KAU Minta SBY Tinjau Platform Ekonomi

Selasa, 07 April 2009 – 15:29 WIB
JAKARTA - Koalisi Anti Utang (KAU) meminta Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat mengkaji ulang platform ekonominya, terutama soal pernyataan SBY saat berkampanye di Magelang, Minggu (5/4), yang menegaskan jika Indonesia menghindar dari kewajiban membayar hutang luar negeri, hal tersebut tidak mencerminkan harga diri bangsa.

"Statement atau pernyataan tersebut tidak didasari pemahaman yang benar atas praktek penyaluran hutang luar negeri yang buruk dan tidak adil, yang telah berlangsung selama ini bagi Indonesia," ujar Ketua KAU Deni Setiawan, di Sekretariat KAU, kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Selasa (7/4).

KAU menilai, pernyataan tersebut lebih merupakan pembelaan terhadap pihak kreditor yang selama ini diuntungkan lewat transaksi pembayaran hutang, ketimbang mendahulukan kepentingan rakyatMenurutnya, mayoritas dari perjanjian-perjanjian hutang luar negeri dibuat dengan sengaja melenceng dari aturan UUD, sehingga mendorong suksesnya agenda-agenda "perampokan ekonomi" melalui privatisasi BUMN strategis, seperti minyak dan gas, hutan, pertambangan mineral dan batubara, oleh perusahaan multinasional.

"SBY abai membaca fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), yang menyatakan bahwa sejak 1967–2005, pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen

BACA JUGA: Antisipasi Pemilu, BPH Migas Bentuk Tim Penanggulangan Emergency BBM

Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan," kata Deni.

KAU juga menyayangkan kalau pernyataan SBY tersebut cenderung mengabaikan fakta, bahwa beban pembayaran hutang selama ini telah menjadi penyebab memburuknya kualitas kehidupan rakyat di sektor pendidikan, kesehatan dan perlindungan jaminan sosial bagi rakyat
Dijelaskan Deni, transaksi hutang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran pinjaman luar negerinya, meskipun sumber keuangan negara terbatas.

"Ini menjadi bukti bahwa Indonesia berada dalam posisi keterjebakan hutang (debt trap) yang parah

BACA JUGA: Bencana Situ Gintung Berupa Debris Flow

Sejak 2004 sampai dengan 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok hutang luar negeri menunjukkan trend yang meningkat," katanya.

Dipaparkannya, sejak awal masa pemerintahan Presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008, total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri mencapai Rp 277 triliun
"Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101,9 triliun," imbuhnya.

Outstanding hutang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004–2009 juga terus meningkat, dari Rp 1275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun

BACA JUGA: Emir Bantah Tahu Pertemuan Four Season

Ditambah dengan peningkatan secara signifikan total hutang dalam negeri dari Rp 662 triliun (2004) menjadi Rp 920 triliun (2009).

"Artinya, pemerintah 'berhasil' membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, atau peningkatan hutang negara selama pemerintahan SBY naik rata-rata Rp 80 triliun per tahunAngka penambahan jumlah hutang rata-rata ini mengalahkan hutang di era Soeharto, yakni Rp 1.500 triliun dalam rentang waktu kekuasaannya 32 tahun," tegas Deni.

Berbalik dengan pernyataan SBY, KAU memandang bahwa transaksi hutang luar negeri selama ini justru menyebabkan hilangnya harga diri bangsa dan kedaulatan ekonomi nasionalIndonesia selama ini dipaksa terus membayar "hutang-hutang haram" warisan Orde Baru, dan melaksanakan kebijakan liberalisasi ekonomi menurut kehendak kreditor.

Padahal, lanjutnya, yang harus dilakukan adalah mengurangi beban hutang dengan cara menegosiasikan penghapusan "hutang haram" dan tidak sah kepada pihak kreditorLangkah tersebut katanya, harus diikuti dengan komitmen untuk menghentikan ketergantungan terhadap hutang luar negeri baru.

Mestinya, kata Deni pula, menegosiasikan penghapusan hutang menjadi agenda prioritas yang harus dilakukan semua partai politik atau calon presiden hasil Pemilu 2009Jika tidak, maka amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat sulit diwujudkan.

"Karena itu, Susilo Bambang Yudhoyono perlu belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Nigeria, Argentina, dan Ekuador, yang telah mengambil langkah-langkah penghapusan hutang," sarannya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fokker-27 Tabrak Hanggar, 24 TNI Tewas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler