Kebijakan Perdagangan Karbon Indonesia di COP 29 Dinilai Bermasalah

Minggu, 24 November 2024 – 00:05 WIB
Ilustrasi Industri penghasil karbon. Foto: Unsplash - Marcin Jozwiak

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan perdagangan karbon yang diusung Pemerintah Indonesia dalam Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan, menuai kritik tajam.

Lembaga Trend Asia menilai, langkah pemerintah lebih mengutamakan keuntungan segelintir pihak ketimbang memberikan solusi nyata untuk mengatasi krisis iklim.

BACA JUGA: Pertamina Manfaatkan Proyek Perdagangan Karbon Demi Kejar Target NZE di 2060

Pemerintah Indonesia menargetkan pendapatan sebesar USD 65 miliar (sekitar seribu triliun rupiah) dari penjualan 557 juta karbon hingga 2028.

Pendanaan ini diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8% dan membuka lapangan kerja baru.

BACA JUGA: Dorong Optimalisasi Perdagangan Karbon, Bamsoet Sarankan Indonesia Tiru Thailand

Namun, Trend Asia menyebut perdagangan karbon ini justru menjadi "solusi palsu" yang mengabaikan perlindungan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan masyarakat adat yang terdampak.

Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Rez mengatakan, penjualan karbon dijadikan tameng pemerintah untuk menutupi kerusakan lingkungan yang selama ini diabaikan.

BACA JUGA: Trend Asia: Sungai Kapuas Terancam Tercemar Gara-Gara Ini

"Hutan-hutan alam yang menjadi penyerap karbon alami terus ditebang demi proyek strategis nasional, seperti food estate dan hilirisasi industri,” ujar Amalya Reza, dalam keterangannya, Sabtu (23/11).

Dia juga menyoroti bagaimana kebijakan co-firing biomassa memperburuk deforestasi. Trend Asia mengusulkan agar pemerintah fokus pada langkah-langkah konkret seperti pengenaan pajak karbon terhadap industri penyumbang emisi.

Menurut kajian lembaga tersebut, potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi dapat mencapai Rp 23,6 triliun pada 2025, jauh lebih besar daripada hasil perdagangan karbon. Pajak ini juga dinilai lebih efektif untuk mendorong perusahaan mengadopsi teknologi ramah lingkungan.

Selain itu, pemerintah diharapkan menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru dan memensiunkan PLTU berbasis fosil secara bertahap.

Menurut Beyrra Triasdian, pengampanye energi terbarukan Trend Asia, mekanisme non-pasar seperti pemulihan ekosistem hutan jauh lebih efektif untuk mengatasi krisis iklim daripada mekanisme perdagangan karbon yang rawan praktik greenwashing.

“Perdagangan karbon hanya menciptakan keuntungan bagi korporasi besar, sementara masyarakat lokal dan lingkungan tetap menjadi korban. Solusi nyata adalah mendorong energi terbarukan, memulihkan hutan, dan melindungi masyarakat adat,” pungkas Beyrra.

Dia menambahkan, pemerintah harus mengedepankan kebijakan berkeadilan untuk melindungi ekosistem dan komunitas rentan. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler