jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengatakan permasalahan di Pulau Rempang karena komunikasi yang kurang baik.
Menurutnya, sudah ada kesepakatan bahwa masyarakat akan diberi lahan 500 meter dan bangunan tipe 45.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Batam Herlina Setyorini menyatakan bahwa pihaknya siap menjembatani komunikasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat setempat.
BACA JUGA: Konflik di Rempang Batam, Chandra Singgung Konsep Agraria Zaman Penjajahan
"Kejaksaan Negeri Batam khususnya Bidang Datun menyediakan diri sebagai penyambung komunikasi antara para pemangku kebijakan dengan masyarakat dan sebaliknya," ujar Herlina kepada wartawan di Jakarta, Jumat (15/3).
Pihaknya pun mengaku sangat prihatin atas kondisi yang terjadi di Batam.
BACA JUGA: Kerahkan 200 Brimob Terlatih ke Rempang, Kombes Ronny Minta Pasukan Humanis
Namun senada dengan pernyataan presiden dirinya pun meyakini bahwa inti permasalahannya adalah komunikasi yang tidak terjalin dengan baik.
"Untuk itu, kami mohon semua pihak dapat menahan diri untuk tidak memperkeruh suasana dengan memberikan komentar-komentar yang dapat memicu kemarahan masyarakat. Mari kita jaga kota Batam yang tercinta ini agar tetap tenang dan nyaman," ujarnya.
BACA JUGA: YLBHI Soroti PSN Rezim Jokowi, Kasus Pulau Rempang Satu Contoh
Sementara itu, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai tak hanya komunikasi yang bisa dijadikan solusi dari penyelesaian masalah Pulau Rempang.
"Persoalan-persoalan lain harus didudukkan, persoalan hukum, persoalan ketidakadilan, persoalan katakanlah ekonomi. Meski masalah Rempang mungkin complicated tetapi saya yakin penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komunikasi," kata Emrus.
Lalu komunikasi seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat, agar dapat mencegah gesekan antara masyarakat tidak terjadi?
"Saya melihat proyek Rempang ini tidak dimulai dengan komunikasi yang strategis, efektif, persuasif dan partisipatif. jadi saya melihat di awal tidak dilakukan ini, sehingga menimbulkan persoalan. Coba saja semuanya dimulai dengan komunikasi misalnya berdialog, diskusi dan mendengar," katanya lagi.
Jika hal tersebut sudah dilakukan, lanjutnya, barulah dimulai proyek pembangunan.
Untuk itu, perlu dimulai dengan komunikasi yang maksimal agar semua masyarakat dapat memahami dengan baik, jika sudah menerima dengan baik bahwa mereka akan diganti untung.
Siapa saja yang berhak mendapatkan penggantian tersebut, semuanya harus jelas.
"Artinya masyarakat itu harus diletakkan sebagai subjek pembangunan. Untuk itu pemerintah, perusahaan, penegak hukum perlu duduk bersama membahas persoalan ekonomi, keadilan, aspek hukum dan komunikasi untuk dibahas bersama, bagaimana kewilayahannya, budaya setempat, dan lain-lain sehingga terjadilah dialog dan menghasilkan kesepakatan," ujarnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif