jpnn.com - All animals are equal but some are more equal than the others.
Semua binatang adalah setara, tetapi sebagian binatang lebih setara dibanding lainnya.
BACA JUGA: Sidang Jual Beli Plasma Konvalesen, Kuasa Hukum Sebut Yogi Tak Bersalah
Itulah semboyan demokrasi di ‘’negeri kebun binatang’’ atau ‘’Animal Farm’’ versi George Orwell. Semua warga sejajar dan setara, tetapi sebagian elite lebih setara dibanding rakyat kebanyakan.
Di negara demokrasi semua orang sama dan sejajar di muka hukum. Namun, dalam praktiknya sekelompok elite ternyata lebih sejajar dibanding lainnya. Itulah yang disindir oleh Orwell dalam fabel demokrasi kebun binatang itu.
BACA JUGA: Demi Hukum, Mumin Ali Wajib Dihadirkan di Sidang Perkara Suap Pajak
Di negara demokrasi tidak ada yang kebal hukum. Namun, dalam praktiknya banyak elite yang kebal hukum.
Berbagai pelanggaran hukum yang dilakukannya tidak menghadapi konsekuensi apa pun. Tentu, karena penyelewengan itu dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan publik.
BACA JUGA: UNS Surakarta Janjikan Bantuan Hukum Bagi Korban dan Panitia Diklatsar Menwa
Kalau toh publik tahu maka si pejabat tetap tak acuh dan ‘’belgi’’ alias belagak gila. Sering pula mereka bermain pin-pin-bo alias pintar-pintar bodoh, menganggap rakyat bodoh sehingga tidak mengetahui penilepan sistematis yang dilakukannya.
Kalau kemudian publik mengetahui dan mengeksposnya ke media, si elite bukannya melakukan klarifikasi, tetapi malah main kuasa dan melaporkannya ke polisi dengan tuduhan pidana. Kejadian seperti itu hanya bisa terjadi di negeri kebun binatang, seperti yang digambarkan Orwell.
Ada lagi yang lebih unik. Dana triliunan rupiah yang digelontorkan untuk penanganan pandemi Covid-19 diperlakukan seperti duit yang turun dari langit atau uang hadiah dari Sinterklas yang dipanggul berkarung-karung. Uang itu boleh dipakai untuk apa saja selama pandemi, dan dilindungi oleh peraturan presiden yang membuat para penyelenggara negara itu kebal hukum.
Hari begini ada orang kebal hukum. Praktiknya memang demikian. Berdasarkan Perppu No 1 Tahun 2020 yang kemudian berubah menjadi UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona, para pejabat diberi kekebalan hukum.
Semua penggunaan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan dalam penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana.
Beruntunglah masih ada warga yang waras dan berakal sehat di negeri ‘’Animal Farm’’. Beruntung pula Indonesia masih punya beberapa orang pengadil di Mahkamah Konstitusi yang berjiwa lurus. Undang-undang itu pun dibatalkan, meskipun dengan sangat alot.
Skor tipis 4-3 antara pengadil yang setuju pembatalan dan pengadil yang setuju memberikan kekebalan hukum.
Publik sudah tahu bagaimana mengerikannya korupsi dana bansos yang terjadi di Kementerian Sosial semasa dipimpin oleh Juliari Batubara.
Juliari sudah diringkus. Namun, masih terlalu banyak pertanyaan yang tidak terjawab dari korupsi bansos itu. Kepala daerah sudah ada yang ditangkap karena korupsi yang sama, tetapi kelihatannya masih banyak pencoleng yang belum terbongkar kejahatannya.
Pembatalan status kebal hukum, setidaknya sedikit melegakan, meskipun tidak bisa diharapkan akan bisa membongkar praktik penyelewengan dana Covid-19 yang baunya terendus, tetapi buktinya tersembunyi.
Praktik kartel alat-alat kesehatan yang ramai diperbincangkan publik adalah bagian dari bau korupsi yang menyengat. Mafia PCR, mafia karantina, dan mafia-mafia lainnya yang banyak diperbincangkan publik seolah bebas berkeliaran tanpa ada konsekuensi.
Definisi terhadap korupsi yang sempit membuat program pemberantasan korupsi di Indonesia terhambat, kalau tidak berhenti total. Korupsi hanya diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan terjadinya kerugian negara. Tanpa ada kerugian riil terhadap anggaran negara tidak dianggap terjadi korupsi.
Inilah yang menjadi kegelisahan di antara sejumlah aktivis anti-korupsi. Kegelisahan ini pula yang dituangkan B. Herry Priyono yang melakukan studi mendalam dan menulisnya dalam buku ‘’Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi’’ (2018).
Priyono memulai dengan kritik terhadap miskinnya definisi korupsi dan bias dari definisi itu. Korupsi seharusnya tidak dilihat dari definisi, tetapi dikenali dari ciri-ciri tindakannya. Definisi yang sempit akan mempersempit makna tindakan korupsi.
Praktik suap menyuap di kalangan bisnis swasta tidak masuk kategori korupsi kalau tidak ada keruigian negara. Seorang kepala polisi yang meminta layanan seksual sebagai imbalan pembebasan pidana tidak dijerat dengan pasal korupsi.
Upaya pelemahan undang-undang anti-korupsi yang disetujui secara mulus oleh para anggota parlemen tidak dianggap tindakan korup, karena tidak ada kerugian keuangan negara.
Upaya penyingkiran sejumlah karyawan KPK dengan berbagai tes rekayasa tidak dianggap sebagai tindakan korupsi, karena tidak ada kerugian negara. Penyalahgunaan wewenang, abuse of power, dengan memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan layanan ekstra bukan dianggap korupsi.
Rapat para pimpinan KPK di hotel bintang lima bukanlah korupsi karena semua biaya sudah dianggarkan.
Sejarah korupsi sudah menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Praktik korupsi menjadi bagian dari praktik budaya yang merentang jauh sejak masa-masa feodal, masa penjajahan, sampai masa kemerdekaan.
Korupsi selalu menjadi penyakit kronis yang menggerogoti bangsa dari zaman ke zaman. Penyelewengan kekuasaan dan penarikan pungutan liar sudah menjadi praktik umum di masa kolonial.
Korupsi telah ada hampir setua peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak abad ke-13.
Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Majapahit, Mataram, dan kerajaan lainnya di Nusantara. Sejarawan Ong Hok Ham mengungkap pungli langgeng karena pejabat dalam kerajaan tradisional ini tak digaji oleh raja.
Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi pejabat tanah dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber keuangan inilah urusan jabatan dibiayai.
Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham mencatat mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya telah berdiri sendiri dalam keuangan.
Raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja menerima sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi, jumlah yang diberikan relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk kantong pribadi pejabat.
Ong mengungkapkan contoh seorang bawahan dapat menjamu rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi, juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka.
Seseorang yang diduga tengah dililit masalah hukum bisa berdiri bersanding dengan seorang presiden dalam sebuah peresmian pabrik milik sang pengusaha.
Dalam ‘’Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang’’ (2018) Ong mengungkap kebiasaan pungli makin langgeng kala sistem tanam paksa (cultuur stelsel) diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch pada 1830.
Aturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur berlangsungnya aksi pungli paling hebat dalam sejarah kolonial.
VOC bangkrut digerogoti korupsi dan dibubarkan 1 Januari 1800. Seluruh kekuasaan VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda, termasuk utang seebsar 134,7 juta gulden.
Korupsi terbukti bisa membangkrutkan korporasi besar. Pemerintah yang besar pun bisa mudah bangkrut karena korupsi, rezimnya jatuh dan utangnya diwariskan kepada rakyat. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror