BAGI Anda yang pernah tinggal di luar negeri (diaspora) untuk studi puluhan tahun pasti bisa membedakan dukungan pemerintah saat ini dan puluhan tahun lampau. Tak terkecuali Presiden Ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie yang pernah menjadi diaspora di Jerman selama 18 tahun.
Dalam sesi diskusi di Hotel Bidakara kemarin (13/8), Habibie menceritakan susahnya akses untuk mendapatkan pendidikan.
"Saat itu, cara untuk ke luar negeri hanyalah dengan beasiswa. Itu pun hanya terbatas untuk bidang dirgantara dan perkapalan," jelasnya
Hal tersebut diakui sebagai akibat larangan bagi warga Indonesia untuk membeli valuta asing. Dengan begitu, orang yang punya modal cukup pun belum tentu bisa pergi ke luar negeri. "Tetapi, saya malah tidak boleh terima beasiswa oleh ibu saya. Karena dia sudah janji bakal biayai keperluan anak-anaknya," jelas dia.
Meski menghadapi banyak rintangan, suami almarhumah Hasri Ainun Besari itu tetap berhasil berprestasi di luar negeri hingga menjadi wakil presiden bidang teknologi di perusahaan penerbangan Jerman, Messerschmitt-B"lkow-Blohm.
BACA JUGA: Kata Pengamat UI, Inilah Kesamaan SBY dan Jokowi dalam Mengganti Menteri
"Diaspora harus jadi unggul di tempatnya masing-masing. Dulu saya tidak mau dikacungi sama siapa pun," jelasnya.
Meski sudah memberikan banyak kemudahan, menurut Habibie, pemerintah harus lebih mendukung para diaspora dengan menyokong program kerja mereka untuk bangsa. Permintaan itu disampaikan Habibie karena adanya kebiasaan presiden yang lebih memilih memutus program kerja presiden sebelumnya.
"Saya menciptakan pesawat untuk Indonesia untuk 25 tahun atau 50 tahun mendatang. Jangan baru 5 tahun sudah dibubarkan dengan alasan dia ingin buat jejak sendiri," tutur Habibie. (bil/c10/kim)
BACA JUGA: Dua Alasan Mas Gatot Ogah Diperiksa Kejagung
BACA JUGA: Jubir Kejaksaan Agung Dipercaya Jabat Kajati DIJ
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rizal Ramli: Presiden Bilang Itu, Saya Lemes...
Redaktur : Tim Redaksi