jpnn.com, NAYAPARA - Militer Myanmar tak pernah kehabisan cara mengusir etnis Rohingya dari Negara Bagian Rakhine. Setelah berhenti meneror kelompok minoritas itu dengan kekerasan, mereka memastikan Rohingya yang bertahan di Rakhine tidak bisa makan.
Inilah yang membuat pengungsi terus mengalir ke Bangladehs ketika pertempuran sudah reda. ”Kami tidak bisa makan. Itu yang memaksa kami melarikan diri,” kata Dildar Begum, penduduk Buthidaung, salah satu kampung Rohingya di Rakhine, kepada Amnesty International.
BACA JUGA: 5 Kuburan Massal Sembunyikan Bukti Kekejaman Militer Myanmar
Kendati berisiko, pria 30 tahun itu nekat memboyong keluarganya hengkang dari Myanmar. Tujuannya hanya satu, agar tetap bisa makan dan bertahan hidup. Negara yang menjadi tujuan Begum adalah Bangladesh.
Kemarin, Kamis (8/2) Associated Press melaporkan bahwa Rakhine bukanlah wilayah gersang atau minus pangan. Namun, militer Myanmar yang menjaga kawasan itulah yang membuat kaum Rohingya tak bisa makan.
BACA JUGA: Lembaga HAM Minta Pemulangan Pengungsi Rohingya Ditunda
Dengan dalih keselamatan, tentara-tentara yang sudah tak bisa lagi mengobrak-abrik kampung Rohingya dengan alasan memburu militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) itu memberlakukan jam malam.
Namun, jam malam ala junta militer Myanmar berbeda dengan yang lainnya. ”Sejak Agustus, jam malam berlaku hampir 24 jam setiap hari,” kata Mohammad Ilyas. Karena itu, tidak ada warga yang bisa meninggalkan kampung mereka.
BACA JUGA: Myanmar Bakal Tampung Rohingya di Kamp Repatriasi
Jangankan pergi dari kampungnya, meninggalkan rumah saja tidak boleh. Setiap hari tentara-tentara Myanmar itu berpatroli dan menjaga ketat permukiman Rohingya.
Ilyas mengatakan, jam malam yang diberlakukan junta militer di Rakhine membuat kaumnya terpenjara. Selain terpaksa mengurung diri di rumah karena tak bisa beraktivitas di luar ruangan, kaum Rohingya pun tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar.
Sebab, junta militer melarang semua pedagang bertransaksi apa pun dengan orang Rohingya. Termasuk melayani pembelian pulsa dan kartu perdana.
Tanpa komunikasi dengan dunia luar, kaum Rohingya di Rakhine benar-benar terisolasi. ”Jika tak nekat meninggalkan Myanmar, kami akan menemui ajal lebih cepat,” kata Ilyas.
Pria 55 tahun itu berhasil mencapai Bangladesh pada awal Januari. Kini dia bertahan di kamp pengungsian bersama keluarganya. Di kamp pengungsian yang padat penghuni itu, setidaknya dia mendapat bantuan makanan.
Kesaksian tersebut menjadi jawaban bagi Amnesty International yang mempermasalahkan kondisi kesehatan para pengungsi Rohingya. Sebagian besar di antaranya mengalami malanutrisi.
Menanggapi laporan Amnesty International yang dipublikasikan Al Jazeera kemarin, Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar Win Myat Aye menggelar jumpa pers. Menurut dia, semua tuduhan itu palsu. (hep/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Militer Myanmar Klaim Cuma Membunuh 10 Rohingya
Redaktur & Reporter : Adil