Kata Ekonom, Indonesia Bisa jadi Neraka Dunia jika Rakyat Terus Dimanja

Senin, 18 Mei 2020 – 07:48 WIB
Truk tangki pengangkut BBM terbakar di SPBU Batulawang, Kota Banjar, Jawa Barat, Senin (20/1). Foto: ANTARA/HO warga

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finanance (Indef) Uchok Pulungan mengatakan, subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi terbukti membebani APBN.

Subsidi yang tinggi, kata Uchok, juga bisa membuat warga boros dan manja.

BACA JUGA: Tuntutan Agar Harga BBM Turun Lebih Kental Diwarnai Argumentasi Politis

Pengalaman nyata dialami Venezuela. Pada 2000-2013, Venezuela terkenal sebagai negara yang royal memberikan subsidi BBM, menjadikan harga bensin begitu murah.

Pada Juni 2013 sempat mencapai USD 1 sen per liter, atau sekitar Rp 140 per liter.

BACA JUGA: Analisis Pengamat Tentang Dampak Isu Harga BBM Terhadap Pemerintahan Jokowi

Di Venezuela, harga bensin bahkan lebih murah daripada air mineral karena ada bantuan subsidi pemerintah untuk BBM.

Tragisnya, kenikmatan subsidi itu dibayar sangat mahal ketika Venezuela dilanda krisis ekonomi sejak 2014.

BACA JUGA: Aktor Muda Meninggal, Mamanya Jujur Ungkap Penyebab Kematian Putranya

Kondisi Venezuela yang semula jadi “surga dunia” berubah 180 derajat menjadi “neraka dunia”.

"Tentu ini menjadi warning bagi Indonesia. Besarnya subsidi yang tidak tepat tepat sasaran dapat menimbulkan jebakan yang berbahaya seperti yang dialami Venezuela," kata Uchok dalam pesan elektroniknya, Senin (18/5).

Dia menambahkan, harga BBM murah juga bisa membuat program energi alternatif selain fosil bisa menjadi lambat.

“Memang, ada tendensi kalau harga BBM murah insentif untuk mengembangkan energi altenatif jadi tidak menarik. Itu yang selama ini terjadi. Namun, saat harga BBM naik, baru kita panik,” ucap Uchok.

Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Memang, ada koreksi harga niai tukar dan juga penurunan harga minyak. Namun tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.

Dia mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok.

Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan THR terhadap para pekerja dibayarkan.

Pengalaman pahit Venezuela telah memberikan pelajaran bahwa kebijakan populis yang memanjakan warga dengan aneka subsidi terbukti tidak produktif dan bisa menjerumuskan negara dalam krisis ekonomi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Febby Tumiwa menyebut, saat ini untuk BBM subsidi diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah.

Di APBN 2020, besarnya Rp18,7 triliun. Yang besar adalah subsidi LPG 3 kg, senilai Rp49,4 triliun.

“Subsidi ini memang perlu dipangkas secara bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif tetapi pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas,” ujar Febby.

Febby menambahkan, pemerintah juga tidak perlu terburu-buru merevisi harga BBM karena harga minyak saat ini volatile dan tidak mencerminkan keekonomian yang wajar.

Penyebabnya adalah permintaan turun drastis dalam waktu singkat tapi tidak diikuti dengan penurunan pasokan.

Terjadi kondisi oversupply sehingga mengakibatkan lonjakan permintaan storage dan mengakibatkan inventory meningkat.

“Tidak banyak yang bisa dilakukan Pertamina karena tidak bisa menciptakan permintaan dalam jangka pendek. Yang bisa dilakukan adalah pengelolaan inventory, mengendalikan produksi minyak mentah dan produksi kilang,” ucap Febby.

Sebelumnya, pengusaha Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Suryo Bambang Sulistyo juga mengingatkan, subsidi kepada BBM hanya membuat warga Indonesia menjadi boros dan manja.

Menurut dia, masyarakat selalu punya keinginan untuk berpergian dengan menggunakan kendaraan pribadi karena harga bensin yang murah.

Kementerian Keuangan mencatat pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp165,2 triliun.

Kemudian pada 2012 meningkat tajam menjadi Rp211,9 triliun. Pada 2013 terjadi sedikit penurunan subsidi menjadi Rp 210 triliun.

Namun biaya ini meningkat kembali pada 2014 menjadi Rp240 triliun.

Tingginya jumlah subsidi BBM pada 2014 ini dinilai tidak produktif dan tidak berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler