Kebijakan Rokok Murah Dinilai Layak Untuk Dikoreksi

Kamis, 18 Juni 2020 – 20:26 WIB
Rokok dan asbak. Foto/ilustrasi: Ayatollah Antoni/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Antikorupsi, Emerson Yuntho mendesak Kementerian Keuangan untuk mencabut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017, yang memperbolehkan pabrikan mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga ditingkat konsumen akhir rokok di bawah 85 persen dari harga jual eceran/harga banderol.

Kebijakan ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan. Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok.

BACA JUGA: Asosiasi Vape Pertanyakan Keseriusan Kemenperin soal Standarisasi Rokok Elektrik

Emerson menjelaskan berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok pada 2020 mencapai Rp2,6 triliun.

“Ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya,” kata Emerson dalam diskusi virtual Indonesia Budget Center, Kamis (18/6).

BACA JUGA: WHO Diminta Mempertimbangkan Produk Tembakau Alternatif Dibanding Rokok

Emerson menjelaskan, potensi kehilangan PPh badan diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019. Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE.

Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp1,73 triliun. Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1 persen HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM (sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau), potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp2,6 triliun.

BACA JUGA: Inilah Modus Pengiriman Rokok Tanpa Cukai ke Daerah Lain

Selain potensi kehilangan PPh badan, keberadaan diskon rokok (rokok murah) akibat klausul dalam Perdirjen Bea Cukai juga mendorong peningkatan tingkat konsumsi rokok terutama oleh anak dan kemiskinan. Padahal, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui naskah akademik yang menjadi dasar kebijakan tersebut.

Karena itu, muncul persepsi publik bahwa kebijakan diskon rokok merupakan bagian kompromi pemerintah dengan industri rokok.

Emerson juga merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.

Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal. Dia mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.

“Kebijakan ini membuat kas negara tidak optimal di saat pemerintah tengah mengejar penerimaan cukai yang lebih besar dari rokok,” katanya. Menurut Tauhid, cukai rokok masih menjadi anak emas pendapatan negara bahkan di tengah kondisi krisis dan negara yang membutuhkan dana segar sehingga peninjauan ulang kebijakan diskon rokok akan mengoptimalisasi penerimaan cukai rokok.

Selain itu, menurutnya selama ini pelaku praktik diskon rokok biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang tingkat persaingannya besar. Jika pemerintah masih terus melegalkan sistem potongan harga ini, potensi kehilangan penerimaan negara akan makin tinggi.

Sementara, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85 persen dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

“Sebenarnya kami perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Ketika disinggung mengenai dasar toleransi 50 persen area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, dia menuturkan bahwa semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” tegasnya.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler