual gerabah. Namun, Timbul yang lahir pada 8 November 1969 itu familier dengan lempung yang didatangkan dari berbagai daerah tersebut di rumah-rumah tetangganya.

Keseharian dengan gerabah itulah yang membuat lulusan STM 1 Jogjakarta tersebut mantap memilih jurusan seni kriya di ISI pada 1987. Kebetulan, kampus ISI hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari Kasongan.

”Karena lahir di sentra gerabah, waktu kuliah saya coba desain gerabah. Saya banyak belajar dari perajin di sini,” ujar Timbul.

Menamatkan S-1 selama 4,5 tahun, Timbul kemudian menjajal dunia wirausaha. Dia mendirikan Timboel Keramik. Awalnya, produk desain yang dia keluarkan tidak begitu laku. Sebab, bentuknya tidak familier di mata masyarakat.

Namun, kegigihan Timbul untuk menciptakan desain baru secara rutin tiap bulan akhirnya membuahkan hasil. Berkat desain-desainnya yang lebih modern ketimbang produk warga Kasongan lainnya, karyanya mulai diminati.

”Mulai 1996, tiap pameran habis dan habis lagi. Waktu itu desain saya mulai merajai dalam skala Kasongan,” tuturnya.

Pada awal memulai bisnis, Timbul hanya merekrut 1–2 pegawai. Jumlahnya terus berkembang menjadi 5, 100, hingga sempat mencapai 300 orang. Pada 1997 dia mulai mempromosikan karya ke mancanegara.

Itu terjadi setelah Bruce High, seorang importer dari Kanada, tertarik pada karya-karya Timbul. Dia kemudian mengajak rekan importer dari Australia dan Eropa untuk turut membeli karya ayah dua anak tersebut.

Alhasil, pada 2000 Timbul berhasil menjual 15 kontainer kerajinan karyanya setiap bulan. Satu kontainer berisi sekitar seratus gerabah. Namun, seiring krisis global, penjualannya menurun. Akhirnya, mulai 2009 sampai saat ini dia hanya bisa mengekspor 2–3 kontainer per bulan. 

Usaha yang Timbul lakukan untuk melariskan karya-karyanya tak berhenti pada kegiatan dagang. Dia juga terus mengasah skill dan menambah wawasan. Selain menjadi dosen di ISI, Timbul aktif di berbagai organisasi. Di antaranya, menjadi ketua Dewan Kesenian Bantul, ketua Koperasi Kasongan, serta ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda Jogjakarta.

Karya-karyanya pun rajin ditampilkan dalam pameran kerajinan internasional. Misalnya, pameran di Jerman pada 2005 dan 2007, di Portugal pada 2009, di Jordania 2012, dan Amerika Serikat setahun kemudian. Buyer dari negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa serta Karibia pernah menjadi pelanggannya.

Pada 2005 Timbul memperbaiki manajemen perusahaannya, termasuk sistem perpajakannya. Alhasil, pada 2007 penghargaan Upakarti dari presiden Indonesia diraih pria yang kini memiliki sekitar 70 karyawan itu.

Di tengah berbagai kesibukan tersebut, Timbul juga masih sempat melahirkan empat buku. Yaitu, Historitas Seni Gerabah Kasongan (2008), Globalisasi Seni Gerabah Kasongan (2009), Bisnis Seni Kerajinan (2010), serta Seni Kriya dan Kerajinan (2011).

Buku-buku itu ditulis bersamaan dengan peningkatan jenjang pendidikan yang dia jalani. Timbul mengaku selalu haus menimba ilmu. Dia menamatkan S-2 di bidang pengkajian seni kerajinan dan S-3 di bidang pengkajian seni keramik. Keduanya dijalani di Universitas Gadjah Mada (UGM).

”Saya punya dua otak yang kerja bersamaan. Sehari bisa mengatur 4–5 persoalan,” ungkap suami Ani Faiqoh tersebut.

Dalam rangka menambah khazanah ilmu pula, Timbul kerap melawat ke luar negeri. Dia menyebutnya ”belanja ilmu pengetahuan”. Tempat yang paling sering dia kunjungi adalah Guangzhou dan Shanghai di Tiongkok serta beberapa kota di Eropa.

Menurut dia, di tempat-tempat itulah sering ditampilkan desain-desain terbaru dunia. Tapi, jangan beranggapan Timbul ke sana untuk meniru desain yang sudah ada.

Dia ke sana justru untuk mengamati template desain yang ada, kemudian menciptakan desain yang berbeda. ”Uji produk dan uji market menentukan desain itu baik atau tidak,” katanya.

Selama ini Timbul membagi karyanya dalam dua jenis. Pertama, karya yang akan dijual. Misalnya, kebutuhan mebel interior atau applied art. Kedua, karya yang tidak dijual.

Karya kedua ditujukan untuk memenuhi kepuasan intelektual seninya. Kalaupun dijual, karya tersebut dilepas secara tersembunyi. Harganya bisa mencapai Rp 40 juta hingga Rp 100 juta.

Dengan ide-ide out of the box hasil kemauannya untuk selalu menambah ilmu itu, tak berlebihan jika Timbul disebut sebagai seniman pembaharu. Dan, tiap beberapa dekade, Kasongan memang selalu melahirkan pembaharu seperti ayahanda Magistyo Tahun Emas Raharjo, 20, dan Wangi Bunga Raharjo, 16, tersebut.

Pembaharu pertama adalah Ki Jembo yang datang ke Kasongan pada 1930. Berikutnya, pada 1974 giliran Sapto Hudoyo yang masuk ke desa tersebut dan mengajarkan teknik tempel.

Nama-nama pembaharu berikutnya adalah Suliantoro Sulaiman dan Larasati. Larasati merupakan warga Jogja asli yang senang mendalami ilmu merangkai bunga. Pada 1988 dia memamerkan karya-karya rangkaian bunga ke mancanegara yang dilengkapi vas dari gerabah Kasongan.

Kini, setelah puluhan tahun bergelut dengan gerabah, Timbul sudah memiliki lima showroom kerajinan. Empat di Kasongan dan satu di Bali.

Sekitar 60 persen dari semua produk di Inspira merupakan karyanya. Tapi, tidak berarti pencariannya akan ide-ide baru lantas berhenti. ”Sampai kapan pun saya tidak akan berhenti berinovasi,” katanya. (*/c10/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengintip Konsep ala Korea di Pernikahan Putri Papa Novanto


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler