Ke Desa Entikong, Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia yang Penuh

Lidah Ingin Minyak Goreng Lokal, tapi Hanya Lihat di TV

Minggu, 21 Juni 2009 – 06:33 WIB

Hidup di daerah perbatasan sering lebih susahMisalnya, warga yang tinggal di Desa Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur)

BACA JUGA: Ulrike Von Mengden, 50 Tahun Menjadi Kurator Senior Satwa Kebun

Meski susah, tak ada pilihan bagi mereka selain harus menjalaninya


-----------------------------------------
ZULHAM MUBARAK, Sanggau

-----------------------------------------


DI Entikong punya jalur darat yang menghubungkan Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam

BACA JUGA: Pisau Haifu, Revolusi Dunia Medis dari Chongqing, Tiongkok (2)

Untuk mencapai daerah itu dari Pontianak (ibu kota Kalimantan Barat), jarak yang harus ditempuh 314 kilometer
Jika lewat jalur darat, butuh waktu 8-9 jam

BACA JUGA: Tuntaskan Tumor Kecil Hanya dalam Puluhan Menit

Itu pun, sepanjang perjalanan, jauh dari rasa nyaman karena kondisi jalan yang aspalnya 80 persen rusak parahBahkan, ada jalan sekitar 30 kilometer yang sama sekali belum diaspal

Itulah yang dirasakan Jawa Pos ketika mengikuti rombongan tim sosialisasi tahap pemilihan presiden (pilpres) oleh Depkominfo Kamis siang lalu (18/6)

Tiba sekitar pukul 11.00 WIB, Jawa Pos dan rombongan disambut Markus Sopyan, kepala desa EntikongKami lantas diajak berkelilingTampak deretan warung-warung kaki lima yang penataannya terkesan kumuhKetika lebih dekat mampir ke warung itu, beberapa produk makanan dan minuman didominasi produk Malaysia''Di sini produk-produk dari Malaysia kita sebut produk SDN BDHKami suka karena lebih murah, juga gampang mendapatkan,'' ujar pria paruh baya itu

Raden Nurdin, ketua Persatuan Pemuda Perbatasan Entikong, yang ditemui Jawa Pos mengatakan bahwa warga di Entikong sangat bergantung kepada MalaysiaDia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pokok warga Entikong, terutama gula, makanan kaleng, dan kemasan, berasal dari negeri jiran itu''Karena itu, kami lebih suka damai saja dengan Malaysia,'' ujarnya

Nurdin mengakui, tinggal di perbatasan sering menemui kesulitan alias susahHal itu terjadi karena minimnya infrastruktur dan fasilitas umum yang dibangun pemerintah Indonesia''Kami bosan dengan janji pemerintah yang katanya akan memajukan daerah di perbatasan, tapi sampai sekarang omong kosong,'' kata pria 35 tahun itu''Padahal, setiap presiden sudah pernah ke sini,'' lanjutnya

Ketika harus menggunakan tabung gas, Nurdin sampai rindu supaya bisa menggunakan produk Pertamina yang warna biru''Selama belasan tahun kami pakai tabung gas Petronas 14 kilogram bersubsidi,'' paparnyaTabung itu dijual dengan harga 27 ringgit atau sekitar Rp 84 ribu

''Bahkan, rasa minyak goreng asal Jakarta yang ada di iklan-iklan televisi itu juga belum pernah sampai di lidah anak saya,'' terang dia.

Untuk bisa mendapatkan siaran televisi Indonesia, warga Entikong harus rela merogoh kocek lebih dalamSebab, mereka harus membeli parabola dan receiver yang berharga Rp 2 juta-Rp 3 jutaSedangkan untuk bisa menangkap siaran televisi Malaysia, warga cukup hanya membeli antena TV standarDengan tiang pancang setinggi 5-6 meter, siaran TV Malaysia tertangkap dengan gambar sangat jelas

Susahnya hidup di daerah perbatasan juga dirasakan Taufik ArdiwibowoPria 29 tahun asal Jember itu sudah lima tahun tinggal di EntikongBahkan, dia menikah dengan warga setempatTaufik menceritakan, setiap dua hari dirinya menyeberang ke TebeduDia bersama istrinya rutin berbelanja di sebuah minimarket yang berjarak hanya dua kilometer dari perbatasan MalaysiaDi swalayan bernama Sin Guan Tai itu dia biasa membeli kebutuhan sehari-hari''Sebab, ada juga keluarga istri yang tinggal di wilayah MalaysiaKebanyakan warga sini punya saudara di TebeduJadi, kami biasa wira-wiri,'' terang dia dengan logat Jawa kental.

Pemerintah memang menetapkan aturan khusus bagi warga perbatasan MalaysiaMereka diperbolehkan bertransaksi dan membeli barang asal Malaysia tanpa bea cukai dengan syarat memiliki Kartu Pas Lintas Batas (PLB)Namun, tiap kepala keluarga hanya bisa membelanjakan maksimal 600 ringgit atau sekitar Rp 1,8 juta setiap bulanMenurut Taufik, nilai itu sangat kecil karena tidak mungkin kebutuhan istri dan dua anaknya bisa dipenuhi dengan aturan itu''Uang 600 ringgit itu hanya bisa dapat sembakoKalau anak kami butuh susu, kami menjadi repot,'' ujarnya

Padahal, barang Indonesia sulit didapatUntuk bisa mendapatkan makanan bermerek lokal, paling tidak warga harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer ke ibu kota Kabupaten SanggauJarak itu bisa ditempuh dengan perjalanan dua jam''Itu pun dengan harga cukup mahal jika dibandingkan dengan barang sama di JawaMisalnya, susu bisa naik 20 persen lah dari harga normal,'' terang Taufik.

Mantan TKI itu lantas membuka dompet dan menunjukkan kepada Jawa PosDi dalam­nya ada tiga jenis mata uangYaitu, rupiah, ringgit, dan mata uang BruneiItu dilakukan untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada warga Malaysia yang melintas batas dan men­jajakan kebutuhan pokok di bawah tanganPelintas perbatasan, baik dari Indonesia ke Malaysia maupun sebaliknya lewat Entikong, umumnya diperiksa cukup ketatMisalnya di pos TebeduNamun, pemeriksaan yang ketat itu dimanfaatkan para calo IndonesiaMereka memasang tarif rata-rata 50 ringgit atau sekitar Rp 150 ribu''Banyak calo yang kenal dekat dengan petugasJadi, mereka bisa melobi dan main mata agar WNI lolos pemeriksaan,'' ujar Munadi, seorang warga Pontianak, yang kerap melintas batas ke Kuching

Setelah melewati pos Tebedu, pemandangan sangat indah langsung menyambutDi sisi ka­nan jalan raya terdapat sebuah taman dengan fasilitas air mancur dan jaringan Wifi gratis

Menurut Camat Entikong Ignatius Irianto, aktivitas warga perbatasan melintas ke Tebe­du dan wilayah-wilayah Malaysia lain me­munculkan problem tersendiriTak sedikit warga yang merasa lebih nyaman dengan ne­­geri jiran ituDia mengakui bahwa ada ra­tusan warga Entikong yang dalam dua de­kade terakhir hijrah menjadi warga negara MalaysiaItu semua karena minimnya infrastruktur dan keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia''Semua akibat faktor ekonomi,'' keluh Irianto

Kebanyakan WNI yang berpindah menjadi warga negara Malaysia berasal dari Suruh Tembawang, salah satu desa di wiayah EntikongSuruh Tembawang adalah desa yang sangat terpencil di perbatasan RI-MalaysiaDesa itu berjarak sekitar 64 kilometer dari Entikong, ibu kota kecamatan.

Irianto juga mengkhawatirkan nasib pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di perbatasanKarena sulitnya akses, tak jarang mereka hidup serbasusahUntuk mengambil gaji bulanan saja, mereka harus mengeluarkan dana sedikitnya Rp 1 juta untuk me­nyewa perahu motor

Jika ingin lebih mudah, mereka harus me­nyeberangi sungai ke wilayah Malaysia dan berjalan melintasi hutan sehari penuh untuk bisa masuk kembali ke wilayah Indonesia via Tebedu-Entikong ''Apa yang terjadi jika ada di antara mereka bergaji kurang dari Rp 1 juta? Anda coba bantu saya menjawab,'' katanya

Ada lima sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) di Suruh TembawangNamun, terbatasnya infrastruktur membuat tidak semua warga usia sekolah yang bisa sekolahSedangkan untuk kesehatan, terdapat satu pos kesehatan desa di Dusun Suruh Tembawang

Seorang warga Entikong, MHusin, mengatakan, problem lain yang menyulitkan adalah ketersediaan air dan listrikListrik di desanya kerap padam karena terbatasnya pasokanLayanan air bersih juga terbatas karena pipa yang dibangun secara swadaya sering rusak''Kami mandi dan cuci dengan air hujan karena pipa sedang rusakJadi, harap maklum,'' ujar seorang warga yang di­temui di rumahnya(kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pisau Haifu, Revolusi Dunia Medis dari Chongqing, Tiongkok (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler