Kasus 6 Laskar FPI, Refly Harun Heran Ada Arwah Berstatus Tersangka

Kamis, 04 Maret 2021 – 13:37 WIB
Pakar hukum tata negara Refly Harun. Foto: tangkapan layar YouTube Refly Harun

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaku bingung dengan keputusan polisi menetapkan enam Laskar FPI yang tewas sebagai tersangka penyerangan petugas di KM 50 Tol Jakarta - Cikampek pada 7 Desember 2020.

Refly mengatakan, sepanjang pengetahuannya tidak ada arwah yang bisa dijadikan tersangka.

BACA JUGA: 6 Laskar FPI yang Tewas Dijadikan Tersangka, Didu: Mayat-Mayat ini Akan Dipenjarakan di Mana?

"Ini ngeri-ngeri sedap, Bareskrim menetapkan enam laskar FPI sebagai tersangka. Keenamnya telah tewas ditembak polisi," kata Refly Harun di kanal YouTube pribadinya, Kamis (4/3). 

Dirinya mengaku bingung dan sempat bertanya kepada temannya yang ahli hukum pidana, tentang apakah pernah ada preseden mayat dijadikan tersangka. 

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Info Terbaru Kasus Kematian 6 Laskar FPI, IPW Minta Kapolri Mundur, Nasib Abu Janda

"Dia jawab, 'sependek pengetahuan saya tidak pernah', biasanya seseorang dijadikan tersangka dan dalam kasus dia meninggal dunia kasusnya dihentikan, itu misalnya terjadi pada Ustaz Maaher," katanya.

Dijelaskannya, kasus pidana beda dengan perdata. Dalam perkara perdata bila salah satu pihak meninggal dunia maka dia bisa dialihkan kepada pihak lain yang berhubungan atau tanggung renteng.  

BACA JUGA: MenPAN-RB Sudah Memangkas 39 Ribu Jabatan Struktural

"Misalnya, di antara anggota keluarga, jadi tidak bisa case closed. Namun, kalau kasus pidana itu individual responsibility, artinya tanggung jawab individual. Jika yang bersangkutan meninggal maka proses dihentikan," ujarnya.

Dia mencontohkan, kasus korupsi, itu bisa ditempuh dengan dua cara yaitu pidana dan perdata, untuk menuntutnya.

Jadi selain melakukan tuntutan pidana juga gugatan perdata, agar apabila pelakunya meninggal maka harta negara yang sudah dikorupsi bisa diselamatkan. 

"Makanya ini (kasus tewasnya 6 laskar FPI) tidak lazim," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Refly, dalam rekomendasi Komnas HAM menyebutkan adanya masalah terkait tuduhan kepemilikan senjata api, juga pernyataan bahwa jika enam laskar FPI itu tidak menunggu maka tidak akan terjadi bentrok yang mengakibatkan jatuhnya korban. 

"Ini seringkali di-underline untuk menyalahkan FPI. Mungkin memang salah, tetapi saya ingin mengatakan bahwa kok rasanya cemen sekali. Artinya, petugas yang seharusnya melindungi rakyat karena ditunggu kemudian menghabisi enam laskar FPI, kan harusnya tidak begitu," tuturnya.

Petugas seharusnya melakukan tembakan hanya untuk melumpuhkan. Namun, temuan Komnas HAM menunjukkan ada 18 tembakan yang ditujukan kepada laskar FPI dan semuanya di tempat-tempat yang mematikan.

"Jadi sukar rasanya diterima itu adalah tindakan membela diri," katanya.

Selain itu Komnas HAM juga menyatakan, penembakan atas laskar FPI yang masih hidup dan dalam pengawasan penuh pihak kepolisian merupakan tindakan unlawfull killing yaitu pembunuhan tidak berdasar prosedur hukum atau extra judicial killing

"Tetapi alih-alih mengusut pelaku unlawfull killing, baik pelaku di lapangan maupun mereka yang menyuruh melakukan, rupanya pihak Bareskrim malah menjadikan enam orang Laskar FPI yang sudah meninggal itu sebagai tersangka penyerangan kepada polisi, tentu sebuah perkelahian yang tidak seimbang yang saya bayangkan," tuturnya.

Dalam bayangan masyarakat, enam laskar FPI menyerang tetapi tidak ada satu pun polisi yang terluka. Enam laskar FPI yang justru meninggal dunia. Berbeda dengan kejadian di Sulawesi Tengah ketika penyergapan teroris satu aparat TNI meninggal dunia.  

"Kalau itu bisa kita katakan serang menyerang, tembak menembak dan korban di kedua belah pihak. Ini adalah pertarungan yang tidak seimbang antara petugas yang mungkin senjatanya lengkap, peralatannya lengkap dengan laskar FPI, itu analisis saya," tandas Refly Harun. (esy/jpnn)

 

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler