jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menyoroti kasus seorang siswa sekolah dasar (SD) yang meninggal akibat menerima perundungan dari teman-temannya.
Korban berinisial F (11) dipaksa teman-temannya menyetubuhi kucing lalu kejadian tersebut direkam.
BACA JUGA: Aipda S dan Briptu R Ditahan, AKBP Harissandi: Dadakan
Videonya disebarkan melalui pesan WhatsApp sehingga korban depresi.
Korban kemudian mengalami penurunan kondisi psikis dan tidak mau makan.
BACA JUGA: Panggil Mahasiswi ke Rumah, Guru Besar OHU Menempel dari Belakang, Brak, Terjadilah!
Dia dilarikan ke rumah sakit pada Jumat (15/7), lalu meninggal dunia pada Senin (18/7) malam.
Reza menduga selama pandemi Covid-19 anak-anak banyak menyaksikan perilaku manusia yang tidak semenggah di media sosial.
BACA JUGA: 2 Pecatan TNI AD Bentuk Komplotan Penjahat, Polisi Tak Tinggal Diam, Sikat!
Dengan begitu, anak-anak memiliki imajinasi yang liar. Kemudian, sekolah tatap muka yang digelar menjadi ruang penyaluran imajinasi tersebut.
"Kata 'bullying' sendiri terdengar lucu. Tidak mengesankan sebagai sesuatu yang parah, serius, dan mengerikan. Alhasil, kita seolah mengalami desensitisasi akibat malah akrab dengan bunyi yang lucu ketika kata itu diucapkan. Bullying toh juga bukan istilah hukum," kata Reza, Kamis (21/7).
Untuk itu, dia menilai penggunaan kata 'bully' perlu dihentikan agar tidak mengundang salah paham dan sikap menyepelekan.
"Pakai saja sebagai gantinya, istilah hukum. Misalnya, kekerasan atau bahkan kejahatan, betapa pun kata itu tidak bisa dikenakan ke anak-anak."
"Ke anak-anak, sebutan yang boleh dipakai ialah kenakalan atau delinkuensi, tetapi itu pun tidak sepenuhnya mewakili bobot keseriusan fenomena dimaksud," tutur Reza.
Dia mengatakan fenomena yang terjadi pada F melibatkan empat tindak pidana, yaitu kejahatan seksual, kekerasan fisik, penganiayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia, dan penganiayaan terhadap satwa.
"Ingat satwanya jangan dinihilkan. Pasal berlapis terhadap mereka (pelaku, red)," tegas pria yang pernah menjadi pengajar di STIK/PTIK itu.
Reza juga mendorong anak-anak yang menjadi pelaku dalam kasus tersebut harus menjalani proses hukum sesuai dengan perbuatan mereka.
"Jangan diversi, harus litigasi. Orang tua mereka harus hadir pada setiap tahap proses litigasi tersebut," ujar dia.
Jika anak-anak tersebut dinyatakan bersalah, dia melanjutkan perlu diterapkan restorative justice dan incapacitation.
Dengan begitu, pada siang hari mereka akan menjalani restorasi atau didik dan diharuskan membayar ganti rugi kepada korban, lalu dimasukan ke bui pada malam hari.
"Itu ekspektasi saya. Saya terus terang tak yakin bahwa mengembalikan anak-anak itu ke rumahnya dan membina mereka selama enam bulan akan efektif. Namun, UU SPPA sendiri boleh jadi tidak menyediakan jalan-jalan yang melampaui hukum. So, revisilah UU SPPA," pungkas Reza Indragiri. (mcr9/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Siswa Terpapar Covid-19, SMPN 85 Jakarta Lockdown
Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Dea Hardianingsih