Kebakaran Dua Tahun Lalu Bikin Penasaran Tamu

Kamis, 11 Desember 2014 – 22:58 WIB
Yohannes Resi (kanan) mendampingi salah seorang pengunjung mengelilingi Kampung Wologai. Foto: Thoriq S. Karim/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Wologai, kampung adat di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini menarik perhatian turis. Selain keasliannya tetap terjaga, kampung di atas bukit itu menyimpan banyak artefak sejarah nenek moyang.

Laporan Thoriq S. Karim, Ende

BACA JUGA: Jago Fisika yang Punya Cita-Cita Jadi Manajer

KAMPUNG Wologai berada di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Jaraknya sekitar 35 km dari pusat kota. Memang, untuk menuju ke sana, pengunjung bisa menggunakan kendaraan umum atau travel. Namun, jalannya menanjak dan berliku. Kalau kurang berpengalaman, bisa mengalami masalah di tengah jalan.

Waktu tempuh dari pusat kota hampir sejam. Medan yang dilalui menuju kampung tersebut cukup berat. Di kanan dan kiri tebing dan jurang. Mobil tidak bisa melaju kencang lantaran jalan menanjak dan sempit. Karena itu, bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan, salah satu mesti mengalah.

BACA JUGA: Roys Yasbana, Kreator Aplikasi Musik Indie di Android

Meski begitu, Kampung Wologai tetap membuat penasaran para wisatawan. Apalagi setelah terjadi kebakaran hebat dua tahun lalu. Wisatawan ingin tahu kondisi Wologai saat ini.

Untuk mengunjungi kampung adat yang berdiri sejak ratusan tahun silam itu, wisatawan disarankan didampingi kepala desa atau mosalaki (pemimpin adat, Red) setempat. Sebab, banyak aturan yang harus ditaati agar tidak bedampak bencana bagi penduduk di situ.

BACA JUGA: Ingat Ayah Dibantai, Menangis di Komnas HAM

Saat berkunjung ke kampung di atas bukit tersebut bulan lalu, Jawa Pos (induk JPNN.com) didampingi Sekretaris Desa Yohannes Resi. Sebelum masuk kampung itu, Yohannes menyampaikan beberapa aturan yang mesti dipenuhi pengunjung. Salah satunya, tamu tidak boleh merokok. Alasannya, sebagian besar rumah di Wologai terbuat dari kayu.

Dia khawatir peristiwa dua tahun lalu terulang, yakni kebakaran yang menghanguskan 18 rumah adat dan 2 rumah warga Wologai. Padahal, 18 rumah itu merupakan bangunan asli peninggalan leluhur yang usianya ratusan tahun. ”Karena itu, dilarang keras merokok di sini,” ujarnya.

Setelah menyampaikan beberapa aturan, Yohannes menunjukkan area yang menjadi tempat berkumpulnya warga Wologai. Luasnya lebih dari 2.000 meter persegi. Di lahan itu berdiri sao (rumah adat) yang membentuk lingkaran. Lalu, di tengahnya terdapat dataran yang lebih tinggi dengan dikelilingi tumpukan batu.

Tumpukan batu tersebut diyakini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Sebab, itu bukan sekadar tumpukan batu tanpa fungsi, melainkan makam para mosalaki.

”Di sekitar inilah para mosalaki dimakamkan,” jelas dia.

Kemudian, dataran di atas makam merupakan tempat berkumpulnya warga Wologai ketika upacara adat. Luas dataran itu sekitar 200 meter persegi. Di situ terdapat rumah mosalaki dan berbagai sarana upacara adat. Selain di lapangan tersebut, warga mengikuti upacara di tebing-tebing di atasnya.

”Pokoknya, bila ada upacara adat, semua warga keluar. Mereka bisa mengikuti upacara dari mana saja,” kata Yohannes sambil mengatakan bahwa jumlah warga Wologai mencapai 15 ribu orang.

Di dataran tersebut juga terdapat gazebo kecil berukuran 1 x 1,5 meter. Di gazebo itulah mosalaki memimpin upacara adat. Ada pula batu yang tertancap menjulang ke atas. Batu tersebut menjadi simbol penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak sembarang orang boleh memasuki dataran tersebut. Hanya pengurus adat yang boleh menginjakkan kaki. Masyarakat biasa baru bisa masuk saat ada upacara adat saja. Sedangkan para wisatawan yang berkunjung ke tempat itu hanya boleh melihat dari kejauhan.

”Bila aturan tersebut dilanggar, bakal terjadi musibah yang menyengsarakan warga. Karena itu, tidak ada warga yang berani melanggarnya,” papar dia.

Setelah menjelaskan dataran tempat upacara adat, Yohannes menunjukkan rumah adat ”baru” yang berdiri melingkar di area itu. Rumah-rumah tersebut merupakan replika rumah adat yang berusia ratusan tahun, namun pada 2012 terbakar hangus. Hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Ende sedang berusaha melakukan perbaikan untuk mengembalikan wujud rumah peninggalan leluhur itu.

Rumah tersebut berbentuk rumah panggung. Tidak ada fondasi layaknya rumah tinggal. Hanya ada beberapa batu yang ditancapkan ke tanah sedalam 50 cm. Batu-batu fondasi itu menjadi tumpuan bangunan rumah kayu di atasnya. Memang, banyak yang meragukan kekukuhannya. Namun, kenyataannya, model fondasi dari batu tersebut lebih tahan gempa daripada rumah warga yang berfondasi batu bata.

Rumah sao punya atap rendah sehingga untuk memasukinya, orang normal harus menundukkan kepala. Uniknya, pintu rumah sederhana itu punya ukiran berbentuk payudara perempuan.

Menurut Yohannes, ukiran payudara tersebut simbol bahwa masyarakat Wologai wajib menghormati perempuan. Karenai itu, untuk memasukinya, orang harus menunduk sebagai penghormatan bagi kaum perempuan.

”Itu filosofi hidup yang diterapkan di kampung ini.”

Masyarakat Wologai menerapkan konsep matrilineal. Artinya, jalur perempuan lebih diutamakan daripada jalur laki-laki. Misalnya, seorang mosalaki tidak memiliki keturunan lelaki. Dia akan mencari anak laki-laki dari saudara kandung perempuannya. Bukan dari saudara kandung laki-laki.

Rumah-rumah di kampung itu juga memiliki fungsi berbeda-beda. Yang berukuran besar merupakan rumah mosalaki,sedangkan rumah di sebelahnya yang lebih kecil adalah rumah abdi mosalaki.

”Mereka bisa juru masak atau petugas yang mempersiapkan upacara adat,” ujarnya.

Di kompleks itu juga terdapat satu rumah khusus untuk orang sakit. Pasien mendapat perawatan sekaligus mencari ketenangan jiwa. Nah, ketika upacara adat berlangsung, warga yang sakit akan ditempatkan di rumah tersebut agar bisa tenang.

Sampai sekarang adat istiadat di kampung itu masih terjaga dengan baik. Bahkan, masyarakat Wologai yang sudah merantau ke kota masih wajib menaati aturan-aturan adat. Meski status sosial sudah tinggi, mereka tidak boleh melanggar aturan adat. Sebab, di kampung itu yang berkuasa adalah kepala adat.

Lalu, hukuman apa yang dikenakan bagi pelanggar aturan adat? Yohannes menjelaskan tata cara hukuman yang cukup unik. Misalnya, bila ada warga yang diketahui berjudi, mosalaki akan menyidangnya di depan warga. Dia akan didudukkan di lingkaran kayu. Setelah itu, ’’terdakwa’’ diganjar hukuman setimpal.

’’Dia diwajibkan mencari babi yang perutnya seukuran lingkaran itu,’’ ucapnya.

Bila diameter lingkaran hanya 50 cm, si pelanggar tidak akan mengalami kesulitan. Tapi, bila ukurannya 1,5 meter, dia akan sulit memenuhinya. Tapi, dia harus mencari sampai dapat. ’

’Selama belum bisa memenuhi hukuman itu, dia belum bisa bebas dari hukuman,’’ ujarnya.

Masih banyak lagi tradisi yang menarik di Wologai. Wajar jika Lonely Plannet menempatkan Pulau Flores (termasuk Kabupaten Ende), Nusa Tenggara Timur, sebagai satu di antara 10 destinasi wisata yang layak dikunjungi pada 2015. Bahkan, Flores merupakan satu-satunya tempat di Asia Tenggara yang mendapat penghargaan itu. (*/c9/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kanker sang Istri Mengantarkan ke Level Terhormat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler