Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan total kasus COVID-19 di Indonesia hingga Selasa (26/01) telah mencapai 1.012.350 dengan total jumlah kematian mencapai 28.468.
Pencapaian ini terjadi hanya dua minggu setelah Indonesia meluncurkan program vaksinasi yang menggunakan vaksin CoronaVac yang dikembangkan perusahaan China, Sinovac, di mana Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang divaksinasi.
BACA JUGA: Muhadjir Effendy Buka Kemungkinan Indonesia Meniru Karantina Model Hong Kong
Jakarta masih menjadi kota dengan kasus terbanyak saat ini, dengan lebih dari 250.000 kasus positif COVID-19 dan lebih dari 4.000 kasus kematian.
Sementara hanya tinggal 8,5 persen dari total 8.066 tempat tidur rumah sakit yang tersedia untuk pasien COVID-19, berdasarkan data pemerintah hingga Selasa kemarin.
BACA JUGA: Satu Juta Kasus Corona, Bamsoet: Jangan Biarkan RS Melemah
Menkes Budi menyampaikan "rasa duka mendalam" baik dari Pemerintah dan seluruh rakuat Indonesia dengan pencapaian angka satu juta kasus.
"Karena ada banyak saudara kita yang sudah wafat, ada lebih dari 600 tenaga kesehatan yang sudah gugur menghadapi pandemi ini," ujarnya dalam sebuah konferensi pers online.
BACA JUGA: Catat! 10 Kelurahan di DKI dengan Kasus Aktif Covid-19 Tertinggi
Photo: Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan duka yang mendalam setelah Indonesia capai sejuta kasus COVID-19. (Supplied.)
"Mungkin sebagian dari keluarga dan teman kita juga sudah meninggalkan kita," tambahnya.
Menkes Budi kemudian mengajak agar semua pihak "bekerja keras" untuk menangani masalah ini.
"Angka satu juta ini memberikan satu indikasi bahwa seluruh rakyat Indonesia harus bersama dengan pemerintah bekerja bersama untuk atasi pandemi ini dengan lebih keras lagi," kata Menkes Budi.
Rini Tri Utami adalah salah satu dari sejuta orang di Indonesia yang terinfeksi COVID-19. Photo: Rini Tri Utami dan keluarganya. (Foto: Koleksi pribadi)
Ia sempat dirawat di rumah sakit selama satu minggu pada akhir Desember 2020.
Saat masuk rumah sakit, Rini mengaku sangat terpukul, karena pada saat yang bersamaan anak sulungnya yang duduk di kelas 6 SD terkonfirmasi positif COVID-19 dan harus menjalani karantina di hotel sendirian.
"Rasanya sudah hampir mati. Saturasi oksigen di bawah normal. Nafas saya pendek, enggak bisa terlelap tidur," ujarnya.
"Setiap hampir tertidur, nafasnya enggak sampai dan saya jadi kaget, seperti orang yang mimpi jatuh dari ketinggian, kemudian terbangun. Dan itu terjadi terus," ujar Rini yang bahkan sempat mengalami halusinasi.
Meski Rini dan putranya kini telah dinyatakan negatif COVID-19, ia banyak belajar dari pengalamannya saat terjangkit COVID-19, termasuk aspek psikologis yang menurutnya turut berperan dalam prose pemulihan. Photo: Indonesia kini berada di peringkat ke-19 dari 20 negara dengan total angka penularan COVID-19 tertinggi di dunia. (AP: Firdia Lisnawati)
Data yang tidak dibuka dan ilmuwan yang kurang dilibatkan pada awal pandemi
Elina Ciptadi, peneliti dari Kawal COVID-19, menilai di awal penanganan COVID-19, Pemerintah cenderung tidak transparan dalam menyampaikan data dan fakta pandemi yang penting dan diperlukan oleh masyarakat untuk bisa menyikapi krisis pandemi corona.
Daripada mengkomunikasikan risiko, menurut Elina, Pemerintah lebih suka mencegah kepanikan melalui narasi-narasi positif dengan basis data yang hampir tidak ada.
Elina mencontohkan kampanye: 'kalau optimis, kita akan sehat dan meningkatkan imunitas tubuh'.
"Itu ada benarnya, memang. Tapi definisi optimisme sendiri adalah tidak kehilangan harapan bagaimanapun buruknya situasi yang sedang dihadapi."
"Jadi bagaimana warga bisa optimistis kalau mereka nggak tahu seberapa buruknya kemungkinan yang mereka hadapi karena datanya nggak ada?" tutur Elina. Photo: Kerumunan warga di pasar tradisional di Bogor 18 Mei 2020 lalu. (Antara Foto/Arif Firmansyah/via REUTERS)
Peneliti di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), Evan Laksmana mengatakan, sikap Pemerintah ini merupakan "cara berpikir militer" yang sebisa mungkin tidak membuka informasi.
"Dan ini bukan pertimbangan yang tepat dalam kasus public health seperti COVID-19."
"Pak Jokowi juga mengakui … kalau beliau mendengar laporan intelijen, bahwa dia sengaja menyembunyikan informasi supaya enggak menimbulkan kepanikan," tambahnya.
Pendekatan yang militeristik ini menurut Evan, bukan berarti TNI mengambil alih semua pengambilan dan penerapan kebijakan terkait pandemi virus corona, melainkan berasal dari pengaruh dari perwira aktif dan pensiunan di lingkungan pembuatan kebijakan.
Sementara itu, Lapor COVID-19 menilai akses data COVID-19 di Indonesia saat ini sudah lebih baik dibandingkan awal pandemi.
"Tapi berbasis data saja tidak cukup. Harus data yang akuntabel, yang bisa mencerminkan apa yang terjadi di lapangan," kata Irma Hidayana dari Lapor COVID-19. Photo: Menurut epidemiolog, tidak ada kebijakan yang mendukung pembatasan pergerakan, seperti misalnya bantuan untuk mereka yang harus bekerja dari rumah. (Ajeng Dinar Ulfiana, Reuters/File Photo)
Pandu Riono, epidemiolog dari Universitas Indonesia, mengatakan para ilmuwan dan temuan mereka seringkali diabaikan pada awal pandemi.
"Denial [penyangkalan] pemerintah saat itu juga luar biasa tingginya," kata Pandu Riono kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"[Memberikan input kepada pemerintah] ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," tutur Pandu.
"Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami."
"Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia harus berfungsi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi [harus] juga berfungsi mengumpulkan masukan dari akademisi." Aturan pembatasan dianggap tak untungkan ekonomi Photo: Menurut epidemiolog Indonesia, angka kasus yang terus naik terjadi akibat pengabaian pada prinsip dasar penanganan COVID-19. (Antara/Mohammad Ayudha)
Pemerintahan Indonesia juga menghadapi kritik karena dianggap memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada kesehatan masyarakat selama pandemi.
Ketika negara-negara lain, termasuk Australia, bersiap untuk menutup perbatasan mereka pada Februari tahun lalu, Pemerintah Jokowi mengalokasikan hampir Rp10 triliun untuk mempromosikan pariwisata domestik Indonesia.
Andri Satrio Nugroho, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan Indonesia seharusnya menerapkan protokol kesehatan yang ketat seperti yang diberlakukan untuk menahan wabah SARS 2003.
INDEF merekomendasikan kepada Pemerintah pada bulan Maret bahwa mereka harus memprioritaskan kesehatan masyarakat daripada ekonomi.
"Ini untuk menghindari apa yang kita lihat saat ini, angka penularan tidak turun tapi kegiatan ekonomi juga tidak bisa dilakukan sepenuhnya," kata Andri.
Namun pada awal September karena jumlah kasus harian terus bertambah, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Indonesia, Abdul Kadir, memperingatkan agar tidak lagi dilakukan pembatasan karena akan memperdalam kesengsaraan ekonomi Indonesia.
"Jika kita [masuk] lockdown atau pembatasan [lagi], apa yang terjadi? Ekonomi tidak akan bergerak dan negara kita mengalami resesi," katanya. Baca juga: Indonesia dianggap terlalu cepat membuka keran ekonomi saat penularan virus corona masih tinggi Delapan puluh persen pasien sembuh tapi COVID-19 bukan penyakit biasa Photo: dr Disa Edralyn pernah tertular virus corona dan ia meminta agar masyarakat mengikuti aturan kesehatan. (Koleksi pribadi)
Indonesia kini berada di peringkat ke-19 dari 20 negara dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan jumlah yang sudah melebih Belanda, Ceko dan Kanada.
Indonesia menembus angka setengah juta sebelumnya pada 23 November tahun lalu.
Beberapa pekan kemudian menjelang Natal, total angka mencapai lebih dari 700.000 dan hanya butuh waktu kurang dari sebulan hingga mencapai 1 juta.
Rekor jumlah kasus harian tertinggi tercatat beberapa kali hingga pertengahan Januari lalu dan beberapa pakar kesehatan mengatakan liburan akhir tahun menjadi salah satu penyebabnya.
Reisa Broto Asmoro, juru bicara Satgas COVID-19 mengatakan 80 persen warga yang terjangkit COVID-19 dinyatakan sembuh.
Namun sejumlah dokter di Indonesia mengatakan pernyataan soal banyaknya kesembuhan malah bisa mengirimkan pesan yang salah.
Seperti yang pernah dikatakan dr Disa Edralyn kepada ABC Indonesia.
Menurutnya, "menggaung-gaungkan" banyaknya pasien yang sembuh di saat angka penularan terus naik akan membuat masyarakat merasa jika COVID-19 adalah penyakit biasa.
Dr Disa yang pernah tertular virus corona akhir Juli lalu mengatakan perjalanan pasien untuk bisa sembuh membutuhkan banyak hal, seperti fasilitas dan perlengkapan rumah sakit.
"Jangan menganggap kalau sakit, kemudian berpikir akan sembuh dengan pergi ke rumah sakit, tapi enggak tahu kalau kapasitas rumah sakit ini terbatas," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
"Kalau pun tempat tidur tersedia, tapi bagaimana kalau perlu perawatan intensif? Bagaimana juga jika tenaga Kesehatan banyak yang sakit? Siapa yang akan merawat?" tutupnya.
Laporan tambahan oleh Erwin Renaldi
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Konsumsi Buah Matang Alami, Tingkatkan Imunitas Diri