Tanggal 14 Februari diperingati di banyak tempat sebagai hari kasih sayang, Valentine's Day.
Hari dimana banyak pasangan entah yang belum berkeluarga maupun yang sudah mengucapkan lagi perasaan mereka.
BACA JUGA: Pelaku Penipuan Makan Di Restoran Tanpa Membayar Dibui Dua Tahun
Namun kehidupan baik selagi pacaran maupun ketika sudah berkeluarga tidaklah selalu berlangsung mulus tanpa masalah.
Bagaimana kehidupan mereka yang berasal misalnya dari budaya, suku atau agama yang berbeda?
BACA JUGA: Tiba Di Melbourne, Hakeem Al Araibi Disambut Puluhan Pendukung
ABC Indonesia kali ini berbicara dengan dua keluarga Indonesia yang sekarang tinggal di Australia mengenai suka duka kehidupan kkeluarga mereka, keluarga Hainsworth di Melbourne dan keluarga Situmorang di Adelaide.
Yang pertama adalah keluarga Hainsworth yang tinggal di Melbiourne. Berikut penuturan Monalisa Hainsworth kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya yang memulai dengan menjelaskan latar belakang keluarga mereka.
BACA JUGA: Penurunan Populasi Serangga Dianggap Mengkhawatirkan
Keluarga Hainsworth (Lucas (Lukman), Monalisa, Ellyse dan Myiesha).Saya Monalisa Hainsworth lahir dan besar di kota Padang. Setelah menamatkan kuliah di Bandung kembali ke Padang dan diterima sebagai dosen di Universitas Negeri Padang pada tahun 2006.
Saya asli Padang, dua orang tua saya suku Minangkabau dan kami beragama Islam. Mayoritas orang yang tinggal di Sumatera Barat beragama Islam.
Suami saya, Lucas Hainsworth, atau lebih dikenal dengan panggilan Lukman, lahir di Carlton, Australia. Ayahnya berasal dari West Yorkshire (Inggris) dan pindah ke Australia waktu kecil.
Keluarga ibunya juga berasal dari Inggris tapi sudah lama berdomisili di Australia. Lukman pertama kali ke Indonesia pada tahun Agustus 1997 dalam rangka program pertukaran siswa antara Wesley College dan Al AzharJakarta.
Dia belajar di Al Azhar selama 4 bulan dan disanalah pertama kali mengenal Islam dan mulai tertarik mempelajari Islam lebih dalam.
Tahun 2006, sebelum menyelesaikan kuliah S1 di Deakin University, Lukman mengikuti program intensif Bahasa Indonesia yang diadakan kampusnya bekerjasama dengan Universitas Negeri Padang.
Lukman dan beberapa mahasiswa Deakin University lainnya menghabiskan waktu 6 minggu di Padang belajar Bahasa Indonesia dan juga budaya dan masyarakatnya.
Disanalah Lukman bertemu dengan saya. Saya salah satu dosen yang terlibat dalam program tersebut. Lukman mengaku "love at the first sight" (jatuh cinta pada pandangan pertama).
Setelah program intensifnya selesai (January 2007), Lukman harus kembali ke Australia, dan sejak saat itu kami pacaran jarak jauh.
Setelah menjalankan hubungan jarak jauh (Long distance relationship) selama hampir 1 tahun, melalui telepon Lukman bilang dia mau menikahi saya.
Awalnya itu sangat berat meyakinkan kedua orang tua saya dan juga keluarga besar tentang keinginan kami untuk menikah, apalagi orangtua dan keluarga besar belum pernah bertemu secara langsung, hanya melalui telpon rutin.
Banyak kekhawatiran dan ketakutan-ketakutan yang keluarga sampaikan, bagaimana agama Lukman, keluarganya, kehidupan di Australia, pekerjaan saya nanti setelah menikah, dan masih banyak lagi.
Tapi dengan tekad dan niat yang benar2 serius, akhir November 2007 Lukman datang ke Padang menemui orangtua dan keluarga saya dan melamar saya. 1 minggu kemudian, tepatnya 7 Desember 2007 kami resmi menikah di salah satu mesjid di Padang.
Setelah 11 tahun menikah kami dikaruniai 2 anak perempuan, Ellyse (6,5tahun ) dan Myiesha 6 bulan.
Dengan adanya perbedaan paling sedikit satu (bangsa), dan mungkin agama, mengapa dulu memutuskan untuk menikah?
Lukman mengenal Islam pada tahun 1997 di Al Azhar Jakarta.
Waktu di Padang dia juga tertarik untuk belajar lebih dalam tentang Agama Islam dan memutuskan untuk mengucapkan syahadat di Masjid Westall, Victoria bulan September 2007.
Setelah masuk Islam Lukman melamar saya melalui telepon karena dia sudah yakin bahwa dia memang cinta sama saya dan mau membangun keluarga dengan saya.
Kami memutuskan untuk mengadakan acara sederhana di Padang dan pesta kecil di Melbourne supaya keluarga Lukman bisa hadir.
Apakah perbedaan itu sekarang sudah tidak ada lagi, misalnya dari sisi agama?
Sampai kapan pun perbedaan itu akan selalu ada.
Tapi cara kami menyikapi dan mengatasinya semakin lama semakin baik.
Dari sisi agama Alhamdulillah tidak ada perbedaan, karena saya tahu Lukman belajar dan menjalani dengan tulus untuk mengikuti rukun Islam.
Dan dari pertama bertemu sampai sekarang saya tidak pernah memaksanya. Semua berasal dari keinginan dan kemauannya sendiri.
Saya dibesarkan di budaya Minang, dan Lukman dibesarkan dalam budaya Barat.
Saya selalu bilang sama Lukman, "you can take the girl out of the village, but you can't take the village out of the girl" (artinya dimanapun saya tinggal saya tetap merasa menjadi bagian dari kehidupan kampung saya)..
Meskipun saya belajar banyak hal sejak saya pindah dan tinggal di Australia, tapi ada hal dan norma yang tidak akan pernah bisa saya hilangkan.
Dan yang paling penting yang tidak bisa dihilangkan adalah masalah lidah atau selera, selera saya tetap selera kampung
Sejauh ini 'masalah' terbesar apa yang kalian hadapi sebagai pasangan multi budaya?
Tidak dapat dipungkiri, perbedayaan budaya, pola pikir dan komunikasi merupakan faktor utama yang harus kami hadapi bahkan masih alami sampai sekarang setelah 11 tahun menikah.
Apalagi setelah punya anak, rintangan semakin besar. Cara dan pola kami membesarkan anak-anak sangat bertolak belakang.
Lukman dengan sifatnya yang "outspoken' dan "direct" dan sedikit keras. Sedangkan saya lebih pendiam dan "considered".
Sekarang kalian tinggal di Australia, apakah kalau kalian tinggal di Indonesia, apakah masalah yang dihadapi akan lebih besar atau lebih kecil?
Buat saya mungkin akan jadi lebih kecil karena banyak bantuan dari keluarga besar saya (support system) sebaliknya tidak buat Lukman.
Tapi seperti yang Lukman selalu bilang "no matter where we live, the problem with our relationship is still gonna be us" (Dimanapun kita tinggal, masalah dalam hubungan kita akan selalu menjadi hal yang kita selesaikan sendiri).
Nasehat apa yang akan kalian berikan kepada pasangan muda yang sekarang hendak melakukan seperti yang anda sudah lakukan?
Pilihlah pasangan yang 'biaya perawatannya tidak tinggi' dan orang yang enak diajak bicara (easy going), yang ada dasar pendidikan, pemikiran dan "nilai keluarga" yang sama.Keluarga Situmorang (Apriadi, Angela Wika, Ramos dan Kinan) Photo: Keluarga Situmorang dari kiri: Angela Wika, Kinan, Ramos dan Apriadi. (Supplied)
Keluarga Situmorang yang terdiri dari Apriadi, Angela Wika, dan kedua anak mereka Ramos dan Kinan sekarang tinggal di Adelaide (Australia Selatan) karena Adi, panggilan Apriadi sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Adelaide
Berikut penuturan Angela Wika kepada wartawan ABC Sastra Wijaya
Latar belakang keluarga saya: ayah keturunan Tionghoa, ibu saya Jawa.
Saya sendiri lahir dan besar di Jakarta (kuliah di Bandung). Keluarga besar saya dari pihak ibu dan ayah mayoritas beragama Katolik.
Ada sebagian kecil keluarga dari pihak ibu yang Islam karena menikah dengan orang Padang.
Namun keluarga kami tidak terpaku pada adat manapun Jawa ataupun adat Tionghoa.
Suami, Apriadi Situmorang, berasal dari suku Batak. Ia lahir di Sabang (Aceh) karena saat itu Bapaknya (anggota TNI AD) sedang bertugas di Sabang.
Namun kemudian Adi besar di Tarutung, Sumatera Utara. Kuliah dan bekerja di Bogor. Agama keluarga besar Adi juga Katolik.
Kami bertemu saat sama-sama kuliah S2 di Adelaide tahun 2011.
Mulai pacaran akhir tahun 2011, lalu menikah akhir 2013 setelah selesai S2 dan sama-sama pulang ke Indonesia.
Lalu 2014 kami kembali ke Adelaide karena Adi melanjutkan S3 di University of Adelaide. Hingga sekarang kami sudah memiliki 2 anak, 1 laki-laki Ramos (4thn) dan 1 perempuan Kinan (1.5 thn).
Dengan adanya perbedaan suku mengapa dulu memutuskan untuk menikah?
Dari kedua belah pihak keluarga tidak ada masalah dengan perbedaan suku, yang penting agama sama, yaitu Katolik.
Keluarga besar Adi pun ada beberapa yang juga menikah dengan suku Jawa.
Meskipun Papa Adi adalah seseorang yang sangat memegang prinsip adat, namun untuk beberapa hal, salah satunya soal ini, beliau masih terbuka, selama masih satu agama.
Apakah perbedaan itu tidak dialami dalam pernikahan dan kalau ada bagaimana mengatasinya?
Ada beberapa perbedaan yang terasa, namun tidak menjadi masalah berarti selama proses pernikahan kami hingga saat ini.
Hanya sedikit penyesuaian terhadap adat, seperti misalnya sehabis menerima sakramen pernikahan di gereja, ada sedikit prosesi adat yang dijalani yang hanya memakan waktu kurang lebih 30 menit.
Pihak keluarga saya pun sangat terbuka untuk hal itu.
Pihak keluarga Adi pun tidak mengharuskan saya untuk diberi marga plus dengan prosesi adatnya yang memakan waktu dan biaya.
Yang penting sah di hadapan Tuhan alias sakramen di gereja.
Penyesuaian lainnya misalnya dengan kedudukan orang tua saya dalam adat batak yang dianggap seperti 'dewa' bagi keluarga pihak laki-laki, sementara keluarga saya sifatnya lebih santai dan tidak terpaku pada adat apapun.
Namun dengan komunikasi, hal ini tidak menjadi masalah.
Misalnya ketika Ibu saya ikut dengan kami ke Medan, ke rumah orang tua Adi, secara adat Ibu tidak boleh melakukan pekerjaan rumah apapun.
Sementara Ibu saya sifatnya tidak bisa duduk diam, jadi beliau kadang ikut membantu menyapu atau bantu memasak.
Awalnya orang tua Adi merasa tidak enak, tapi mereka pun kemudian bisa menyesuaikan dan memahami.
Sejauh ini 'masalah' terbesar apa yang kalian hadapi sebagai pasangan berbeda suku dan mungkin budaya?
'Masalah' terbesar kami mungkin soal bahasa. Seringkali ketika kumpul keluarga suami, mereka bicara dalam bahasa Batak, yang saya tidak mengerti.
Tapi mereka dengan senang hati menerjemahkan inti pembicaraan ke saya.
Lalu juga soal panggilan-panggilan dalam bahasa Batak dalam keluarga maupun dalam lingkungan sosial, terutama keluarga besar atau keluarga jauh yang seringkali sulit untuk saya ingat.
Seringkali saya harus tanya suami dulu, saya harus panggil orang tersebut dengan sebutan apa?
Sehingga seringkali ketika bertemu dan ngobrol dengan anggota keluarga jauh, saya jadi canggung karena tidak tahu harus memanggil beliau dengan sebutan apa, jika saya tidak sempat bertanya pada suami.
Sekarang kalian tinggal di Australia, apakah kalau kalian tinggal di Indonesia, apakah masalah yang dihadapi akan lebih besar atau lebih kecil?
Memang benar, karena kami tinggal di Australia, maka perbedaan budaya ini tidak terlalu terasa.
Jika kami tinggal di Indonesia, mungkin kami akan lebih banyak terpapar oleh perbedaan budaya, karena lebih sering bertemu dengan keluarga jauh maupun dekat.
Namun justru karena kami jarang terpapar dengan budaya dalam keluarga, saya jadi lebih lambat memahami budaya Batak berikut panggilan-panggilan dan bahasanya.
Nasehat apa yang akan kalian berikan kepada pasangan muda yang sekarang hendak melakukan seperti yang anda sudah lakukan?
Saran saya untuk pasangan atau calon pasangan beda budaya dan suku, jangan takut.
Selama kedua belah pihak saling terbuka, perbedaan itu bisa dipelajari sedikit demi sedikit dan disesuaikan.
Dengan catatan kedua belah pihak bisa saling terbuka, memahami dan mau menerima perbedaan budaya.
Ikuti artikel-artikel dari ABC Indonesia lainnya di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Musisi Indonesia di Australia Ade Ishs Komentari Soal RUU Permusikan