Setelah melakukan serangkaian aktivitas di masa liburan akhir tahun bersama teman-temannya, Nandya Gita mulai merasa tidak sehat.

Awalnya ia menganggap hanya masuk angin biasa karena kelelahan.

BACA JUGA: Amerika Serikat Minta Keluarga Staf di Kedutaannya di Ukraina untuk Pergi, Rusia Sudah Dekat?

“Saya mulai curiga terkena COVID, karena tenggorokan saya sakit dan batuk," kata Gita, panggilan akrabnya.

"Padahal selama tinggal di Melbourne, saya enggak pernah sakit batuk,” kata Gita yang sudah empat tahun tinggal di Melbourne bersama suaminya, Radityo Wicaksono yang biasa disapa Tyo.

BACA JUGA: Isu Ahok Jadi Kepala Otorita IKN, Tifatul: Kali Saja Mau Bikin Heboh Lagi

Batuknya semakin memburuk dan semua badannya sakit, begitu juga dengan gejala yang dialami Tyo. Kesulitan mengetahui status COVID-19

Saat ini di Australia mereka yang sakit COVID-19 diminta untuk terlebih dahulu melakukan tes COVID dengan cara antigen, sebelum datang ke tempat pengetesan COVID-19 dengan metode PCR. 

BACA JUGA: Luhut Sebut Omicron Bisa Mengakibatkan Lonjakan Kasus Kematian, Begini Alasannya

Padahal untuk mendapatkan alat tes rapid antigen di Australia saat ini sedang sulit, karena kekurangan pasokan.

"Aku udah nyari rapid antigen tes, enggak ketemu. Sudah tanya teman-teman, mereka juga enggak ada yang punya. Sold out semua di mana-mana," ujar Gita.

Tapi karena ia benar-benar butuh kepastian soal status COVID-nya, Gita memilih untuk tetap pergi menjalankan tes PCR.

“Aku sampai sana [tempat tes PCR] jam setengah tujuh pagi, baru dites jam setengah sebelas siang," kata Gita.

"Rasanya udah kayak mau pingsan, antre berdiri lama banget," ujarnya.

Memiliki gejala "tenggorokan tidak enak" dialami warga asal Indonesia lainnya, Leonhard Dengah, yang bekerja sebagai 'chef'.

“Saat itu memang saya sedang lagi sibuk-sibuknya di restoran, jadi memang mobilitas saya sedang tinggi,” ujar Leon, panggilan akrabnya.

Karena kondisinya tidak juga membaik, Leon menghubungi pemilik restoran tempat ia bekerja.

"Syukurlah dia [merespon] cepat, datang ke tempat saya membawakan rapid antigen test kit ... kebetulan dia punya," ujar Leon. 'Homesick' dan bingung memilih obat-obatan

Hasil tes dari Gita, Tyo, begitu juga dengan Leon menunjukkan mereka positif terkena COVID.

Tapi kepada ABC Indonesia mereka mengaku jika gejala yang dialaminya ringan, karena sudah menerima dua dosis vaksin.

"Saya cuma merasakan sakit kepala dan sakit tenggorokan, tapi level of sickness-nya masih manageable," ujar Tyo.

Yang mereka rasakan saat sakit justru adalah 'homesick' atau kangen rumah dan keluarga di Indonesia.

"Wah, homesick-nya tuh parah banget sih. Pasti terbayang kalau lagi sakit [di Indonesia] dan dirawat sama orangtua, love-nya terasa ya," kata Leon yang sudah dua tahun tidak pulang.

"Meskipun setiap hari mereka tetap mengecek, tapi rasanya beda," kata Leon.

Gita juga merasakan hal yang sama, ditambah lagi ia mengaku kebingungan soal memilih obat-obatan di Australia.

"Cuma dibilang, misalnya, obat batuk. Tapi yang mana? Yang jenisnya apa? Bahkan panadol aja jenisnya juga banyak banget," ujar Gita, yang merasa lebih familiar dengan jenis obat-obatan di Indonesia.

Menanggapi kesulitan ini, dokter sekaligus pakar kesehatan masyarakat dari Alfred Hospital di Melbourne, Dr Sandro Demaio, menawarkan sejumlah solusi.

"Jika Anda memang membutuhkan penghilang rasa sakit, rekomendasi dari College of General Practitioners adalah minum parasetamol saja," ujarnya yang juga Direktur Eksekutif VicHealth.

"Sekarang mungkin ada banyak jenisnya, mulai dari bentuk cair sampai beragam merk lain, tapi parasetamol saja cukup."

Sementara untuk mengurangi rasa sakit atau tidak enak pada tenggorokan, Dr Sandro menyarankan obat dalam bentuk permen, semprotan, atau cair, meski menurutnya "mungkin tidak efektif tapi cukup membantu."

Ia juga mengatakan yang paling terpenting adalah menjaga cairan dalam tubuh, karena dehidrasi sangat mungkin terjadi saat menghindari makan dan minum akibat tenggorokan yang sakit.

"Bisa dengan menggunakan pengganti elektrolit yang membantu membantu menjaga cairan tubuh." Perhatian dari sesama warga Indonesia

Meski tidak punya keluarga di Melbourne, ketiganya mengaku banyak mendapatkan bantuan, terutama dari sesama warga Indonesia.

"Teman-teman, yang saya kasih tahu kalau saya isolasi, langsung berinisiatif menanyakan apakah saya mau dibelikan makanan, groceries, atau obat-obatan," kata Leon.

“Ini sangat membantu dan menjadi salah satu yang saya syukuri saat COVID, menyadari bahwa ternyata kita punya komunitas yang caring to each other.”

Intan Kieflie*, pemilik rumah makan khas minang Dale Lapau di Melbourne adalah salah satu restoran yang memberikan bantuan kepada mereka yang menjalankan isolasi di rumah dalam bentuk nasi bungkus.

Ia mengatakan bantuan ini menjadi bentuk terima kasih atas dukungan para pelanggannya, karena Intan memulai usahanya lewat jasa 'delivery' saat negara bagian Victroia memberlakukan 'lockdown'.

“Sekarang banyak pelanggan yang enggak punya akses mendapatkan makanan karena mereka mesti diisolasi, … jadi akhirnya kami memutuskan ya sudah gantian-lah, dulu mereka yang reach out kita, sekarang giliran kita yang reach out mereka,” kata Intan.

Intan mengaku penularan wabah Omicron saat ini berdampak pada usahanya, seperti juga restoran lainnya di Melbourne, tapi ia merasa tidak ada hitung-hitungan soal "untung-rugi dalam memberi".

Gita dan Tyo mengaku senang dan sangat terbantu saat mendapat nasi bungkus gratis dari Intan.

"Rasanya diperhatikan, dan isinya juga enggak main-main. Selain nasi bungkus, ada kopi dan chips juga," ujar Gita.

Sementara Leon mengatakan apa yang dilakukan Intan adalah "ide yang brilian" dan ia menjadi terinspirasi.

"Sesuatu yang baik pasti menginspirasi sesuatu yang baik lagi di masa mendatang, jadi ini bagus banget dan saya bakal bikin [inisiatif serupa] di restoran saya," kata Leon.

Kondisi kesehatan mereka saat ini sudah semakin membaik dan mereka berharap agar protokol kesehatan bisa terus dilakukan supaya angka kasus di Melbourne tidak terus naik.

“Selama dua tahun ini saya udah berusaha strict sama diri sendiri, pakai masker all the time, jadi pas kena tuh rasanya ya kesel, tapi bukan juga berarti perjuangan kita sia-sia ya,” ujar Tyo.

“Jadi [menurut saya] harus di-enforce deh pemakaian masker, social distancing, dan peraturan-peraturan yang kelihatannya kecil, kalau memang enggak mau lockdown lagi.”

*suami dari Intan, pemilik restoran Dale Lapau, bekerja di ABC  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Badai Covid-19 Merebak di Piala Asia, Bagaimana Nasib Timnas Putri Indonesia?

Berita Terkait