Kasus Mary Jane Tamparan Keras pada MA

Kamis, 30 April 2015 – 05:29 WIB
Mary Jane (kiri) didampingi penerjemah bahasa Tagalog dalam sidang PK di PN Sleman, Jogjakarta, (4/3). Foto: Setiaky/Radar Jogja

jpnn.com - JAKARTA – Suara yang meminta agar hukuman mati dihapuskan terus bermunculan. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, misalnya, menyebut hukuman mati tidak layak diterapkan karena lemahnya sistem peradilan di Indonesia.

 

Dia menyebut contoh penundaan eksekusi terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati asal Filipina. Mary Jane urung ditembak dini hari tadi karena pemerintah Indonesia merespons bukti baru yang ditemukan.

BACA JUGA: Jokowi dan Jaksa Agung Gelar Pertemuan Tertutup di Semarang, Bahas Mary Jane?

Seperti diketahui, ada seseorang bernama Maria Kristina P Sergio yang mengaku telah merekrut dan menjebak Mary Jane. ’’Dia sudah menyerahkan diri di Filipina,’’ ujar Anggara dalam siara pers yang diterima Jawa Pos.

BACA JUGA: Dor! 30 Menit Kemudian Baru Meninggal

ICJR menilai, lemahnya peradilan Indonesia untuk kasus Mary Jane sudah terbaca sejak perempuan itu disidangkan. Mulai tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai, penerjemah yang layak, sampai tidak mempertimbangkan posisi Mary Jane yang merupakan korban penjebakan dan perdagangan orang.

’’Fakta yang muncul di detik-detik akhir eksekusi bahwa Mary Jane dijebak telah memberikan tamparan keras pada sikap MA yang melakukan pembatasan terhadap peninjauan kembali (PK),’’ tegasnya.

BACA JUGA: Jika KPK Tak Sentuh Ibas, Ini Saran untuk Nazaruddin dan Sutan

Nah, hukum acara yang digunakan dalam memproses dinilai lemah dalam hal standar fair trial-nya. Lebih lanjut Anggara menjelaskan, norma KUHAP yang berlaku saat ini belum layak karena ada hal-hal khusus yang tidak dicantumkan secara tegas. Seperti perlindungan, standar bantuan hukum, dan ketersediaan advokat yang kompeten.

’’Problem miscarriege of justice maupun larangan praktik intimidasi dan penyiksaan juga tidak diatur dalam KUHAP,’’ imbuhnya. Kondisi itu diperburuk dengan minimnya hak terdakwa untuk melakukan PK secara memadai.

Oleh sebab itu, ICJR mendesak Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan kembali penolakan grasi terhadap terpidana mati lainnya. Kalau perlu, segera dibentuk tim yang akan melakukan review terhadap seluruh dugaan kelemahan proses peradilan pidana. Terutama, yang berhubungan dengan hak atas fair trial bagi terpidana mati.

Selain itu, pihaknya mendorong percepatan pembahasan Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP guna menambal kelemahan. Khususnya, dalam menjamin tidak adanya celah pelanggaran terhadap hak atas fair trial.

’’Kami juga mendesak MA untuk mencabut SEMA 7/2014 tentang pembatasan pengajuan PK pidana. Fakta kasus Mary Jane menunjukkan bahwa novum bisa datang kapan saja,’’ tuturnya. (dim/fal)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Semua Terpidana Mati Langsung Meninggal Pada Tembakan Pertama


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler