jpnn.com, JAKARTA - Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyatakan bahwa begitu banyak pencurian data baik di dalam dan luar negeri sepanjang 2020.
Menurutnya, hal itu menunjukkan kesadaran berkeamanan siber oleh negara, swasta, maupun individu masyarakat masih rendah.
BACA JUGA: Awas, Hacker Antek Rusia Gentayangan Sasar Riset Vaksin Covid-19
"Negara harus memahami satu hal penting saat ini bahwa para pemilik modal ini selain masalah Covid-19 juga menjadikan keamanan siber sebagai faktor terpenting sebelum berinvestasi,” ujar Pratama, Selasa (29/12).
Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) itu menambahkan, kerugian akibat serangan siber secara global pada 2021 diprediksi akan mencapai USD 6 triliun (Rp 84.000 triliun).
BACA JUGA: Catat, Kabareskrim Beber 9 Cara Hindari Aksi Peretasan Email, Tetap Waspada
Prediksi itu didasarkan pada serangan siber yang diperkirakan akan menjadi kian umum, makin kuat, dan lebih maju pada tahun-tahun mendatang.
Oleh karena itu Pratama menggarisbawahi pentingnya negara, dunia industri, dan lembaga pendidikan tanah air melihat pencurian data selama 2020 sebagai hal penting.
Menurutnya, memang kasus itu terjadi secara global. Namun, katanya, Indonesia dengan jumlah pemakai internet lebih dari 180 juta penduduk harus lebih serius dalam permasalahan ini.
Pratama menegaskan, memang pencurian data atau serangan siber sangat sulit dicegah. Namun, tindak kejahatan itu semua bisa ditekan dengan pendekatan hukum lewat undang-undang, sumber daya manusia dan teknologi.
"UU Perlindungan Data Pribadi menjadi pembahasan pemberitaan selama 2020 karena begitu banyak kebocoran data dan masyarakat tidak bisa apa-apa karena tidak ada instrumen yang melindungi,” cetusnya.
Praktisi teknologi informasi asal Cepu, Jawa Tengah itu lantas mencontohkan kebocoran data yang dialami Tokopedia, Bukalapak, Bhinneka. Selain itu, situs pemerintah, swasta bahkan media menjadi sasaran peretasan.
“Tahun 2021 akan menjadi tahun yang berat bagi kita, karena pandemi belum akan selesai. Semua sektor terdorong dan terpaksa melakukan digitalisasi," paparnya.
Menurutnya, situasi itu harus dilihat negara sebagai tantangan untuk segera menghadirkan banyak instrumen pendukung agar peraturan, SDM, dan teknologi pada tahun-tahun mendatang bisa mendukung perubahan yang terjadi secara global ini.
"Indonesia tidak boleh tertinggal dan tidak boleh hanya menjadi konsumen saja,” tegas Pratama.(boy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Boy