Warga Indonesia asal Yogyakarta, Safira Aulia, sudah tiga kali mengunjungi Christmas Island untuk mendampingi suaminya yang bekerja sebagai dokter kawasan terpencil. Namun, pandemi COVID-19 telah memberikan warna berbeda pada kunjungan terakhirnya.

"Gara-gara COVID di bulan Februari dan Maret, rumah sakit [di Christmas Island] bingung cari-cari orang," kata Safira yang pada saat itu sedang menjalankan bisnis kreasi kartu dan perhiasan dari kaca lautnya.

BACA JUGA: Remehkan Virus Corona, Presiden Ogah Memaksa Warganya Divaksinasi

"Mereka cari orang yang bisa kerja. Nah, saya kebetulan ada izin working with children. Jadi disuruh apply izin tersebut di Australia Barat untuk jadi healthcare worker."

Sebagai seorang tenaga perawatan kesehatan di rumah sakit di Christmas Island, tugas Safira saat itu adalah menggantikan tugas para perawat yang sedang sibuk mempersiapkan jika seandainya pulau tersebut terkena wabah COVID-19.

BACA JUGA: Tugu Peringatan COVID-19, Senjata Terbaru Anies Baswedan dalam Memerangi Virus Corona

"[Saya khusus] menangani pasien rumah sakit yang sudah tua dan merawat komunitas, anak-anak difabel," kata Safira kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Setelah melalui proses pelatihan intensif dengan jam kerja panjang selama dua minggu, Safira yang sebelumnya tidak tahu-menahu soal pekerjaan perawat menghabiskan waktu dua bulan bekerja di sana.

BACA JUGA: Warga Australia Terancam Tak Bisa Lagi Menyebarkan Konten Berita di Facebook

"Setelah selesai training kami dilepas. Kami mengurus pasien, makanan mereka, CPR, dan segalanya. Semuanya manual handling. Sudah langsung jadi ahli begitu," tutur Safira sambil tertawa.

  Tinggal di wilayah bebas COVID-19

Hingga saat ini, Christmas Island belum mendeteksi satupun kasus positif COVID-19, sehingga dianggap sebagai wilayah bebas virus corona atau "COVID-19 FREE".

Padahal, di masa awal pandemi, pulau tersebut pernah menjadi tempat karantina bagi warga Australia yang terhubung dengan penularan virus corona di China.

Menurut Safira, pulau dengan populasi 1.938 penduduk tersebut menerapkan protokol ketat demi menangkal penularan virus corona sejak awal pandemi.

Di tanggal 18 Maret, larangan berkunjung ke Christmas Island diberlakukan, kecuali bagi warga yang tinggal di sana ataupun pekerja dengan urusan penting. "Lokasi terpencil dan fasilitas kesehatannya yang terbatas membuat komunitas kami lebih rentan terkena virus dan beberapa orang mungkin akan dievakuasi," kata Natasha Griggs, Administrator Wilayah Samudra Hindia Australia.

Masker tidak diwajibkan di sana, namun, imbauan untuk menjaga kebersihan terus digaungkan dan ada surat izin yang harus diisi ketika mau mengunjungi pulau tersebut.

Safira mengatakan pulau yang masih memberlakukan 'State of Emergency' tersebut mengikuti protokol kesehatan yang berlaku di Australia Barat.

"Polisi semuanya mengecek, karantina dan sebagainya ... di supermarket diberi imbauan jaga jarak 1,5m, benar-benar tidak ada salaman, ketat dan tidak bisa sembarangan karena orang bisa melapor." Persiapan tenaga medis di Christmas Island

 

Suami Safira, Matt Eckersley, yang berprofesi sebagai dokter kawasan terpencil dan sempat bertugas di Christmas Island, mengatakan di para tenaga kesehatan di sana selalu berusaha untuk mempersatukan komunitas di tengah pandemi COVID-19.

"Kami tahu karena melihat penularan, misalnya di Melbourne, ketika ada sedikit orang yang tidak mau berjuang sebagai satu tim, semuanya bisa kacau," kata Matt.

Ketika Christmas Island tengah menyiapkan barisan tenaga kesehatan untuk melawan virus, Matt yang merupakan dokter termuda di antara tiga lainnya terpanggil untuk menjadi dokter COVID.

"Saya adalah yang termuda dan memiliki kondisi paling prima sehingga hanya ada sedikit kemungkinan untuk menderita penyakit parah bila terpapar."

Selama bertugas, Matt bersama tim medisnya melakukan sosialisasi tentang COVID bagi komunitas pulau itu, termasuk di hadapan pekerja kantor dan pabrik.

 

Di rumah sakit Christmas Island, telah dipersiapkan juga tempat untuk melakukan 'screening', tes swab, dan merawat orang seandainya ada kasus COVID.

"Kami juga membentuk tim medis, beranggotakan saya dan empat perawat yang semuanya mengajukan diri dan mulai berlatih tes swab, memakai APD, dan melakukan perawatan."

Menurut Matt, semua tenaga rumah sakit, baik yang adalah tim COVID atau bukan, sama-sama melakukan persiapan untuk menghadapi virus tersebut.

"Saya pikir komunitas Christmas Island sangatlah unik dan spesial, walaupun ada perbedaan pendapat, saya pikir setiap penduduk pulau ini ada untuk menolong satu sama lain." Christmas Island 'aman' dan warganya 'dekat satu sama lain'

 

Safira dan Matt hanya tinggal di Christmas Island selama 10 bulan sebelum akhirnya harus kembali ke Brisbane.

Walau demikian, pesona tempat dan orang-orang di pulau tersebut tetap melekat di hati mereka.

"Saya bilang sama Matt, 'saya akan lebih senang kalau misalnya kita punya keluarga, punya anak, dan tinggal di sini','" kata Safira.

Menurutnya pulau ini terlebih cocok bagi pasangan yang suka berpetualang tersebut.

 

"Karena kami pikir it's very safe [sangat aman]. The community is great dan dekat [satu sama lain]. Kalau punya keluarga, anak-anak bisa belajar sama alam karena ada crab migration, swimming with whale shark, pergi ke kapal."

Rencana jangka panjang Safira ini sudah menjadi kenyataan bagi Mona Foster, warga Indonesia kelahiran Medan yang sudah hampir 10 tahun tinggal di pulau tersebut.

Setelah menikah di tahun 2012, Mona bersama suaminya yang berasal dari Perth, tinggal di Christmas Island dan dikaruniai seorang anak enam tahun kemudian.

"Saya dulu orang kota, yang saya suka di sini itu aman," kata Mona yang sudah menjadi warganegara Australia sejak 2014.

"Saya pernah [tanpa sengaja] meninggalkan uang $1,000 ketika mau pergi liburan, dan ketika saya kembali, uangnya masih ada di dapur sana."

Mona mengaku jika ia tidak pernah mengunci pintu bila bepergian ke luar rumah lama ataupun sebentar.

Pandangan Mona ini juga dimiliki mayoritas warga di sana, bila melihat survei yang dilakukan pada 139 warga komunitas Christmas Island pada tahun Juni dan Agustus 2018.

Menurut survei tersebut, 43 persen warga menyukai Christmas Island karena alasan 'peaceful, safe, freedom' atau damai, aman, dan bebas, diikuti 33 persen dengan alasan 'multicultural'. Orang Indonesia di Christmas Island 'bisa dihitung jari'

 

Terbentang di Samudra Hindia, Christmas Island hanya berjarak 472 km atau 45 menit bila naik pesawat dari Jakarta.

Walau adalah bagian dari Australia, dari total populasi pulau tersebut, 38,5 persen penduduk lahir di Australia sementara 20 persen lahir di Malaysia.

Sementara itu, lebih dari setengah populasi Christmas Island berbicara dalam bahasa lain selain bahasa Inggris di rumah, dengan penutur Mandarin terbanyak sebanyak 17,2 persen.

Belum ada catatan resmi berapa populasi warga Indonesia di pulau itu, namun menurut Mona, jumlahnya "bisa dihitung jari".

Ibu rumah tangga ini mengatakan dapat berbaur dengan warga non-Indonesia di sana, seperti warga Malaysia, Filipina, dan lokal Australia.

"Saya rasa pergaulan saya dengan orang Melayu dan Barat di sini cukup erat seperti di Indonesia," kata dia.

"Kalau kita sakit atau ada musibah, orang-orang sekitar mendukung kita."

 

Karena populasinya yang relatif sedikit, mudah bagi Mona untuk mengenali warga baru, termasuk bisa langsung tahu saat ada warga Indonesia lain yang baru mulai menetap di sana.

Seperti ketika Mona mengetahui tentang Safira dari Matt, yang saat itu bekerja di rumah sakit pulau tersebut.

Namun, kini, pulau tersebut menjadi tempat idamannya untuk ditinggali di masa depan.

"[Kehidupan] di pulau ini it's very relaxing [sangat santai] jadi tidak hustle and bustle [sibuk dan berisik] seperti di kota. Kebetulan saya suka seni, jadi bisa punya banyak waktu, tapi juga tetap kerja."

Ikuti perkembangan seputar pandemi COVID-19 di dunia lewat situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenali Modus Penipuan Terkait Australia yang Menyasar Warga Indonesia

Berita Terkait