jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menyoroti kasus dugaan perekrutan tenaga honorer fiktif di DPRD Kepulauan Riau (Kepri).
Menurutnya, Gubernur Kepri Ansar Ahmad tak bisa lepas tangan dari kasus ini karena anggaran yang digunakan untuk membayar tenaga honorer bersumber dari APBD di mana merupakan tanggung jawab kepala daerah.
BACA JUGA: Terungkap 605 Honorer Fiktif, Terbit SE Larangan Pengangkatan jadi PPPK
"Jika alokasi APBD tidak tepat guna atau ada dugaan penyelewengan, maka gubernurnya tak bisa lepas tangan begitu saja karena ini mengenai penggunaan APBD yang juga merupakan tanggung jawab kepala daerah," kata Trubus kepada wartawan, Senin (18/12/2023).
Selain soal anggaran, Trubus berpendapat bahwa Gubernur Ansar juga bertanggung jawab terhadap surat edaran terkait perekrutan honorer di lingkungan Pemprov Kepri yang diterbitkan Ansar pada 2021 dan 2023.
BACA JUGA: Heboh 500 Honorer Fiktif di Provinsi Ini, Nama Terdaftar, Orangnya Tidak Ada, Alamak!
"Jadi perlu diselidiki apakah penerapan, pengawasan dan sosialisasi edaran perekrutan honorer itu sudah sesuai aturan atau tidak. Jika pelaksanaannya tidak sesuai, maka itu tanggung jawab gubernurnya selaku pembuat kebijakan," ungkapnya.
Lebih jauh, Trubus juga menyinggung soal dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat daerah di balik perekrutan tenaga honorer fiktif di Kepri.
BACA JUGA: Jika Ada Bukti, Lima Honorer Fiktif tak Diusulkan Diangkat CPNS
"Ada indikasi tindakan abuse of power, apalagi di tahun politik ini segala cara bisa dilakukan untuk mencari dukungan, termasuk dengan menempatkan orang-orangnya pada posisi atau jabatan tertentu," jelasnya.
Seperti diberitakan, Penyidik Direktorat Kriminal Khusus Ditreskrimsus Polda Kepri memeriksa Gubernur Kepri Ansar Ahmad sebagai saksi dalam kasus kasus dugaan perekrutan tenaga honorer fiktif di DPRD di Kepri pada Sabtu (16/12/2023).
Dalam pemeriksaan yang berlangsung hingga tengah malam di Mapolda Kepri, Gubernur Ansar mengaku diberi belasan pertanyaan oleh penyidik.
"Ada 13-14 pertanyaan lah. Pemeriksaan paling efektif sekitar tiga jam. Lamanya karena hanya berdiskusi perkembangan situasi," ujar Ansar kepada wartawan selepas diperiksa penyidik.
Ansar mengungkapkan, dirinya dipanggil polisi untuk mengklarifikasi mengenai surat edaran yang dikeluarkan. Ia mengaku pemeriksaan berjalan dalam suasana santai.
"Tadi habis magrib kita mulailah, sambil ngopi-ngopi, makan malam, makan sate kemudian menjawab dan mengklarifikasi beberapa pertanyaan," ujarnya.
Lebih lanjut, Ansar menyebut dirinya sempat meminta penundaan pemeriksaan yang diagendakan pada Jumat (15/12/2023), dan pada Sabtu kemarin ia baru berkesempatan untuk memenuhi pemanggilan polisi.
"Sebenarnya hari Jumat saya diminta datang untuk klarifikasi surat edaran kami. Namun, karena ada acara lain saya minta penjadwalan hari ini," ucap dia.
Sebelumnya, Direskrimsus Polda Kepri Kombes Nasriadi Nasriadi menyebut pihaknya memintai keterangan dari Gubernur Kepri Ansar Ahmad sebagai saksi dalam kasus dugaan perekrutan tenaga honorer fiktif di Sekretariat DPRD Kepri.
Nasriadi mengatakan Gubernur Ansar dimintai keterangan penyidik terkait surat edaran yang dikeluarkan, dan mengenai pengawasan dan sosialisasi surat edaran tersebut.
"Gubernur Kepri dipanggil untuk diminta keterangan tentang surat edaran yang dikeluarkan serta bagaimana sosialisasi dan pengawasan terhadap edaran perekrutan honorer di lingkungan Pemprov Kepri," kata Nasriadi kepada wartawan, Jumat (15/12/2023).
Soal perekrutan honorer di lingkungan pemerintahan, sebutnya, diatur dalam SK Kemendagri Nomor 1814 tertanggal 10 Januari 2013.
Gubernur Kepri juga diketahui mengeluarkan dua surat edaran terkait perekrutan honorer di lingkungan Pemprov Kepri yakni di tahun 2021 dan tahun 2023.
"Ada surat keputusan Kemendagri terkait honorer. Surat Edaran Gubernur Kepri tahun 2021 tentang honorer dan surat edaran Gubernur Kepri perekrutan honorer di Pemprov Kepri setelah kasus ini kita lakukan penyelidikan," tutur Nasriadi.
Selain Gubernur Ansar, Nasriadi menyampaikan bahwa pihaknya juga telah memeriksa 234 saksi terkait kasus tersebut.
"Dari jumlah itu, 219 orang merupakan THL di DPRD Kepri, kemudian ada 20 orang dari sekretariat DPRD Kepri, 3 orang dari pihak Pemprov Kepri dan 2 orang dari BPJS Ketenagakerjaan," ujar Nasriadi.
Pemeriksaan ratusan saksi ini dilakukan terkait dengan anggaran yang digunakan dalam pembayaran THL fiktif itu.
"Normalnya ada 167 orang THL yang sudah ada, tetapi yang tercatat ada sampai 219 orang. Nah, untuk 167 orang ini kan memang sudah ada anggarannya, lalu untuk selebihnya mereka menggunakan anggaran kegiatan anggota DPRD Kepri," beber Nasriadi.
Menurutnya, anggaran tersebut harusnya tidak boleh digunakan untuk kepentingan lainnya, karena aturannya sudah ada.
"Ini masih kami dalami ya, karena sekwan itu yang tahu terkait penggunaan anggaran di DPRD Kepri," kata Nasriadi.
Dalam pendalaman kasus tersebut, ungkap Nasriadi, pihaknya kembali menemukan dua orang THL yang tidak bekerja sama sekali, tetapi tetap mendapatkan honor.
"Ini sebetulnya yang sangat kami curigai, tidak bekerja, tetapi mendapatkan gaji setiap bulan,” bebernya.
Kemudian, ada 49 orang THL yang bekerja tidak sesuai dengan tupoksinya di bagian administrasi sekretariatan Dewan DPRD Kepri.
"Artinya, yang 49 orang ini mereka tidak berkerja di kantor Setwan. Ada yang bekerja di luar, atau mungkin ada yang bekerja dengan anggota DPRD, ini juga masih kami dalami," jelasnya.
Lebih lanjut, Nasriadi mengatakan saat ini kasus dugaan perekrutan honorer fiktif di Pemprov Kepri itu masih dalam tahap penyelidikan.
Pihaknya juga masih akan meminta beberapa ahli untuk melengkapi penyelidikan kasus tersebut.
"Masih penyelidikan. Jika hasil pemeriksaan saksi dan sejumlah bukti nantinya akan digelar perkara, apakah bisa naik ke tahap selanjutnya atau tidak. Intinya ini masih berproses," terangnya.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean