Kejam! Warga Bangladesh Eksploitasi Bocah-Bocah Rohingya

Selasa, 14 November 2017 – 09:15 WIB
Imigran Rohingya di sebuah kamp di New Delhi, India. Foto: Reuters

jpnn.com, COX’S BAZAR - Keengganan pemerintah Bangladesh menampung pengungsi Rohingya tak membuat pengusaha dan warga setempat ragu mengeksploitasi mereka. Parahnya lagi, banyak dari mereka yang curang, bahkan cabul.

Ketika menerima tawaran sebagai pekerja konstruksi, Muhammad Zubair membayangkan bisa menghasilkan banyak uang. Sebab, pengungsi Rohingya yang masih berusia 14 tahun itu ditawari gaji 250 taka (mata uang Bangladesh) per hari atau sekitar Rp 40 ribu.

BACA JUGA: Tanpa Sebut Rohingya, Jokowi Bicara Soal Krisis di Myanmar

Namun, setelah bekerja keras selama 38 hari membangun jalan, dia hanya digaji 500 taka alias Rp 80 ribu. Zubair dilecehkan secara verbal saat meminta gajinya dibayar penuh. Lantas, dia diusir.

Akhirnya, remaja yang tinggal di kamp pengungsian Kutupalong, Bangladesh, itu pindah kerja sebagai pelayan di kedai teh selama sebulan. Dia mengambil dua sif dan bekerja sejak pukul 6 pagi sampai lewat tengah malam.

BACA JUGA: Derita Wanita Rohingya: Rajin Hamil karena Takut Diperkosa

Zubair tidak diizinkan keluar dari kedai dan hanya boleh berbicara dengan orang tuanya sekali via telepon. ”Ketika saya tidak dibayar, saya melarikan diri,” ucapnya.

Nasib seperti Zubair itulah yang dialami sebagian besar anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mereka dieksploitasi secara fisik maupun mental.

BACA JUGA: Janji Manis Suu Kyi di Depan Ulama Rohingya

Banyak pula yang dilecehkan secara seksual. Kehidupan mereka di Bangladesh tidak lebih baik daripada saat mereka di Myanmar. Ibarat kata, keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya.

Penderitaan anak-anak Rohingya tersebut terperinci dalam laporan penyelidikan International Organization for Migration (IOM) yang diungkap kantor berita Reuters kemarin (13/11).

IOM telah mewawancarai para pengungsi, baik yang lama maupun baru. Reuters juga mewawancarai tujuh keluarga yang mengirim anaknya bekerja. Semuanya mengaku mendapat perlakuan buruk, gaji rendah, dan pelecehan.

”Eksploitasi kini menjadi sesuatu yang normal di kamp,” kata spesialis anti perdagangan manusia IOM Kateryna Ardanyan.

Pendanaan untuk melindungi anak-anak dan para pengungsi Rohingya sangat dibutuhkan. Anak-anak pengungsi Rohingya memang menjadi sasaran empuk sindikat perdagangan manusia dan calo pekerja. Jumlah mereka banyak dan bisa ditipu dengan mudah.

Sebanyak 55 persen pengungsi atau setara dengan 450 ribu orang merupakan anak-anak. Hanya sedikit anak-anak yang bisa mendapatkan pendidikan di kamp pengungsian.

Banyak di antaranya yang akhirnya harus menjadi pengemis di jalanan. Anak-anak yang tidak sekolah itulah yang menjadi buruan untuk diajak bekerja di luar kamp.

Orang tua si anak yang hidup miskin di penampungan ikut berperan. Mereka meminta anak-anaknya bekerja dengan harapan bisa sedikit memperbaiki nasib.

Sebagian anak lainnya tidak memerlukan izin dari siapa pun karena mereka datang ke pengungsian sendirian. Orang tua mereka biasanya tewas terbunuh saat terjadi konflik di Rakhine, Myanmar. Jumlah pengungsi anak tanpa pendamping itu mencapai 2.462 orang.

Usia paling muda anak-anak yang bekerja tersebut adalah 7 tahun. Biasanya anak laki-laki menarik becak atau bekerja di ladang, tempat-tempat konstruksi, perahu nelayan, dan warung.

Anak perempuan bekerja menjadi pembantu dan penjaga bayi di Cox’s Bazar maupun Chittagong. Bahkan, nasib anak perempuan lebih mengenaskan. Mereka kerap menjadi korban pemerkosaan.

Salah satu orang tua pernah mengirim putrinya yang berusia 14 tahun untuk bekerja sebagai pembantu di Chittagong. Namun, hanya berselang beberapa pekan, si anak melarikan diri dan kembali ke kamp.

Dia sulit berjalan karena begitu seringnya diperkosa dan dipukuli majikannya. Si majikan memperkosanya enam atau tujuh kali.

”Mereka tidak memberi kami uang. Tidak sepeser pun,” ujar sang ibu yang tidak mau namanya disebutkan saat diwawancarai Reuters.

Pernyataan tersebut hampir serupa dengan beberapa wawancara yang dilakukan IOM dalam laporan penyelidikan mereka.

Jika tak disuruh bekerja, anak-anak perempuan Rohingya diminta menikah dini dengan penduduk setempat. Bahkan, sebagian masih berusia 11 tahun.

Harapannya lagi-lagi untuk memperbaiki nasib, perlindungan, dan masalah finansial. Namun, sebagian besar anak-anak itu tentu hanya menjadi istri kedua yang bisa diceraikan kapan saja tanpa perlu diberi harta gono-gini.

Inspektur Polisi Cox’s Bazar Afjurul Hoque Tutul mengungkapkan bahwa mereka sudah membuat sebelas pos pemeriksaan untuk mencegah pengungsi anak-anak keluar dari kamp dan bekerja.

”Jika ada anak Rohingya yang ketahuan bekerja, majikannya akan dihukum,” ungkapnya. (Reuters/sha/c16/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istri Minta Cerai, Sopir Bajaj Gugat Aktor Top


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler