Kasus Patrialis Akbar Goyang Ketua MK

Jumat, 27 Januari 2017 – 17:36 WIB
Patrialis Akbar (baju oranye) usai menjalani pemeriksaan, Kamis (26/1) malam. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Buntut dari kasus suap yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar belum tuntas, kini MK dicoreng lagi dengan persoalan yang sama.

Hakim MK Patrialis Akbar ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap USD 20 ribu dan SGD 200 ribu dari pengusaha impor daging Basuki Hariman.

BACA JUGA: Please, Jangan Kaitkan SBY dengan Patrialis

Suap itu terkait pengurusan perkara uji materi Undang-undang (UU) nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Selain persoalan itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menyatakan, sejak Arief Hidayat menjabat sebagai ketua MK, sekurang-kurangnya ada lima putusan lembaga ini yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi.

BACA JUGA: Penyuap Patrialis Akbar: Ini Bisa-bisanya Kamal Saja

Pertama, soal perluasan objek praperadilan. Pada 28 April 2015, MK mengabulkan permohonan uji materi pasal 77 huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memperluas objek praperadilan.

Permohonan diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

BACA JUGA: Basuki Hariman Masih Tutupi Peran Patrialis Akbar

Melalui putusan nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan memperluas objek permohonan praperadilan, tidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan.

“Namun menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan yaitu, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” kata anggota koalisi Tama S Langkun, Jumat (27/1).

Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Pada 9 Juli 2015, MK mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada dibatalkan.

Hal itu tertuang dalam putusan MK nomor 42/PUU-XII/2015.

Ketiga, larangan jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan berkekuatan hukum tetap.

Pada akhir Desember 2015, MK mengabulkan permohonan dari Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali.

Dalam putusannya, MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan PK atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Keempat, mantan terpidana (korupsi) dapat mengikuti pilkada di Aceh. Pada 23 Agustus 2016, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap pasal 67 ayat (2) huruf g UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kelima, penghapusan pidana permufakatan jahat dalam perkara korupsi. Pada 7 September 2016, MK mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Setya Novanto, yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejagung.

Pemohon mengajukan uji materi pasal 15 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Keenam, MK memutuskan pasal 2 dan 3 UU Tipikor harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.
Ini tertuang dalam putusan MK nomor 25/PUU-XIV/2016). “Putusan akan mengerogoti upaya penyidikan perkara korupsi yang dilakukan penegak hukum,” kata Tama.

Dia menambahkan, syarat untuk menggunakan pasal tersebut menjadi sangat ketat dan sulit.

Ada banyak perkara yang tertunda karena belum menunggu proses perhitungan potensi kerugian negara.

“Di antaranya adalah kasus dugaan korupsi dalam proyek e-KTP (kartu tanda penduduk elektronik),” ujarnya.

Lebih lanjut Tama menambahkan, lemahnya pengawasan MK juga merupakan akibat dari hasil pengujian kewenangan Komisi Yudisial pada 2006.

“Mahkamah Konstitusi justru menghilangkan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi,” ungkap Tama.

Koalisi menuntut agar Arief Hidayat segera mengundurkan diri dari jabatannya karena gagal menjaga kewibawaan MK.

Koalisi juga meminta KPK mengusut tuntas kasus Patrialis Akbar. KPK jangan ragu untuk menindak pihak – pihak lainnya yang berpotensi terlibat.

Koalisi menyatakan MK harus memperkuat fungsi pengawasan internal dan eksternal. Terakhir, Presiden Joko Widodo harus segara mencari pengganti Patrialis untuk menutup kekurangan hakim konstitusi. (boy/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Patrialis Tersangka, KPK Langsung Geledah MK


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler