Meski lebih dari 80 persen warga Singapura telah divaksinasi penuh, namun kasus COVID kembali meningkat, sehingga pembatasan sosial pun diperketat lagi.

Pada hari Minggu (12/09), negara berpenduduk 5,7 juta jiwa ini melaporkan 555 kasus COVID-19 harian, tertinggi sejak Agustus 2020.

BACA JUGA: Dampak Serangan 11 September Dirasakan Warga Indonesia di Luar Negeri

Sehari sebelumnya, Singapura mencatat kematian terkait COVID yang ke-58, yaitu seorang pria berusia 80 tahun yang baru sekali divaksin dan memiliki penyakit bawaan diabetes, hipertensi, dan jantung.

Pemerintah Singapura telah menunda rencana pembukaan kembali negaranya.

BACA JUGA: Malaysia Siap Buka Kawasan Wisata, Kesiagaan Ditingkatkan

Mereka bahkan memberlakukan lagi pembatasan lebih ketat sejak minggu lalu.

Kementerian Kesehatan Singapura mengumumkan larangan pertemuan sosial di tempat kerja, setelah kejadian di salah satu kantin kantor, disebabkan oleh karyawan yang melepas masker. Pertemuan sosial kini dibatasi sekali sehari.

BACA JUGA: Ride for Indonesia, Ikhtiar WNI di Inggris Bantu Korban Pandemi dengan Bersepeda

Menurut Gan Kim Yong, salah satu ketua gugus tugas COVID Singapura, lonjakan infeksi yang mengkhawatirkan "mungkin mencapai 2.000 kasus baru sehari".

Pakar pemodelan penyakit menular di National University of Singapore Alex Cook menjelaskan, situasi tidak membaik "sebanyak yang kita harapkan", meski pun mayoritas penduduk Singapura telah divaksinasi penuh.

Negara Singapura sebagian besar mengandalkan vaksin Pfizer dan Moderna, dengan sebagian penduduk berusia tua memilih Sinovac.

Bulan lalu, Singapura melakukan pertukaran 500.000 vaksin Pfizer dengan Australia.

"Kasus infeksi telah meningkat sejak kami mencapai vaksin penuh 80 persen, sebagian karena kami mengizinkan kegiatan sosial bagi mereka yang telah divaksin," katanya.

"Saya berani katakan, tindakan pengendalian COVID ini lebih melelahkan," kata Alex kepada ABC.

Ia menambahkan, pelajaran dari negara-negara ASEAN menunjukkan bahwa pencegahan varian Delta sangat sulit dilakukan, bahkan tingkat vaksinasi yang tinggi seperti di Singapura pun tak akan banyak membantu.

"Kami menemukan banyak kejadian infeksi di antara orang yang divaksinasi, tapi sebagian besar kasusnya ringan atau tanpa gejala," jelas Alex.

Singapura saat ini hanya memiliki 35 pasien COVID-19 yang sakit parah, tujuh di antaranya berada di ICU.

50 persen warga Singapura sebelumnya telah diizinkan kembali ke kantor dan sebagian besar menggunakan transportasi umum.

Namun pekan lalu tercatat lebih dari 300 kasus baru yang dikaitkan dengan delapan depot bus di negara itu.

Kawasan Pecinan yang populer dikunjungi oleh warga lansia telah ditutup setelah terjadi 44 infeksi dari tempat itu. Vaksinasi 80 persen terlalu rendah untuk Delta

Leong Hoe Nam, ahli penyakit menular dari Klinik Rophi Singapura, menjelaskan strain Delta telah mengubah target tingkat vaksinasi komunitas yang diperlukan.

"Mereka menetapkan target 80 persen, itu terlalu rendah. Memang ini akan mengatasi strain Alpha tapi bukan Delta yang mudah menular dua hingga tiga kali lebih banyak," jelas Dr Leong.

"Sekarang dibutuhkan setidaknya 90 persen vaksinasi penuh, yang secara teknis tidak mungkin dicapai karena adanya orang yang anti vaksin atau mereka yang menolak," ujarnya.

Dr Leong mengatakan 80 persen vaksin penuh "belum cukup karena masih dapat membebani layanan rumah sakit dan akan banyak terjadi kematian".

Perdana Menteri Australia Scott Morrison menetapkan target vaksinasi penuh 80 persen sebagai bagian dari empat langkah pembukaan kembali Australia.

Namun, ambang batas tersebut sebenarnya lebih rendah karena dihitung berdasarkan pada populasi berusia di atas 16 tahun.

Sedangkan ambang batas 80 persen di Singapura didasarkan pada total populasi. Masalah kesehatan mental meningkat

Meskipun Singapura tidak mengalami lockdown selama Sydney atau Melbourne, seorang psikolog klinis Annabelle Chow menyebut terjadinya peningkatan 20 hingga 30 persen warga yang mencari konseling.

"Kami juga mengalami kelelahan akibat pandemi, dan jangan lupa kebanyakan dari kami tinggal di tempat lebih kecil di sini dan tanpa pedesaan seperti di Australia," kata Dr Chow.

"Meskipun mencapai 80 persen vaksinasi, Singapura mengambil pendekatan konservatif dalam hal membuka perbatasan, mengingat populasi kami sangat terkonsentrasi," jelasnya.

"Jadi, profesional kesehatan mental berusaha membantu warga Singapura hidup dalam normal baru, dan tidak berpikir untuk kembali ke normal lama," tambahnya.

Glenn van Zutphen, pembawa acara Radio Amerika di Singapura, mengatakan sulit untuk menegosiasikan "panduan resmi yang terus berubah" tentang COVID-19.

"Kami tahu akan melewatinya, namun ketidakpastian tentang bagaimana dan kapan, telah menimbulkan korban secara ekonomi, fisik, dan mental pada warga di sini," katanya. Singapura buka diri untuk Jerman dan Brunei

Sebagai negara yang menjadi pusat perjalanan internasional, Singapura pekan lalu mulai membuka koridor perjalanan terbatas yang memungkinkan warga negara lain yang telah divaksinasi penuh masuk ke sana tanpa karantina.

Program 'Vaccinated Travel Lane' akan menerima wisatawan dari Jerman dan Brunei yang diwajibkan mengikuti tes PCR sebelum keberangkatan dan setibanya di Bandara Changi.

Dr Alex Cook mengatakan risiko program itu dapat diabaikan, karena "biar pun pendatang membawa 50 kasus baru, dampaknya akan sangat kecil pada komunitas", mengingat tingkat infeksi yang tinggi saat ini.

"Bila 90 persen dari kelompok usia yang memenuhi syarat telah divaksinasi, masyarakat sekarang cukup tahan terhadap penyakit parah, sehingga koridor perjalanan yang lebih luas bisa dipertimbangkan," katanya.

Karena negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia belum bisa diakses, Dr Annabelle mengatakan kemampuan naik pesawat ke negara lain telah mengangkat semangat warga Singapura.

"Ada harapan karena kami bisa memiliki koridor perjalanan dengan Jerman dan Brunei serta bisa makan di luar hingga lima orang," ujar Dr Annabelle.

Terkait pelajaran yang bisa dipetik oleh Pemerintah Australia dari situasi di Singapura, Dr Alex Chow mengatakan pemerintah perlu mendatangi warganya untuk divaksin.

"Banyak orang yang sebenarnya setuju untuk divaksinasi tapi merasa tidak nyaman pergi ke pusat-pusat vaksinasi," katanya.

"Mereka mau disuntik jika kita yang mendatangi mereka, seperti yang kami lakukan di Singapura, termasuk mendatang individu yang dirawat di tempat tidur atau memiliki kondisi medis lainnya," jelas alumni Universitas Monash dan Universitas Deakin ini.

Ia memperingatkan bahwa tingkat vaksinasi 80 persen bukanlah obat mujarab untuk semua penyakit.

"Itu bukan berarti pandemi telah berakhir, seperti yang terjadi di Singapura," katanya.

"80 persen hanyalah plester dari luka. Kita masih belum tahu apa yang akan terjadi dengan luka di bawah plester itu," ujarnya.

ABC/Reuters

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penyakit Ini juga Harus Diwaspadai, 16 Warga Dilarikan ke Rumah Sakit

Berita Terkait