jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Mahfudz Siddiq mengungkapkan pemikirannya mengenai Ummatan Wasathan, yang merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat dan berdiri di tengah-tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
Menurut Mahfudz, ada dua esensi tentang Ummatan Wasathan. Yang pertama adalah kebaikan, atau Al Khairiyah. Dan yang kedua adalah prinsip keadilan atau keseimbangan.
BACA JUGA: Demi Keadilan, Bedakan Passing Grade PPPK 2021 untuk Guru Honorer dengan Peserta Umum
Hal itu dikatakan Mahfudz dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan", Jumat (15/10/2021).
"Jadi bila kita mau membangun masyarakat yang Ummatan Wasathan, maka kebaikan dan keadilan atau keseimbangan harus menjadi nilai dan orientasi kita bersama," ujar Mahfudz.
BACA JUGA: Kubu Rizieq Belum Puas, Temui Anggota DPR dan Ombudsman, Minta Keadilan
Mahfudz melanjutkan, sedikit saja kita bergeser dari dua nilai tersebut, maka kita menjauh dari masyarakat Ummatan Wasathan.
Bahkan, ujar Mahfudz, bukan tidak mungkin umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif.
BACA JUGA: Bang Edi Soroti Kegeraman Keluarga Ayu Ting Ting, Singgung Keadilan Restoratif
Mahfudz pun mencatat, penyimpangan dari prinsip-prinsip Ummatan Wasathan ini terjadi karena dua faktor. Yang pertama adalah faktor Pemahaman, dan kedua, adalah faktor politik.
"Terkait faktor Pemahaman, saya punya pengalaman 3 tahun lalu, ketika saya meminta pengurus mushalla di dekat rumah saya mengecilkan suara speaker nya sedikit saja. Sebab speaker nya ada 6 buah, dan kerap berbunyi sepanjang hari. Kala itu, dirumah saya sedang ada balita sakit. Namun, isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik yang melarang azan di mushalla, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz.
Persoalan speaker itu, lanjut dia, menunjukkan bahwa dalam Ummatan Wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik.
Karena bila Mushalla dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik.
"Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang disitu sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," ujarnya.
Dan terkait faktor politik, Mahfudz menyatakan gangguan terhadap Ummatan Wasathan ini muncul ketika kekuatan politik tertentu memanfaatkan sentimen-sentimen keagamaan.
Akibatnya adalah, muncul intervensi kepentingan politik pada agenda-agenda keagamaan.
"Contoh ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan Capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," ujar Mahfudz.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan menyatakan, Islam itu kompatibel dengan Nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.
Dan Indonesia, lanjut Prof. Imron, bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa kompatibel dengan Nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.
"Dan sudah saatnya memang, Indonesia berani tampil sebagai pemimpin dunia Islam, di tengah kerusakan yang timbul akibat power politics negara-negara besar di negeri-negeri Muslim seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak dan Yordania," ujar Imron Cotan.
Dalam kesempatan yang sama, Pengacara sekaligus Politisi Kapitra Ampera menegaskan, umat pertengahan atau Ummatan Wasathan ini adalah doktrin yang ada dalam ajaran Islam.
Namun, kata dia, harus dibedakan antara doktrin beragama dengan perilaku beragama.
"Nah dalam konteks politik, Islam itu tidak bisa menjadi ideologi. Islam itu guidance of life. Islam itu adalah payung ideologi. Sehingga bila Islam itu menjadi ideologi, maka dia akan turun derajatnya," ujar Kapitra. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil