Kawah Gunung Ijen Keluarkan Gas Beracun, Tenggorokan Panas

Minggu, 25 Maret 2018 – 00:05 WIB
Kawah Gunung Ijen mengeluarkan gas beracun, warga mengungsi dan menginap di Masjid Sempol, Bondowoso. FOTO: HERU PUTRANTO/Jawa Pos Radar Jember

jpnn.com - Kawah Gunung Ijen yang mengeluarkan gas beracun berdampak pada aktivitas warga sekitar, termasuk para penambang belerang.

FREDY RIZKI, Banyuwangi-HERU-HUDA, Bondowoso

BACA JUGA: Kawah Gunung Ijen Keluarkan Gas Belerang Berbahaya

DUSUN di kaki Gunung Ijen itu hidup lagi sejak pagi kemarin (23/3). Sebagian warga menengok kembali kebun dan ladang. Sebagian lainnya menyibukkan diri di rumah. Anak-anak pun telah balik ke sekolah.

Siangnya, masjid di Watu Capil, nama dusun tersebut, juga telah dipenuhi jemaah salat Jumat.

BACA JUGA: Tak Kuat Mendaki Ijen, Silakan Coba Cara Baru Ini

’’Sore ini tadi (Jumat sore, Red) saya juga sudah bermain voli sama warga lainnya,’’ ungkap Vian, warga Watu Capil, kepada Jawa Pos Radar Ijen.

Kondisi tersebut sangat kontras dengan yang terjadi pada Rabu malam (21/3) hingga Kamis malam (22/3).

BACA JUGA: Kronologis Meninggalnya Dokter Budi saat Mendaki Gunung Ijen

Watu Capil dan tiga dusun lain di Desa Karanganyar, Kecamatan Ijen, Bondowoso, berubah jadi dusun-dusun mati. Yakni, Margahayu, Kebun Jeruk, dan Curah Macan.

Warga harus mengungsi dalam kepanikan. Sebab, mereka khawatir terpapar gas beracun dari aliran Sungai Kalipahit yang berhulu di Kawah Ijen. Gas itu mengakibatkan sesak napas dan batuk-batuk.

Bahkan, ada 29 warga yang harus mendapat perawatan medis di Puskesmas Ijen. Dua di antaranya sampai harus dirujuk ke RSU dr H Koesnadi Bondowoso.

Buntutnya, sejak Rabu malam lalu itu hingga kemarin, kawasan gunung yang terletak di perbatasan Bondowoso–Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut ditutup total.

Menurut Kepala Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Ijen Bambang Heri Purwanto, aktivitas kegempaan Kawah Ijen memang mulai menurun.

’’Tapi, kami belum tahu bagaimana kondisi dari kandungan kimia udara di atas,’’ jelas Heri kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Rencananya, lanjut Heri, setelah tim peneliti dari Bandung melakukan peninjauan, paling cepat Minggu pagi (25/3) atau Senin (26/3) baru akan diumumkan kondisinya bagaimana. ’’Apakah bisa segera dibuka lagi atau tidak. Intensitas hujannya masih agak tinggi,’’ kata Heri.

Meski aktivitas kegempaan sudah mereda, yang terjadi pada Rabu malam lalu masih menyisakan trauma bagi sebagian warga.

Indriyani, warga Margahayu, dusun yang terdampak paling parah, mengenang, gas yang menyengat itu mulai tercium sekitar pukul 20.30 WIB.

Saat itu, masih belum banyak warga yang tidur. Entah bercengkerama dengan keluarga di rumah atau bersilaturahmi ke tetangga. Anak-anak pun kebanyakan masih main atau menonton televisi.

’’Saya panik, kok tiba-tiba ada bau menyengat yang membuat hidung terasa nggak enak, tenggorokan panas, sesak napas, bahkan pusing dan mual-mual. Tetangga saya ada yang sampai muntah,’’ kenang Indriyani kepada Jawa Pos Radar Ijen.

Insting mendorongnya untuk segera berlari sejauh-jauhnya. Sambil menggendong anak. ’’Suami saya tinggal karena mengunci pintu rumah,’’ kata Yani, sapaan akrabnya.

Sesampai di jalan raya yang menjadi akses wisata ke Kawah Ijen, ternyata sudah banyak orang yang sama-sama panik.

Maklum, bau belerang amat menyengat. Beberapa bahkan sampai digendong dan sudah tak kuasa bergerak.

’’Saat itu nggak ada yang bisa memastikan telah terjadi apa dan korbannya berapa,’’ tutur Yani.

Untung ada beberapa warga yang bisa menelepon keluarga yang tinggal di Sempol, pusat Kecamatan Ijen. Baru kemudian ada jemputan untuk membawa warga ke Puskesmas Ijen yang berjarak 8 kilometer.

Pusat Kecamatan Ijen yang berada di sekitar Puskesmas Ijen pun mendadak ramai pada Rabu malam itu. Yang lemas dibawa masuk untuk diperiksa. Yang masih cukup fit atau sudah agak hilang efek gas beracunnya mencari tempat beristirahat.

Pusat Kecamatan Ijen pun jadi pusat evakuasi ratusan warga dari keempat dusun yang terdampak gas beracun tersebut. Sebagian memilih mengungsi di masjid dan mapolsek.

Sebagian yang lain di koramil dan kantor kecamatan. Ada pula yang menumpang di rumah-rumah warga yang dikenal para korban.

Dampak gas beracun itu juga dirasakan para penambang belerang Kawah Ijen di kawasan Banyuwangi.

Jawa Pos Radar Banyuwangi melaporkan, pos penimbangan belerang yang berjarak sekitar 100 meter sebelum Paltuding tak ubahnya perkampungan mati kemarin siang.

Tidak ada canda tawa dan gemeretuk bunyi belerang yang tengah ditimbang. Deretan troli yang biasa digunakan para penambang untuk mengangkut belerang dan wisatawan digeletakkan begitu saja di sekitar pohon dan gubuk.

Bambang Hadi, ketua badan usaha milik desa (BUMDes) Tamansari, menyatakan, para penambang balik ke rumah setelah BKSDA menutup aktivitas di radius satu kilometer di sekitar kawah. Tamansari merupakan kawasan di mana kebanyakan penambang belerang berasal.

’’Kalau dari Kecamatan Licin saja, ada sekitar 250 orang penambang. Mulai Kamis lalu (22/3) mereka sudah kembali ke rumah, tidak menambang lagi,’’ kata Bambang yang bertemu Jawa Pos Radar Banyuwangi saat berkeliling di sekitar pos penimbangan belerang itu.

Menurut dia, informasi mengenai munculnya gas beracun mulai merebak pada Rabu sore. Dari informasi salah satu penambang yang bercerita kepadanya, gas beracun itu kali pertama menyerang petani kubis.

Salah seorang petani yang hendak pulang dari ladang tiba-tiba pingsan. Petani lain yang akan menolong ternyata juga ikut pingsan. Baru kemudian informasi menyebar.

Petugas BKSDA lantas melakukan peninjauan dan terbukti ada gas beracun yang tengah keluar dari Kawah Ijen.

’’Infonya berasal dari grup WA (WhatsApp) para pemandu. Di antara penambang ini kan ada yang bekerja sebagai pemandu,’’ katanya.

Para penambang yang kembali ke desa, menurut Bambang, tidak serta-merta menganggur. Sebab, sebagian besar di antara mereka memiliki pekerjaan lain seperti bertani dan beternak.

Toh, masih ada penambang yang nekat. Saini yang ditemui Jawa Pos Radar Banyuwangi di salah satu warung di sekitaran Paltuding menyatakan akan tetap berusaha pergi ke kawah.

Dia mengaku tak khawatir dengan gas beracun karena merasa sudah sangat hafal seluk-beluk Ijen.

’’Kalau gas beracun ini baunya agak amis, keluarnya langsung dari air kawah. Saya bisa menghindar, tenang saja,’’ katanya.

Saini mengaku ketinggalan berita. Empat hari sebelum kejadian Rabu malam lalu, dia tidak menambang karena mengikuti acara keluarga. Begitu balik, dia langsung berangkat.

’’Sampai sini tidak ada orang ternyata. Saya juga tidak tahu kalau kawah ditutup,’’ ujar pria asal Desa Tlemung, Banyuwangi, yang sudah tujuh tahun menambang belerang itu.

Tapi, seandainya benar-benar dilarang, Saini juga tak khawatir. Di tempat tinggalnya, dia juga memiliki pekerjaan lain sebagai petani.

Berdasar data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang disampaikan BPBD Bondowoso, pada Rabu malam itu terjadi tiga kali letusan di Kawah Ijen.

’’Letupan itu disebut letupan freatik,’’ ujar Winarto, kepala bidang kebencanaan dan kesiapsiagaan BPBD Bondowoso.

Letupan freatik terjadi akibat adanya uap air bertekanan tinggi. Uap air tersebut terbentuk seiring dengan pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di dalam kawah Gunung Ijen.

Yang kemudian mengalami kontak langsung dengan magma. ’’Ketika ada letusan freatik, akan timbul asap, abu, dan bahkan material,’’ jelasnya.

Heri menambahkan, selama musim hujan dimulai pada November 2017, air danau di Kawah Ijen bertambah 3 juta meter kubik. Dengan kedalaman lebih dari 180 meter. Hal itu turut memicu ketidakstabilan gas di kawah.

Meski sudah ditutup, Sony, salah seorang petugas BKSDA yang berjaga, mengungkapkan, masih ada saja satu dua tour guide dan turis yang menurutnya meminta diizinkan untuk mendaki.

’’Tapi, kami tak mau ambil risiko. Jadi, tetap melarangnya,’’ tegasnya. (hud/her/hdi/aif/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pembangunan Kereta Gantung Ijen Terkendala Jalan


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler