Kata Pakar, Balita dengan Ortu Perokok 5 Kali Lebih Rentan Alami Stunting

Selasa, 18 Februari 2020 – 18:09 WIB
Dokter Grace Wangge peneliti SEAMEO RECFON Kemendikbud. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur SEAMEO RECFON (South Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition) Kemendikbud Dokter Muchtaruddin Mansyur mengatakan, kebiasaan orang tua merokok di rumah mendorong anak berperilaku negatif. Mereka bisa ikut-ikutan merokok setiap hari.

"Perilaku merokok dalam keluarga terbukti memengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Tidak hanya pada anak usia sekolah tetapi juga balita," kata Dokter Mansyur dalam peluncuran policy brief terkait pembangunan SDM unggul melalui penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di lingkungan sekolah dan percepatan penanganan stunting di Jakarta, Selasa (18/2).

BACA JUGA: Dukungan Regulasi Teknis Penting untuk Percepat Penurunan Stunting

Sementara, Wakil Rektor Universitas Indonesia Prof Abdul Haris mengungkapkan, hasil kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) di 2013 menunjukkan, balita dengan orang tua yang merokok akan lima kali lebih rentan mengalami stunting. Sebab, pengaruh perubahan belanja makanan menjadi belanja rokok sehingga menurunkan kuantitas serta kualitas nutisi yang diperlukan untuk tumbuh kembang anak.

"Sayang sekali, orang tua lebih memilih membeli rokok daripada telur atau makanan bergizi untuk anaknya," ucapnya.

BACA JUGA: Menko PMK: Perlu Kolaborasi Multipihak untuk Menurunkan Angka Prevalensi Stunting

Diketahui, rokok membawa efek negatif pada kesehatan dan kesejahteraan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung misalnya lewat pengalihan belanja makanan sehat bagi konsumsi keluarga. Hal ini memengaruhi upaya peningkatan kualitas SDM yang dilakukan pemerintah.

Kementerian Kesehatan 2018 menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi konsumsi rokok setelah Tiongkok dan India, dengan jumlah perokok mencapai 85 juta orang. Di antara jumlah perokok tersebut, kalangan anak dan remaja termasuk cukup besar. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan jumlah perokok usia muda (kurang dari 18 tahun) mencapai 9,1 persen yang meningkat dari 7,2 persen di 2013.

BACA JUGA: Program Sembako Diharapkan Bisa Mengurangi Stunting di Daerah

Peneliti senior SEAMEO RECFON dr Grace Wangge PhD mengatakan, pihaknya melakukan riset di Kota Bogor dan Jakarta. Dana bagi hasil cukai rokok tersebut dinilai bermanfaat bagi sektor kesehatan di Bogor. "Namun, kami menemukan pemanfaatannya lebih pada pembangunan infrastruktur kesehatan. Bukan spesifik untuk program promotif preventif," ungkap Dokter Grace.

Padahal, lanjutnya, untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif merokok, upaya promotif mengenai bahaya rokok dan program pencegahannya harus lebih menonjol. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler