jpnn.com - JPNN.com – Kuasa Hukum Victoria Securities International Indonesia (VSIC), Irfan Aghasar mengaku tak mengerti dengan langkah Kejaksaan Agung yang menangani dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Negara (BPPN). Apalagi dengan hitung-hitungan jaksa yang diindikasi ada kerugian negara.
"Dengan risiko yang ada di BPPN, kami menawarkan seharga Rp 32 miliar. Dan kami ditetapkan sebagai pemenang ‘cassie’ dengan penawaran tertinggi. Apa kami salah? Apa yang kami langgar dari prosedur yang ada?" Kata Irfan, dalam diskusi bertajuk ‘Membongkar Kasus Cassie oleh BPPN di Tengah Ancaman Krisis’, di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (27/8).
BACA JUGA: Mau Tahu Kenapa Mbak Puan Pelit Bicara?
Irfan mengatakan saat melakukan penjualan hak tagih itu, BPPN memang tidak mematok harga tinggi. BPPN yang ketika itu dipimpin Syarifuddin Tumenggung memang memberikan diskon kepada semua pihak pembeli, termasuk VSIC yang mengambil alih jaminan milik PT Adyaesta Ciptatama.
Lanjut Irfan, saat cassie milik PT Adyaesta dilelang memang terdapat satu perusahaan yang menawar harga lebih dari penawaran VSIC, yakni First Capitol dengan harga Rp 69 miliar. Namun demikian, perusahaan itu tiba-tiba membatalkan pembelian karena melihat adanya kejanggalan.
BACA JUGA: Pemerintahan Jokowi Hadapi Tekanan Ekonomi, Ini Pesan dari Megawati
Peluang itu pun dimanfaatkan oleh VSIC, dimana dalam pelelangan tahap keempat menawar dengan harga paling tinggi yakni Rp 32 miliar.
Sebelumnya pihak Kejaksaan Agung mengklaim jika terdapat kerugian negara dari penurunan harga yang ditawarkan First Capitol dengan penawaran VSIC. Hal itulah yang membuat pihak VSIC terheran-heran.
BACA JUGA: Uhui... Kali Ini Bang Fahri Dukung Pak Jokowi
"Kalau pun ada yang mau ribut, dengan harga awal Rp 69 miliar, terus jadi Rp 32 miliar, yang kemudian dibilang kerugian negara, yang ribut adalah penawar tertinggi. Si Capitol. Dia aja nggak ribut," kata Irfan.
Jika cara berhitung yang seperti itu terus dipakai Kejagung, penegakan hukum khususnya kasus korupsi di tanah air akan semakin amburadul.
"Anehnya lagi, kalau hitungan (kerugian negara) seperti itu, waduh, bagaimana nanti penyidikan hukum, bagaimana kualitas penegak hukum. Katanya mau jadi kompetitor KPK, sedangkan sumber dayanya belum siap. Tidak mengerti bagaimana penyidikan kasus tindak pidana korupsi," katanya.
Lebih lanjut Irfan menjelaskan, banyak aset yang diambil alih BPPN, namun tidak bisa dikembalikan ke negara. Setidaknya ada 70 persen aset, soal cassie yang tidak bisa dijual oleh BPPN
Menurutnya, bila Kejaksaan Agung ingin serius menangani kasus cassie BPPN, seharusnya ditelisik adalah hak tagih yang tidak berhasil dijual. Karena dari sanalah bisa dihitung berapa kerugian negara.
"Karena terus terang, ‘recovery’ BPPN pada saat itu, total aset yang dikelola, hanya 30,6 persen sekian, jadi kalau secara global yang 70 persen itu kemana? Masuk kerugian negara atau tidak? Silahkan tanya BPK," katanya.
Irfan mengatakan, ada yang janggal ketika perusahaan yang dibelanya ikut terseret dalam kasus ‘cassie’ BPPN. Padahal, dari total 30 persen hak tagih BPPN yang berhasil terjual, sedikitnya terdapat andil VSIC.
Seperti diketahui, VSIC telah membeli hak tagih BPPN yang diambilalih dari Bank Tabungan Negara (BTN). Hak tagih itu berupa jaminan tanah milik PT Adyaesta Ciptatama seluas 1200 hektar, dengan harga Rp 32 miliar.
"30 persen, dari total ‘recovery’ yang dikembalikan BPPN, yang dikelola asetnya termasuk salah satunya kami, itu masuk kerugian negara atau tidak? Hitung dulu secara total, karena kalau sudah ada hitungan totalnya, berarti seluruh daftar aset-asetnya itu dilelang secara terbuka," katanya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Unek-Unek Bu Mega Lantaran Dipelintir Media soal Pembubaran KPK
Redaktur : Tim Redaksi