jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak pengaduan di awal 2018 terkait kekerasan terhadap anak didik yang dilakukan guru, kepala sekolah, petugas sekolah lainnya, dan anak didik.
Pengaduan yang diterima KPAI didominasi kekerasan fisik dan anak korban kebijakan (72%).
BACA JUGA: KPAI Pastikan Kasus Tyas Mirasih Bukan Penculikan Anak
Sedangkan kekerasan psikis (9%), kekerasan financial atau pemalakan/pemerasan (4%) dan kekerasan seksual (2%).
Selain itu, kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media. Meski tidak dilaporkan langsung ke KPAI, tetap diawasi langsung mencapai 13% kasus.
BACA JUGA: Soal Isu Culik Anak, Tyas Mirasih Mangkir Panggilan KPAI
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual oleh oknum guru terhadap anak didiknya menjadi tren yang menunjukkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman justru jadi tempat membahayakan anak-anak.
"Guru sebagai pendidik yang mestinya menjadi pelindung bagi anak, justru bisa menjadi oknum yang membahayakan anak-anak," ujar Retno di Jakarta, Senin (19/3).
BACA JUGA: KPAI Dalami Kasus Pemberhentian 2 Siswa SMAN 1 Semarang
Kasus kekerasan seksual oleh oknum guru tersebut sebagian besar dilakukan di lingkungan sekolah, seperti di toilet, di ruang kelas, di ruang OSIS, dan bahkan ada yang di musala (ruang penyimpanan karpet). Juga terjadi saat kegiatan ektrakurikuler seperti di perkemahan dan bus pariwisata.
Selain itu, korban mencapai puluhan siswa/siswi, karena beberapa kasus pelaku telah melakukan aksi bejatnya selama beberapa bulan bahkan ada yang sudah beberapa tahun.
"Trennya pun berubah, kalau sebelumnya korban kebanyakan anak perempuan, tetapi data terakhir justru korban mayoritas anak laki-laki, berusia SD dan SMP," ucapnya.
Misalnya kasus kekerasan seksual oknum guru di kabupaten Tangerang korbannya mencapai 41 siswa, kasus di Jombang korbannya mencapai 25 siswi, kasus di Jakarta korbannya 16 siswa, kasus di Cimahi korbannya 7 siswi, dan kasus oknum wali kelas SD di Surabaya korbannya mencapai 65 siswa.
Oknum guru pelaku kekerasan seksual di sekolah juga beragam. Ada guru yang berstatus sebagai wali kelas (umumnya ini di jenjang sekolah dasar, karena di SD di kenal guru kelas bukan guru mata pelajaran).
Sedangkan di jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat, pelaku adalah oknum guru mata pelajaran yang diantaranya mengajar bahasa Indonesia, olahraga dan bahkan pendidikan agama.
Untuk kasus di Jombang, pelaku dikenal sebagai guru yang rajin mendampingi kegiatan kesiswaan, menjadi imam para siswa saat sholat berjamaah, dan guru yang berdedikasi tinggi dalam menjalankan tupoksinya.
Mayoritas warga sekolah terkejut dan tidak menyangka bahwa pelaku bisa melakukan perbuatan bejat tersebut.
Adapun modus oknum guru pelaku kekerasan seksual beragam. Misalnya korban dibujuk rayu dengan iming-iming memberikan kesaktian seperti ilmu kebal dan ilmu menarik perhatian lawan jenis (semar mesem).
Selain itu, ada yang dalih untuk pengobatan dan ruqyah. Ada juga modus yang meminta anak didik membantu mengkoreksi tugas, memasukan nilai ke buku nilai, dan bahkan dalih memberikan sanksi tetapi dengan melakukan pencabulan. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPAI Pelototi Pelibatan Anak di Pilkada 2018
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad