jpnn.com, JAKARTA - Andalan Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah melakukan lelang gula kristal rafinasi (GKR) patut mendapat dukungan.
Sebab, kebijakan itu menjadi solusi atas keluhan maraknya peredaran gula rafinasi ke pasar konsumsi.
BACA JUGA: Sidak, Satgas Pangan Temukan Gula Rafinasi dan Makanan Kedaluwarsa
Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen menyatakan kebijakan itu merupakan salah satu terobosan baru yang disambut petani terlebih dengan digunakannya e-barcode.
Dengan mekanisme itu maka bisa dilacak siapa pemilik gula rafinasi tersebut,” ujarnya di Jakarta, Senin (12/6).
BACA JUGA: Kemendag Dinilai tak Tegas Kontrol Gula Rafinasi
Dia juga menyatakan kurang setuju dengan pernyataan sejumlah pihak yang menyebut kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) itu terlalu prematur.
Seharusnya, lanjut Soemitro, berikan kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan itu.
BACA JUGA: Tolong Selesaikan Kasus yang Curangi Petani Tebu
Menurut dia, tidak tidak ada alasan petani menolak kebijakan sistem lelang GKR.
Sebab, pemerintah menjanjikan bahwa industri kecil dan menengah juga bisa membeli dengan skala kecil misalnya satu ton.
Dia menjelaskan, pola pembelian semacam itu tidak dimungkinkan dalam mekanisme transaksi GKR saat ini.
Sebab, pembelian skala kecil hanya bisa dilakukan melalui distributor yang akibatnya pengusaha kecil akan mendapat harga lebih tinggi dibandingkan industri besar yang bisa bertransaksi langsung ke pabrik.
Sekjen DPN APTRI Nur Khabsin mencurigai pihak yang menolak kebijakan sistem lelang swasta itu mempunyai agenda tersendiri.
Jangan-jangan, kata dia, pihak yang menolak takut kehilangan pasar karena pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membatasi ruang gerak perdagangan gula rafinasi ilegal.
Menurut dia, petani sudah dibuat sangat sengsara dengan masifnya perembesan gula rafinasi di pasar konsumsi.
"Kondisi tersebut selain merusak tata niaga gula nasional juga sangat memukul keuangan petani," katanya.
Harga GKR jauh lebih murah dibandingkan gula tebu petani tapi unjuk rasa dan pelaporan yang disampaikan DPN APTRI hingga hari ini tidak membuahkan hasil.
Perembesan semakin merajalela dan pelakunya bukan hanya produsen gula rafinasi.
Namun, kata dia, diduga juga dilakukan oleh kalangan industri yang menjual kembali GKR karena tergiur margin akibat disparitas harga jual gula kritas rafinasi dan gula kristal putih.
Nur Khabsin mengatakan kalau ada yang alergi terhadap ide sistem lelang GKR yang menerapkan sistem proteksi tersebut maka patut dicurigai bahwa orang tersebut pro perembesan.
Saat ini polisi dan pemerintah kesulitan melacak pelaku perembesan GKR.
“Semua produsen cuci tangan padahal perembesan hampir merata disetiap daerah. dengan sistem e barcode dalam lelang yang dilaksanakan PT PKJ bisa diketahui asal GKR,” ujarnya.
Sedangkan Soemitro menilai kecurigaan terhadap swasta dalam lelang GKR tersebut berlebihan. Seperti bursa komoditas, Bursa Efek Indonesia juga dikelola swasta.
"Tidak ada jaminan jika dikelola BUMN akan lebih baik," tegasnya.
Sebelumnya pemerintah menyebutkan lelang GKR dapat segera dilaksanakan menyusul penetapan PT PKJ sebagai penyelenggara pasar lelang GKR oleh Kemendag melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan nomor 684/M-DAG/KEP/5/2017 tentang Penetapan Penyelenggara Pasar Lelang Gula Kristal Rafinasi. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy