jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo mengingatkan wacana amendemen konstitusi untuk menghadirkan kembali kewenangan MPR dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tidak boleh 'digoreng' menjadi diskursus publik yang kontra-produktif dan destruktif.
Dia berharap proses tersebut perlu diawali hadirnya konsensus dan komitmen, khususnya dari unsur partai politik agar konsisten dengan landasan pemikiran bahwa amandemen dilaksanakan secara terbatas terkait PPHN.
BACA JUGA: HNW: Amendemen UUD 1945 Selalu Terbuka, Hanya Satu yang tak Bisa Diubah
Selain sebagai manifestasi pembangunan iklim demokrasi yang sehat, amendemen UUD merupakan implementasi visi kelembagaan MPR sebagai rumah kebangsaan yang harus menampung berbagai arus pemikiran.
"Dalam proses amendemen, kegiatan penyerapan dan pengelolaan aspirasi masyarakat harus dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sikap kenegarawanan, bukan pendekatan pragmatisme politik," ujar Bamsoet dalam Webinar Series MPR RI bersama Tribun Network Kompas Gramedia, 'PPHN Memperkuat Konsensus Sistem Presidensil', secara virtual di Jakarta, Selasa (16/11).
BACA JUGA: Amendemen Konstitusi Jadi Solusi Selamatkan Indonesia
Pakar hukum tata negara Prof Jimly Asshiddiqie yang hadir sebagai narasumber menjelaskan keberadaan haluan negara merupakan amanat para pendiri bangsa yang telah dilakukan melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan tercantum dalam pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan MPR menetapkan UUD dan garis besar haluan negara.
Selain itu, lahir juga Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang salah satu isi pokoknya adalah KNIP ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
BACA JUGA: Wakil Ketua MPR Saran Dibuatkan Matriks Pro dan Kontra Amendemen UUD 1945
"Pada era pemerintahan Orde Lama, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) juga mengeluarkan dua produk hukum GBHN, yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN, serta Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969," jelas Jimmly.
Jimly meyakini rencana MPR menghadirkan haluan negara dengan nomenklatur PPHN dengan terlebih dahulu melakukan perubahan terbatas terhadap konstitusi tidak akan membuka kotak pandora ataupun menjadi bola liar.
Sebab, ketentuan amendemen sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
Pada ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 237 dari 711 jumlah anggota MPR.
Di ayat 2 dijelaskan bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal konstitusi harus diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Kemudian di ayat 3 dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 474 dari 711 anggota MPR.
"Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal konstitusi dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR," jelasnya.
Karena itu, Jimly menegaskan tidak mungkin ada klausul perubahan lain di luar PPHN, seperti untuk memperpanjang masa jabatan presiden ataupun perpanjangan periodisasi jabatan kepresidenan. (mrk/jpnn)
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi