Kebiri jika Korban Lebih dari Satu Orang

Rabu, 11 Mei 2016 – 12:28 WIB
Tujuh pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun divonis 10 tahun penjara. Foto: Bengkulu Ekspres/Jawa Pos Group

jpnn.com - JAKARTA - LSM jaringan international yang bergerak di bidang perlindungan anak, ESCAP Indonesia menyoroti rencana aksi perlindungan anak 2015 - 2019 yang sebenarnya telah dibuat pemerintah. 

Divisi Legal ESCAP Ermelina Singereta mengatakan harusnya pemerintah membuat mekanisme perlindungan anak dari tingkat RT hingga Kabupaten. ''Yang ada selama ini hanya kebijakan dan implementasi perlindungan anak di level kabupaten,'' kata Emerlina.

BACA JUGA: Pemerkosa Anak Disuntik Kebiri, Bakal Berubah jadi Perempuan

Selain soal mekanisme perlindungan dan implementasi perlindungan anak hingga tingkat terendah, ESCAP juga berharap pemerintah melakukan pemenuhan hak-hak korban. Khususnya yang berkaitan dengan restitusi dan kompensasi. 

''Pemenuhan kompensasi untuk korban kekerasan seksual anak wajib dilakukan pemerintah. Sebab negara bisa dikatakan lalai dalam melindungi anak-anak,'' ujarnya.

BACA JUGA: Ssttt...Ada Ekstasi di Laci Pak Bupati

Selama ini di Undang-undang perlindungan anak yang ada hanya soal aturan restitusi. Namun hal itu juga tidak jelas pada proses eksekusi putusan pengadilan perkaranya. ''Hukum acaranya tidak ada sehingga jaks juga tidak bisa melakukan itu,'' imbuh Emerlina.

Selama ini ESCAP tidak setuju adanya hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak. Sebab hal itu tidak menguntungkan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. 

BACA JUGA: Papa Novanto Catut Presiden Lagi? Siap-Siap Saja Disanksi...

Kebiri bisa diberikan pada pelaku sebagai bentuk hukuman tambahan. Hukuman kebiri diberikan sesuai dengan lamanya sanksi pidana penjara yang dijatuhkan pada pelakunya. Namun hukuman kebiri tidak serta merta diberikan. Pelaku yang bisa dikenakan kebiri ialah mereka yang melakukan perbuatan dengan korban lebih dari satu orang.

Selain itu tindakan yang dilakukan mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi. Namun semua syarat di atas bisa dikesampingkan jika korban meninggal dunia.

Dengan syarat itu, berarti korban yang masih hidup juga harus terlibat mengikuti pemeriksaan kesehatan. ''Bisa dibayangkan betapa tersiksanya korban harus berpindah-pindah pemeriksaan, menghadapi tenaga medis untuk interview dan sebagainya,'' ujar Emerlina.

Menurut dia, korban yang sudah menderita akibat kejahatan seksual harusnya tidak perlu lagi direpoti untuk ikut serta dalam pembuktian di pengadilan. 

''Harusnya korban ini kan segera dipulihkan bukan diseret-seret untuk pemeriksaan sebagai pembuktian kejahatan si pelaku,'' terang Emerlina.

Sayangnya dalam revisi UU Perlindungan Anak, pemerintah tak sedikitpun memasukkan aturan soal tanggung jawab pelaku serta negara atas hak-hak korban yang hilang atas timbulnya tindak pidana kekerasan seksual. (jun/mia/owi/idr/bay/gun/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bela Akom, Bamsoet Ancam Komite Etik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler