KCN Berharap Hakim MA Tangani Sengketa Marunda dengan Jernih

Jumat, 13 September 2019 – 18:10 WIB
Terminal Umum di Pelabuhan Marunda, Jakarta. Foto dok KCN

jpnn.com, JAKARTA - Proyek pembangunan Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara hingga saat ini masih berpolemik antara PT Karya Citra Nusantara (KCN) dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Bahkan, sekarang sedang menunggu proses hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Kuasa Hukum PT Karya Citra Nusantara (KCN), Juniver Girsang menilai gugatan yang diajukan KBN terhadap KCN bersama Kementerian Perhubungan sangat janggal, termasuk putusan yang diambil hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri dan tingkat Pengadilan Tinggi.

BACA JUGA: Kelola Pelabuhan Marunda, KCN Tidak Terima Disebut Rampas Aset Negara

“Saya sebagai praktisi hukum membaca gugatan sangat prihatin, tapi saya harus menghormati putusan walaupun agak janggal. Pertimbangan hukumnya kalau dicermati dikatakan bahwa penandatanganan dengan Kemenhub belum ada izin dari KBN. Itu yang paling inti sebenarnya,” kata Juniver di Jakarta, Jumat (13/9).

Ia mengatakan salah satu kejanggalan gugatan ini diajukan oleh BUMN kepada Menteri Perhubungan yang mempersoalkan masalah konsesi, sehingga timbul pertanyaan kenapa konsesi dibatalkan. Padahal, ketentuan hukumnya menyatakan perairan atau pelabuhan itu yang bertanggungjawab Menteri Perhubungan.

BACA JUGA: Kisruh Marunda, KCN Tolak Persyaratan Damai yang Diajukan KBN

“Ini negara yang berkompeten, bertanggungjawab mengelola, mengurus itu adalah Menhub. Yang berhak melakukan konsesi itu ya Menhub, KBN tidak berhak. Digugat, eh dikabulkan menyatakan perjanjian itu batal. Dasarnya secara logika hukum tidak masuk di akal saya. Dikatakan tanpa seizin dari KBN, memang perairan seluruh laut jawa itu milik KBN? Kagak,” ujarnya.

Selain itu, Juniver menegaskan yang benar adalah KBN pemegang saham di KCN. Untung dari deviden sesuai komposisi saham. Selanjutnya coba saja di cek, sejak pelabuhan KCN beroperasi ada nggak KBN dirugikan? Justru pelabuhan KCN sebagai penunjang bisnis di kawasan berikat.

“Pelabuhan itu milik siapa? Ya aset KCN. KCN itu siapa? KTU (PT Karya Tekhnik Utama) dengan KBN. Jadi bukan KBN. Yang bertanggungjawab siapa? Ya direksi. Direksi siapa? Yang ada di KCN bersama komisiaris, kan konstruksi hukumnya begitu. Tanpa seizin KBN? Saya bilang salah pemahaman itu,” jelas dia.

Atas dasar pertimbangan itu, kata Juniver, KCN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi. Sebab, perlu ada penjelasan atas konstruksi hukum yang benar dalam proyek tersebut.

Oleh karena itu, Juniver berharap Mahkamah Agung bisa secara jernih melihat proses ini sudah sesuai dengan ketentuan. Kemudian, sebagai praktisi tentu harapannya yang menangani perkara ini hakim yang mengetahui aturan tentang kepelabuhanan dan mengetahui perjanjian konsesi.

“Pengalaman dalam penanganan perkara itu pemahaman masalah. Masalahnya tidak dipahami tentu akan membuat pertimbangan juga tidak proporsional. Jangan sampai mengakibatkan investor berinvestasi yang diharapkan Pak Jokowi terhambat, sehingga tidak berani lagi berinvestasi di Indonesia,” katanya.

KBN mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dengan empat tuntutan yakni batalkan konsesi, setop operasional dan pembangunan KCN, sita jaminan pier 1, 2 dan 3 serta ganti rugi Rp 56,8 triliun.

“Tergugat 1 KCN, tergugat 2 Kementerian Perhubungan dan turut tergugat KTU itu swasta selaku pemegang saham mayoritas di KCN,” kata Widodo.

Menurut dia, putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sangat cepat dalam waktu 6 bulan dan putusan itu memenangkan KBN. Hanya saja, ganti ruginya disetujui menjadi Rp 773 miliar tanggung renteng dengan Kementerian Perhubungan.

“Ini sudah diputus dan saat ini sedang bergulir masuk kasasi di MA,” ujarnya.

Di samping itu, Dirut KCN Widodo mengatakan banyak orang tidak paham tentang konsesi sehingga seolah-olah menuduh KCN inisiatif mengadakan konsesi dengan kementerian. Padahal, ini adalah perintah dan amanat UU Nomor 17/2008.

Bahwa, kata dia, hierarki pelabuhan ada tiga yaitu pelabuhan umum, pelabuhan khusus dan pelabuhan khusus untuk kepentingan sendiri. Menurut dia, banyak juga yang menentang perjanjian konsesi termasuk Pelindo saat Ignasius Jonan menjadi Menteri Perhubungan.

Padahal, kata dia, kalau swasta diberikan pilihan boleh tidak konsesi, tentu KCN lebih senang. Karena, tanpa konsesi berarti barang ini menjadi kami punya selamanya. Tapi dengan konsesi, itu timbul hak dan kewajiban dari swasta kepada negara membayar fee konsesi setiap bulannya yang diambil dari keuntungan bruto pelabuhan KCN.

“Dan pada akhir masa konsesi seluruh pelabuhan dan fasilitasnya diberikan kepada negara dalam hal ini Kemenhub,” katanya.

Adapun hak yang timbul dari konsesi berupa izin yang diberikan oleh kemenhub kepada KCN untuk dapat melakukan kegiatan di Pelabuhan. Kemudian, kewajibannya harus membayar fee konsesi yakni 5 persen dari keuntungan bruto kepada negara.

“Konsesi ini bukan hanya di kepelabuhanan, di bandara ada, jalan tol ada, kereta api ada. Ini implementasi dari UUD 1945 Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi, air dan udara dikuasai oleh negara,” tandasnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler