jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) memberikan dampak negatif bagi perdagangan minyak sawit mentah.
Akademisi dari Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha mengatakan selama kebijakan non-tariff barrier itu diterapkan, terjadi pembatasan volume ekspor dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA: Daerah Lain Ambyar, Justru di Sini Harga Sawit Moncer
Dia menyebut telah terjadi penurunan ekspor produk sawit secara signifikan dan petani kesulitan menjual tandan buah segar (TBS).
Menurut dia, kebijakan tersebut berisiko karena pemerintah tak memiliki kajian yang lengkap.
BACA JUGA: Mahyudin Apresiasi Rencana Pemerintah Mencabut DMO Sawit
“Hal ini, karena pemerintah tidak mempunyai kajian yang mumpuni terkait kebijakan DMO dan DPO sebelum diberlakukan,” kata Eugenia dalam siaran persnya, Selasa (20/9).
Ketua Tim Peneliti LPEM UI itu menambahkan pemerintah sebenarnya dapat menggunakan instrumen lain berupa pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor crude palm oil (CPO).
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Makin Cakep, Sekarang di Posisi Sebegini
“Hasil pungutan ekspor CPO dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI itu.
Dia berpendapat kebijakan DMO tidak dapat menurunkan harga minyak goreng, namun justru akan menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
“Kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan kebijakan DMO dan DPO sulit dijalankan dan terbukti menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO juga menghambat serta mengurangi daya saing industri sawit.
Tungkot menyarankan agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini, yakni kombinasi antara PE dan BK.
Kebijakan itu lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan.
"Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikkan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar," katanya.
Tungkot sependapat bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia.
Langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor CPO merupakan kebijakan yang tidak tepat dan keliru.
Pendapat serupa juga disampaikan praktisi hukum Sadino. Menurutnya, langkah pemerintah melarang ekspor CPO demi mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dinilai sebagai kebijakan yang kurang tepat.
Pasalnya, penerapan DMO dan DPO bukan hanya menyulitkan pengusaha sawit, namun juga merugikan petani.
“Bayangkan berapa banyak TBS petani yang tidak terbeli pabrik kelapa sawit (PKS) akibat kebijakan DMO dan DPO,” kata Sadino.
Selain itu, tambah Sadino, gonta-ganti kebijakan terkait DMO dan DPO tentu tidak menguntungkan bagi dunia usaha yang membutuhkan kepastian dalam berusaha.
“Perusahaan rugi, petani rugi, pendapatan berkurang, dan merugikan perekonomian negara karena berkurangnya penerimaan devisa,” kata Sadino. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komisaris PT Wilmar Nabati Merasa Sebagai Korban Kebijakan Ekspor CPO
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan