jpnn.com, JAKARTA - Deretan nama tenar yang ikut menikmati uang korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) bakal terungkap di persidangan hari ini (9/3). Setidaknya itu dijanjikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kejutan politik dipastikan terjadi karena hampir pasti bakal ada sejumlah elit politik tanah air yang terseret dalam perkara itu.
BACA JUGA: Yasonna 2 Kali Mangkir, KPK Pantang Kendur
Dari sekian nama yang beredar, ketua DPR Setya Novanto (Setnov) yang paling santer dikaitkan dengan kasus kelas wahid itu.
Bahkan, petinggi Partai Golkar itu disebut-sebut berperan sebagai aktor politik yang mengorganisir skandal e-KTP dengan kerugian keuangan negara bernilai fantastis, Rp 2,3 triliun.
BACA JUGA: Kasus e-KTP, Yasonna: Sudah Berapa Kali Ku Jelaskan...
”Kami minta nama-nama yang diduga terlibat dibuka seluas-luasnya oleh KPK,” ujar aktivis Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar kepada Jawa Pos.
Nama yang diungkap secara luas nantinya akan dikawal publik yang mendukung upaya pengusutan korupsi berjamaah e-KTP dilakukan secara tuntas.
BACA JUGA: Dewan Pers Kecewa Sidang e-KTP Dilarang Live
Namun, upaya mengusut semua nama-nama elit itu diperkirakan bakal mendapat perlawanan. KPK sebagai garda terakhir pemberantasan korupsi menjadi sasaran utama counter attack tersebut.
erangan itu bisa berupa upaya pelemahan KPK secara kelembagaan atau pengurangan kewenangan penindakan tindak pidana korupsi.
Serangan balik sudah beberapa kali dialami KPK. Saat menangani masalah surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada awal 2015, misalnya.
Skenario kriminalisasi menimpa komisioner komisi antirasuah Bambang Widjojanto dan Adnan Pandu Praja.
Kala itu, KPK intensif menelusuri dugaan penyimpangan BLBI yang disinyalir melibatkan elit politik.
Kriminalisasi terhadap KPK juga pernah terjadi saat lembaga antirasuah tersebut mengusut indikasi korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM).
Skenario itu menyasar penyidik KPK Novel Baswedan pada 2015. Novel merupakan koordinator tim penyidik untuk kasus simulator SIM dengan tersangka Djoko Susilo, petinggi Polri.
Erwin mengungkapkan, serangan balik aktor politik atau tokoh besar yang terlibat kasus e-KTP mesti diantisipasi.
Salah satunya, membuka seluas-luasnya semua nama yang terlibat perkara tersebut.
Dengan demikian, publik dapat turut berpartisipasi membentengi KPK dari serangan pihak-pihak yang tidak menginginkan pemberantasan korupsi berjalan mulus.
”Saat ini sedang jalan RUU (revisi undang-undang) KPK, bisa jadi dalam waktu dekat akan ada perubahan UU KPK,” ujarnya.
Menurut Erwin, perubahan UU itu merupakan salah satu bentuk pelemahan KPK.
”Cara yang kedua (melemahkan KPK) yang pernah terjadi membenturkan KPK dengan penegak hukum lain,” terangnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya tidak gentar dengan dampak politik yang akan muncul setelah pembacaan dakwaan e-KTP.
KPK tetap akan fokus pada proses pembuktian dua terdakwa e-KTP, yakni mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan anak buahnya Sugiharto. ”Untuk dampak politik, kami tentu tidak menghitung itu,” ujarnya.
Febri berharap pihak yang nantinya terungkap dalam dakwaan mengedepankan jalur hukum, bukan politik.
KPK berjanji akan bekerja secara profesional menegakkan hukum meski ada elit politik terlibat dalam perkara itu.
”Penyebutan nama pihak tertentu dan perannya masing-masing tidak terhindarkan. Meskipun belum tentu semuanya merupakan pelaku dalam perkara ini,” imbuhnya.
Disinggung soal keraguan publik terhadap independensi KPK, Febri berjanji akan membalik tudingan itu. Pihaknya bakal bekerja maksimal mengumpulkan bukti yang cukup untuk menjerat nama-nama yang terlibat.
Dia menegaskan KPK akan menjunjung tinggi supremasi hukum.
”Hukum yang diletakkan di atas segalanya, jadi kalau ada akses lain itu di luar domain KPK,’ ucap mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini.
KPK pun berharap tidak ada upaya pelemahan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan pengusutan kasus e-KTP. Revisi UU KPK, misalnya,diharapkan tidak mengurangi ruang gerak lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.
Seperti poin penyadapan yang nantinya harus dilakukan setelah ada bukti permulaan yang cukup.
”Di UU saat ini penetapan tersangka dan penyidikan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Artinya sama saja ke depan penyadapan kalau seperti itu (dilakukan setelah ada bukti permulaan, Red) tidak ada lagi OTT (operasi tangkap tangan),” terangnya.
Sementara itu, DPR mengakui rencana untuk melakukan revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK kembali bergulir.
Di tengah-tengah ramai penyebutan nama sejumlah anggota dewan terkait kasus proyek pengadaan e-KTP, DPR menyebut telah memulai sosialisasi revisi UU KPK, melalui Badan Keahlian DPR (BKD).
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Bidang Politik Hukum dan Keamanan Fadli Zon di gedung parlemen.
Setelah terhenti pembahasannya di akhir 2015 dan awal 2016 lalu, BKD sejak Februari sudah mulai melakukan sosialisasi terkait revisi UU KPK ke berbagai kampus.
”Sosialisasi RUU KPK ini merupakan satu hal yang tertunda. Penundaan cukup lama disebabkan dinamika politik yang terjadi di DPR, dan baru akan dimulai sekarang,” kata Fadli.
Menurut Fadli, sosialisasi ini dilakukan dengan format seminar dengan melibatkan akademisi dan masyarakat. Apa yang dilakukan BKD merupakan tugas rutin demi menyosialisasikan UU.
Dalam seminar itu, BKD menerima berbagai masukan, kritikan, terkait revisi UU KPK.
”Itu hal rutin yang dilakukan BKD, sekaligus meminta masukan, kritikan dari kampus, pakar, dan pihak lain,” jelas Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya itu.
Fadli menyebut, Presiden Joko Widodo juga sudah menyetujui rencana revisi UU KPK. Rencana sosialiasi itu sendiri seharusnya sudah dilakukan sejak pertengahan 2016 lalu, meski baru terealisasi pada awal tahun ini.
”Kami sudah rapat konsultasi dan Presiden menyatakan perlu revisi UU KPK. Di DPR sendiri ada yang mendukung dan ada juga menolak,” ujarnya.
Sesuai program BKD itu, Fadli menegaskan bahwa sosialisasi ini belum masuk ke dalam isu pembahasan.
Lebih lanjut, Fadli juga mengingatkan bahwa revisi UU KPK juga belum masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2017.
”Belum tentu akan ada revisi. Apa yang dilakukan BKD juga tidak hanya sosialisasi RUU KPK, tapi juga RUU lainnya,” ujarnya.
Fadli juga menepis bahwa isu ini digulirkan setelah ramai isu keterlibatan anggota dewan di kasus e-KTP. Menurut dia, antara sosialisasi RUU dengan kasus e-KTP adalah dua hal berbeda yang tidak perlu dikait-kaitkan.
”Kasus ini kita serahkan kepada penegak hukum untuk mengungkap fakta-fakta di persidangan. Memang banyak rumor, tapi fakta hukum yang menentukan proses pengadilan. Apa yang menjadi rumor belakangan, termasuk di masa lalu, tidak sepenuhnya benar,” ujarnya. (tyo/bay/lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK: Kami Tidak Mengurusi Dampak Politik Kasus E-KTP
Redaktur : Tim Redaksi