Kejar Pelaku Tabrak Lari saat Angkut 10 Penumpang

Minggu, 01 Desember 2013 – 07:01 WIB

jpnn.com - Kasubbaghumas Polres Probolinggo Kota Aiptu Buchori tergolong polisi nyentrik. Dia biasa bertugas dengan angkutan desa (angdes) miliknya. Membelinya pada 1997, Buchori punya banyak kenangan dengan mobil pelat kuning tersebut.

MUHAMMAD IQBAL, Probolinggo

BACA JUGA: Dirikan Sekolah Alternatif di Pedalaman Pesisir Papua

TIDAK susah menemukan angdes milik Buchori. Berwarna hijau muda, kendaraan berpelat kuning itu biasa diparkir di tepi Jalan dr Moh. Saleh, depan Mapolres Probolinggo Kota. Tidak seperti angdes lain, kendaraan Buchori memiliki antena yang menjulang tinggi di atap kendaraan.

Antena tersebut berfungsi untuk menerima dan memancarkan gelombang handy talky (HT) layaknya mobil operasional polisi. Dari antena itu, ada kabel hitam yang tersambung ke ruang kemudi. "Tapi, alatnya saya lepas sejak di polres (menjadi humas, Red)," katanya saat ditemui Jumat siang (29/11).

BACA JUGA: Tangani Kasus Soeharto hingga Angelina Sondakh dan dr Ayu

Siang itu ayah satu anak tersebut baru datang dari masjid untuk menunaikan salat Jumat dengan angdes miliknya. Sajadah dan peci yang dikenakan tampak diletakkan di jok belakang angdesnya.

Sambil berdiri di samping kendaraannya, lelaki 58 tahun itu banyak bercerita tentang pengalamannya dengan angdes bernopol N 360 UR tersebut. Pada 1997, Buchori yang saat itu menjadi anggota Patroli Jalan Raya (PJR) Polda Jatim wilayah V Probolinggo sengaja membeli angdes itu Rp 22,5 juta. Kendaraan tersebut sudah berpelat kuning saat dibeli Buchori. Sejak saat itu, setiap lepas dinas dari korps Bhayangkara, pria kelahiran Bangsalsari, Kabupaten Jember, tersebut rutin narik angdes.

BACA JUGA: Bayi yang Selamat Itu Jadi Bocah Mungil yang Lucu

Urusan trayek, Buchori sengaja memilih rute Wonoasih-Bantaran-Sumber. Selain dekat dengan rumah, trayek tersebut tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja. "Kalau sewaktu-waktu diperlukan dinas, saya tidak ke sulitan," ucap warga Jalan Sunan Ampel, Kelurahan Jrebeng Lor, Kecamatan Kedopok, Kota Probolinggo, itu.

Dengan kegiatan tersebut, sumber pendapatan Buchori bertambah. "Rokok dan kebutuhan sehari-hari dari sini (angdes, Red) semua. Gaji utuh untuk disimpan," ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Bromo.

Dengan setengah hari narik angdes, Buchori bisa memperoleh duit Rp 50 ribu-Rp 100 ribu kala itu. Saat Idul Fitri atau hari-hari besar agama, pendapatannya dari narik angdes bisa mencapai Rp 200 ribu dengan tarif perpenumpang Rp 500. "Saat itu harga beras masih Rp 1.500-2.000 per kg," jelas pria yang sudah beruban itu.

Suatu saat pada 1998, Buchori yang tengah lepas dinas mengangkut sepuluh ibu Bhayangkari. Dalam perjalanan menuju ke Surabaya, dia mengetahui bahwa ada tabrak lari di Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, melalui radio dan HT di mobilnya.

Melalui radio dan HT itu pula Buchori mengetahui ciri-ciri mobil yang menabrak korban hingga tewas. Yakni, Daihatsu Espass merah dengan penumpang sekitar empat orang. Sampai di daerah Mangkrengan, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, mobil tersebut mendahului angdes yang dikendarai Buchori.

Seketika naluri seorang polisi dalam diri Buchori berbicara. Meski tengah lepas dinas dan mengangkut penumpang, dia memutuskan untuk mengejar mobil Espass tersebut. Dalam hitungan detik, lampu utama kendaraan dinyalakan, pertanda pengejaran dimulai.

"Saat itu dari barat (arah ber lawanan, Red) ada bus. Tapi, karena saya menyalakan lampu, busnya sudah paham dan menepi untuk memberikan jalan," ungkapnya. Tidak lama kemudian, laju Espass dihentikan dengan memotong jalur.

"Kenapa Anda menghentikan saya?" tanya sang sopir. Buchori yang saat itu berbusana sipil mengeluarkan kartu pengenal sambil berujar. "Saya anggota polisi. Anda sudah menabrak seseorang di Kecamatan Wonoasih dan sekarang Anda dikejar polisi," paparnya tegas kepada sang sopir.

Sopir yang mengakui kesalahannya itu pun manut saja saat diantar ke polsek terdekat oleh Buchori. "Setelah itu, saya nyopir lagi untuk mengantarkan penumpang," ucap pria yang selama 21 tahun bertugas di PJR tersebut.

Selain berpengalaman mengejar pelaku tabrak lari, pengalaman tidak biasa Buchori dengan angdesnya terjadi pada 2009. Saat itu dia mengawal rombongan Ketua MPR Amien Rais dengan angdesnya. Sebab, seluruh mobil PJR bertugas.

Kenapa membeli angdes dan tidak membeli mobil yang lebih bagus? Tentang itu, pria yang pernah menjadi guru tidak tetap (GTT) tersebut menjawab enteng: "Yang penting penggunaannya. Saya enak, tetangga juga enak naik mobil ini dan tidak sungkan. Kepuasan bukan ada di mobil bagus, tapi bisa berhubungan baik dengan masyarakat," katanya.

Terhitung sejak 2006, Buchori jarang narik angdes lagi. Sebab, penumpang sekarang tidak seramai dulu. Meski demikian, hingga kini angdesnya tetap tidak dijual.(mie/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saksi Bisu Pertempuran Terakhir Shogun dan Kaisar Meiji


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler