jpnn.com, KALIMANTAN BARAT - Pertambangan dan smelter bauksit yang mengepung Sungai Kapuas diduga menjadi sumber pencemaran sungai terpanjang di Indonesia tersebut.
Dari laporan Trend Asia, di sepanjang wilayah pesisir Sungai Kapuas di Kecamatan Tayan Hilir, Kalimantan Barat, terdapat tumpukan bauksit hasil pertambangan PT Aneka Tambang (Antam), PT Bintang Tayan Mineral, PT Kapuas Bara Mineral yang menggunung.
BACA JUGA: LAS! Dukung Perjuangan Masyarakat Adat Lawan Deforestasi
Air yang berlumpur akibat limbah pertambangan menyebabkan gatal-gatal, sebab Sungai Kapuas masih menjadi sumber air utama yang digunakan warga untuk membersihkan diri hingga mencuci pakaian.
Selain itu, hasil tangkapan, seperti ikan dan udang makin sedikit hingga mempengaruhi sumber ekonomi nelayan.
BACA JUGA: Trend Asia: Perkebunan Energi Ancam Hutan Kalimantan Barat
Kerusakan lingkungan yang berdampak pada kesehatan dan pendapatan warga akan makin mengancam dan berlipat ganda sebab hilirisasi bauksit sedang gencar didorong oleh pemerintah.
Hal tersebut disampaikan dalam rangkaian kampanye kreatif kolaborasi antara Trend Asia, Link-Ar Borneo, dan LAS!, band asal Pontianak yang tergabung dalam koalisi No Music on A Dead Planet.
BACA JUGA: LAS! Lebih Kalem dalam Album Ketiga
Link-Ar Borneo merupakan sebuah lembaga riset, advokasi, dan pemberdayaan petani, masyarakat adat serta buruh di perkebunan sawit dan kayu serta pertambangan.
"Udang galah yang berukuran besar dan beberapa jenis ikan juga sudah semakin sulit ditemukan. Hal ini tidak hanya terjadi di Sungai Kapuas, tetapi merambah ke beberapa anak sungai di Tayan. Kerusakan lingkungan juga diakibatkan oleh kebobolan washing plant atau pengolahan bauksit," kata Ahmad Syukri dalam keterangan resmi, Senin (30/9).
"Di sini juga ada izin penambangan pasir sungai yang dikirim ke Marunda, Jakarta Utara. Kalau melihat di peta, Tayan sudah diisi untuk blok pertambangan, perkebunan sawit, dan pabrik untuk mengolah CPO dan CPKO. Jadi kerusakan di Tayan ini sangat parah dan berdampak besar untuk masyarakat," sambungnya.
Dari laporan Trend Asia, PT Bintang Tayan Mineral memiliki konsesi pertambangan 1.028 hektare dan PT Kapuas Bara Mineral dengan konsesi seluas 9.245 hektare.
Sementara itu, PT Antam memiliki IUP seluas 34.360 hektare, hasil pertambangan bauksitnya diolah oleh anak perusahaannya, PT Indonesia Chemical Alumina.
Kondisi Sungai Kapuas yang makin tercemar membuat personel band asal Pontianak, LAS! turut prihatin.
Vokalis LAS!, Bob Gloriaus menilai Sungai Kapuas menyimpan banyak potensi untuk ekowisata yang seharusnya bisa menjadi peluang ekonomi hijau baru.
"Tetapi, hal itu tidak terlihat hari ini. Di tepian sungai kita juga melihat rumah sederhana penduduk yang bisa kita indikasikan kegiatan pertambangan tidak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Buangan limbah ke sungai hingga kehadiran pabrik di sekitar Kapuas juga merenggut hak asasi mereka untuk menghirup udara bersih, belum lagi sumber pangan dari sungai juga sudah tercemar," jelas Bob Gloriaus.
"Perlu ada kajian yang meneliti kadar pencemaran sungai di sini dan apakah ikan-ikan masih layak untuk dikonsumsi masyarakat," lanjutnya setelah mengikuti kegiatan susur sungai untuk melihat aktivitas industri ekstraktif pertambangan bauksit di Tayan.
Arko Tarigan, Juru Kampanye Trend Asia menyatakan dalam skema transisi energi, mineral kritis seperti bauksit masuk melalui produksi kendaraan listrik yang dikenal sebagai kendaraan hijau rendah emisi.
Saat ini pemerintah Indonesia sedang gencar untuk membangun ekosistem produksi kendaraan listrik. Ketika nikel yang banyak tersimpan di Sulawesi dan Maluku disasar untuk menjadi salah satu komponen baterai kendaraan listrik, bauksit juga diperuntukkan komponen baterai dan kerangka badan kendaraan listrik.
Walaupun gas buang dari kendaraan listrik memang rendah, tetapi meninggalkan jejak-jejak kotor di wilayah industri pertambangan mineral. Belum lagi sumber listrik untuk mengisi daya kendaraan tersebut masih berasal dari energi kotor batubara.
Demi menyokong terciptanya ekosistem kendaraan listrik tersebut, pemerintah menggencarkan skema hilirisasi mineral yang digadang-gadang untuk meningkatkan perekonomian negara.
Melalui hilirisasi tersebut, Presiden Joko Widodo menginginkan alur produksi kendaraan listrik yang saling terintegrasi.
Saat ini skema hilirisasi nikel telah berjalan, tetapi penuh catatan hitam, sebab menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan dan kasus kecelakaan kerja yang berulang kali terjadi tanpa tanggung jawab dari pemerintah maupun perusahaan di wilayah industri nikel.
"Hilirisasi yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia apakah memberikan dampak baik untuk warga di sekitar area pertambangan atau sekadar dinikmati oleh segelintir pihak saja? Pencemaran yang terjadi mengindikasikan pertambangan memberikan kesengsaraan, sedangkan manusia membutuhkan air, udara, dan tanah yang bersih untuk hidup. Apakah hilirisasi yang dijanjikan ini menjadi solusi untuk transisi energi?" ucap Arko Tarigan.
Kunjungan ke Sungai Kapuas untuk melihat aktivitas industri ekstraktif pertambangan bauksit di Tayan merupakan satu kegiatan lokakarya untuk memperdalam diskusi terkait transisi energi dan krisis iklim.
Sebelumnya, Trend Asia, Link-ar Borneo, dan LAS! melakukan kunjungan ke Kualan Hilir, Kalimantan Barat melihat deforestasi masif sebesar 33 ribu hektare yang diduga dilakukan PT Mayawana Persada sejak 2021 hingga 2023.
LAS! beranggotakan empat orang yakni, Bob Gloriaus sebagai vokal dan gitar, Dias Mraz pada drum, Cep Kobra pada bass, serta Agaz Frial pada gitar.
Band indigenous rock and roll itu tergabung dalam No Music on A Dead Planet, koalisi yang menjadi wadah bagi musisi-musisi yang peduli atas isu lingkungan dan krisis iklim
Lokakarya kolaborasi Trend Asia, Link-Ar Borneo, dan LAS! juga bertujuan untuk menggaungkan Music Declares Emergency Indonesia yang mendeklarasikan darurat iklim.
Beberapa poin deklarasi tersebut menggarisbawahi desakan terhadap pemerintah agar mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencapai target nol emisi pada 2050.
(ded/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi