jpnn.com, JAKARTA - Dunia saat ini, di timur dan barat bumi – Maroko hingga Merauke- perlu menyebarkan budaya dan etika toleransi di semua tingkatan, sehingga menjadi budaya umum, karena itu akan membawa pada perdamaian dan kerukunan serta pertukaran kepentingan dan kemakmuran.
Maroko dan Indonesia memiliki kesamaan, mempunyai perilaku masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi umat beragama serta menonjolkan sikap keramahtamahan pada antar agama. Maroko juga memiliki kerjasama dengan Indonesia sesuai spirit mempererat hubungan antar negara yang menginginkan adanya perdamaian di dunia.
BACA JUGA: Oknum TNI AU Injak Kepala Warga Papua: Ini Pernyataan Tegas KSAU Setelah Copot Dua Komandan
Papua dan Maroko memiliki kesamaan hidup penuh kedamaian dan toleransi serta memiliki tradisi dalam menyelesaikan konflik dengan kearifan lokal.
Dalam Webiner yang diselenggarkan INC TV terungkap bahwa tidak benar anggapan Papua hanya dipenuhi konflik, kekerasan, dan keterbelakangan. Padahal, Papua adalah tempat yang sangat damai dan harmonis.
BACA JUGA: Senator Asal Papua Ungkap 2 Keanehan Pada Peristiwa Oknum POM AU Injak Kepala Warga
Jikalau saja kita mengenal orang Papua dengan lebih dekat, maka akan didapatkan kehangatan sebuah persaudaraan yang tanpa pamrih dan apa adanya. Mereka memperlakukan orang lain sebagai keluarga sehingga menjaga harkat, martabat dan kehormatan diri sendiri sama dengan yang dilakukannya untuk orang lain.
“Kenyataan bahwa toleransi yang berkembang di Papua terjadi sampai detik ini menjadi alasan kenapa kami selenggarakan acara ini," jelas panita penyelenggara dari INC TV, M Taufan.
BACA JUGA: Ketua Komite I DPD RI: Setop Kekerasan di Papua
Agamawan asal Papua, Idrus Al Hamid mengatakan bahwa perjumpaan agama-agama di Papua selama ini telah melahirkan harmoni dan kebersamaan serta toleransi yang cukup baik.
Dengan memahami adanya masyarakat Papua yang memiliki topografi yang berbeda-beda, yaitu masyarakat pesisir, rawa, leren gunung dan pegunungan, penulis buku jalan panjang Perdamaian Papua ini optimis dengan kearifan lokal masing-masing, dan masyarakat Papua mampu membangun kehidupan yang penuh toleran.
“Keberadaan agama justru menjadi bagian yang tidak menjadi pembeda. Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan keagamaan dijadikan sebagai kegiatan bersama walaupun berbeda-beda agama,” ujar salah satu penggagas zona integritas kerukunan umat beragama dan budaya Papua tersebut.
Meskipun terkadang terjadi gesekan antara masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi dengan perantau, dan politisasi identitas, namun ia telah merintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun inter-religius diaof dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.
“Yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban,” pesannya bagi seluruh elemen masyarakat di Papua.
Narasumber lainnya, Muhammad Sofin menyatakan bahwa masyarakat Papua sejak dahulu kala telah terbuka secara intelektual dan perilaku dalam menerima orang yang datang ke tanahnya, seperti halnya perbedaan agama dan suku tidak menghalangi mereka untuk menebar perdamaian dengan wajah ceria dan mengulurkan tangan. Kerja sama untuk hidup berdampingan secara damai.
“Masyarakat Papua tidak menyembunyikan fakta bahwa toleransi dan kerja sama antarumat beragama itu nyata: seorang Kristen membantu saudara Muslimnya ketika mempersiapkan ritual Idul Fitri, dan sebaliknya ketika datangnya Hari Kristus, dan begitu juga semua pemeluk agama, mengkoordinir perlakuan yang baik dari hati yang murni. Semua ini merupakan dasar dan kunci untuk menciptakan perdamaian dan keserasian lingkungan guna mencapai keberhasilan pembangunan negara dan pembangunan sumber daya manusia di Papua,” tegas asisten professor di UIN Maulana Hasanuddin Banten yang pernah berdakwah di pedalaman Papua.
Sebenarnya, jiwa NKRI sudah mendarah daging dalam sanubari masyarakat Papua, seperti yang dirasakan Safar Furuada, aktivis pendidikan dari Kaimana.
“Rasa kebangsaan, jiwa memiliki negara ini telah terpatri sejak awal karena kami bagian dari negara ini yang secara adat kami telah mengalami kebersamaan yang kuat. Karena itu dengan kedatangan saudara kami ke Papua justru menambah semangat kebangsan (wathaniyah) dan juga membantu semangat dakwah di tanah Papua dengan menjalin hubungan yang baik dengan umat agama lain. Karena itu, adanya Otsus jilid II kami berharap menambah gairah, semangat membangun di kawasan timur Indonesia, terutama pembangunan dalam bidang keagamaan. Kita berharap Papua menjadi barometer toleransi dan Indonesia menjadi negeri yang makmur dan sejahtera," ujar dia.
Ia juga menceritakan bahwa secara umum hubungan toleransi di Papua sudah cukup baik. Kehidupan sosial antar suku, agama dan golongan sudah cukup baik. Jika membangun masjid selalu ada uluran tangan dari masyarakat yang beragama lain terutama kristiani, itu biasa.
“Bahkan kadang-kadang mereka tersinggung kalau hajat mendirikan bangunan mereka tidak diundang. Karena mereka satu persaudaraan seperti tercermin dalam semboyan -satu tungku tiga batu- yang sudah mandarah daging dalam masyarakat Papua. Ada ungkapan kalau belajar toleransi, belajarlah pada masyarakat Papua, karena telah mempraktekkan toleransi yang riil yang tidak dimuat dalam buku-buku,” papar tokoh Papua yang juga aktif dalam pengembangan pendidikan di Kaimana.
Pengalaman ini juga terjadi di Maroko. “Antara Indonesia dan Maroko ada kesamaan masalah, sehingga harus ada hubungan yang kuat antar sesama. Saling membantu sesama muslim dan tetap menjaga toleransi yang menjadi dasar dalam hubungan sosial yang majemuk,” terang Prof Kholid Touzani yang pernah meraih Penghargaan Sheikh Al-Mukhtar Al-Kinti untuk Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, tentang toleransi dalam sastra Arab dan Afrika.
Acara yang dikemas dalam Webinar Internasional bertajuk “Tolerance in Indonesia (Papua) and Morocca: Experience perspective” ini dimaksudkan agar dunia internasional tidak melihat Indonesia khususnya Papua sebagai negara yang penuh kekerasan, mencekam dan penuh konflik. Namun, justru telah menumbuhkan semangat persatuan dan kerukunan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda serta menanamkan nilai dan arti dari universalisme agama dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan Webinar International yang live di Channel Youtube INC TV dan NU Channel pada 28/07 menghadirkan Prof. Dr. Khalid Touzani (Cendekiawan Moder Maroko, Penulis Buku Toleransi Antar Agama, Peraih Nobel Syekh Sidi al Mukhtar al Kunti For Global Culture, Direktur of Marocan Center for Cultre Investment, dan Angggota Liga Arab), Prof. Dr. H. Idrus Al Hamid, M.Si (Rektor dan Guru Besar IAIN Fattahul Muluk Papua, Dr. Muhammad Shofin Sugito (Akademisi UIN Maulana Hasanudin Banten), dan Dr. Alvian Iqbal Zahasfan (Host). (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil