WHO Diminta Mempertimbangkan Produk Tembakau Alternatif Dibanding Rokok

Rabu, 10 Juni 2020 – 11:25 WIB
Ilustrasi rokok. Foto: pixabay

jpnn.com - Sejumlah pakar kesehatan internasional mengkritik posisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dinilai menghambat inovasi baru, seperti produk tembakau alternatif.

Menurut para pakar, penolakan terhadap inovasi tersebut dianggap telah menyia-nyiakan peluang untuk mencegah jutaan kematian dini yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok.

BACA JUGA: Asosiasi Vape Pertanyakan Keseriusan Kemenperin soal Standarisasi Rokok Elektrik

Posisi WHO ini dipublikasikan pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020, 31 Mei lalu. Padahal, jika mempertimbangkan data dan kajian ilmiah, produk tembakau alternatif bisa menjadi solusi atas permasalahan rokok di berbagai negara.

Menurut Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO, Profesor Tikki Pangestu, menyatakan WHO telah kehilangan arah dalam menyelesaikan permasalahan merokok secara global.

BACA JUGA: Beredar Isu Filter Rokok Mengandung Darah Babi, Ini Penjelasannya

Hal ini terlihat jelas dengan sikap WHO yang anti terhadap produk tembakau alternatif. Penolakan tersebut pun tanpa didasari kajian bukti ilmiah.

Padahal, tujuan awal WHO membuat perjanjian internasional pengendalian tembakau yang dikenal dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2000 lalu adalah untuk mengatasi epidemi penyakit yang berhubungan dengan merokok.

BACA JUGA: Pemerintah Kurang Tegas Terhadap Harga Rokok, Anak-anak jadi Korbannya

“WHO seharusnya bersikap lebih terbuka terhadap keseluruhan bukti ilmiah yang ada. Banyak kajian ilmiah yang telah menyimpulkan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Produk tersebut mempunyai potensi besar dalam membantu mereka yang kesulitan untuk berhenti merokok,” kata Visiting Professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore tersebut.

Tikki menilai WHO telah mengabaikan misi utamanya, yaitu mendukung kesehatan setinggi-tingginya bagi semua orang, termasuk 1 miliar perokok di seluruh dunia dengan mengabaikan kajian-kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif, 

“Dampak dari pengabaian tersebut sudah tentu lebih banyak perokok yang akan mengalami penyakit tidak menular yang disebabkan oleh merokok, seperti jantung, hipertensi, diabetes, kanker paru, dan lain-lain. Angka kematian akibat kebiasan merokok akan tetap tinggi, terutama di Indonesia,” tambahnya.

Khusus Indonesia, Tikki menyarankan pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait memiliki sikap terbuka terhadap produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik.

Selain itu, perlu adanya kajian ilmiah yang dilakukan oleh lembaga independen sehingga hasilnya transparan dan objektif.

“Mereka yang anti terhadap produk tembakau alternatif berarti mengabaikan hak asasi manusia, khususnya perokok, untuk mendapat akses ke produk yang lebih baik bagi kesehatan mereka dan menghindari kematian dini. Ini merupakan ketidakadilan sosial dan pelanggaran HAM,” tegasnya.

Berdasarkan laporan WHO, kanker merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian terbesar kedua di dunia dan bertanggung jawab atas sekitar 9,6 juta kematian di tahun 2018.

Secara global, sekitar satu dari enam kematian disebabkan oleh penyakit kanker. Penggunaan rokok, atau produk tembakau yang dibakar, menghasilkan lebih dari 7.000 zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya dan merupakan faktor risiko tertinggi dan bertanggung jawab atas sekitar 22 persen kematian akibat kanker.

Profesor Emeritus University of Auckland New Zealand sekaligus Mantan Direktur Departemen Penyakit Kronis dan Promosi Kesehatan WHO, Profesor Robert Beaglehole, mengatakan bahwa WHO akan kehilangan kesempatan untuk mengurangi penyakit kanker, jantung, dan paru-paru jika tidak merangkul inovasi produk tembakau alternatif.

“Mendorong orang untuk beralih ke produk alternatif yang lebih rendah risiko dapat membuat perbedaan besar pada permasalahan penyakit di tahun 2030 mendatang, jika WHO mendukung gagasan itu, alih-alih melarangnya,” jelasnya.

Kritik terhadap kebijakan WHO turut disuarakan oleh ahli dari School of Global Public Health New York University, Profesor David Abrams, yang meyakini rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Perokok yang telah beralih sepenuhnya ke produk tembakau alternatif sudah membuktikan adanya perbaikan kesehatan.

“Namun, WHO terus mengampanyekan larangan langsung atau regulasi ekstrem bagi produk tersebut. Apakah masuk akal untuk melarang produk yang jauh lebih aman ketika rokok tersedia di mana-mana?” tegasnya.

Dalam kesempatan terpisah, Ahli Epidemiologi University of Nottingham sekaligus Direktur Pusat Studi Tembakau dan Alkohol Inggris, Profesor John Britton, juga meminta WHO untuk kembali fokus mencapai tujuan awalnya.

WHO membutuhkan strategi yang berbeda untuk mengurangi permasalahan penyakit yang diakibatkan dari rokok. Kehadiran produk tembakau alternatif justru dapat menjadi pilihan yang baik untuk mengatasi permasalahan tersebut.

"Kita tahu WHO menerapkan pengurangan risiko di bidang kesehatan masyarakat lainnya, termasuk untuk obat-obatan terlarang dan kesehatan seksual. Namun, pendekatan berhenti atau mati' bagi perokok serta menentang pengurangan risiko dari rokok itu tidak masuk akal," pungkas John. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler